Mengenal Turbah Lempengan Tanah Karbala (syiah)

Mengenal Turbah Lempengan Tanah Karbala (syiah)
Ini Bukan Oreo, Bukan Pula Biskuit
Tidak Untuk Dijilat, Juga Bukan Untuk Dicelupin.

Ini namanya TURBAH KARBALA, batu bata berbentuk bulat pipih yang dicetak dari tanah Karbala.

Bagi pemeluk agama Syi'ah Imamiyah (Rafidhah), cetakan batu yang diambil dari tanah Karbala (IRAK) ini dijadikan alat PENGGANJAL JIDAT KEPALA mereka ketika sujud.

Bagi kaum Syi'ah, jika sujud tanpa pengganjal (yang mirip roti biskuit OREO ini) maka ibadah mereka di anggap kurang afdhal.

Demikianlah beberapa contoh dari bukti kesesatan ajaran Syi'ah Rafidah, di mana mereka MENGKLAIM dirinya (AGAR DIAKUI) sebagai bagian dari Ummat ISLAM, meskipun ajarannya justru sangat bertentangan dengan Ajaran TAUHID & Sunnah yang dibawa oleh Nabi Muhammad Shallallahu Alayhi Wassallam.

Menggunakan ‘batu keramat’ yang konon katanya produk dari tanah Karbala adalah termasuk ajaran baru yang berusaha disusupkan oleh para ahli bid’ah –utamanya kelompok sesat Syi’ah- ke dalam ajaran Islam yang murni.

Tidak ada satu pun hadits shahih yang menjelaskan tentang kesucian tanah Karbala’ di Irak . Lebih-lebih hadits yang menjelaskan keutamaan sujud di atas tanahnya.

Selama ini banyak masyarakat umum tidak mengetahui yang namanya batu Karbala yang biasa dipakai untuk shalat kaum Syiah.

MITOS TANAH KARBALA

Tidak ada satu pun hadits shahih yang menjelaskan tentang kesucian tanah Karbala’ di Irak . Lebih-lebih hadits yang menjelaskan keutamaan sujud di atas tanahnya, atau kesunnahan mengambil lempengan tanah untuk digunakan alas sujud sebagaimana yang dikerjakan oleh orang-orang syi’ah dewasa ini.

Seandainya memang itu benar-benar ibadah sunnah, pasti masih akan lebih diutamakan tanah dua masjid suci yang berada di Makkah (Masjid Al-Haram) dan di Madinah (Masjid Nabawi).

Makkah dan Madinah walaupun ia tanah suci, namun seorang tak dianjurkan untuk menjadikan tanahnya sebagai sarana dalam mendapatkan berkah, atau dijadikan jimat.

Ini tak boleh, karena termasuk ajaran baru yang berusaha disusupkan oleh para ahli bid’ah –utamanya kelompok sesat Syi’ah- ke dalam ajaran Islam yang murni.

Barangsiapa yang menyusupkan ajaran baru alias mengada-ada ajaran tanpa ada dasarnya dalam Al-Kitab dan Sunnah, maka itu adalah amalan yang tertolak. Rasulullah -Shallallahu ‘alaihi wa sallam- bersabda,

مَنْ أَحْدَثَ فِيْ أَمْرِنَا هَذَا مَا لَيْسَ مِنْهُ فَهُوَ رَدٌّ (رَوَاهُ الْبُخَارِيُّ وَ مُسْلِمٌ)
“Barang siapa yang mengada-ada dalam urusan (agama) kami ini sesuatu yang bukan termasuk darinya, maka ia (perkara) itu tertolak”. [HR. Al-Bukhoriy (2697), dan Muslim (1718)]

مَنْ عَمِلَ عَمَلاً لَيْسَ عَلَيْهِ أَمْرُنَا فَهُوَ رَدٌّ
“Barangsiapa yang mengerjakan suatu amalan yang tak ada padanya urusan (agama) kami, maka ia (amalan) itu tertolak”. [HR. Muslim (1718)]

Perbuatan ini sebenarnya hanya bid’ah yang diciptakan orang-orang Syi’ah akibat kecintaan mereka yang ekstrim kepada ahlul bait (keturunan Nabi -Shallallahu ‘alaihi wa sallam-), dan bekas-bekas peninggalan mareka.

Anehnya, mereka menganggap rasio sebagai sumber syariat bagi mereka. Karenanya, mereka bisa bebas menganggap sesuatu itu baik atau buruk menurut ukuran akal. Walaupun demikian, mereka tetap meriwayatkan hadits tentang keutamaan sujud di atas tanah Karbala’.

Tentang kebatilannya, Al-Allamah Al-Albaniy berkata, “Sungguh aku pernah menemukan salah satu risalah yang mereka miliki, yakni karangan As-Sayyid Abdur Ridho Al-Mar’asyi Asy-Syahrastani yang berjudul As-Sujud ‘ala At-Turbah Al-Husainiyah (sujud di atas Pusara Husain).

Di antara perkara yang tertera di dalamnya, “Telah datang sebuah riwayat bahwa sujud di atas tanah Karbala’ adalah paling utama. Hal ini disebabkan kemuliaannya dan kesuciannya, sekaligus juga kesucian seorang syahid yang dimakamkan di sana (yakni, Al-Husain, cucu Nabi -Shollallahu ‘alaihi wasallam-). Telah disebutkan juga hadits yang bersumber dari para imam keturunan Nabi yang suci -alaihis salam- bahwa sujud di atas tanah Karbala’ bisa menerangi bumi sampai lapis tujuh dengan cahaya. Disebutkan pula dalam riwayat lain bahwa sujud di sana bisa membakar hijab (penghalang) yang berjumlah tujuh. Di dalam riwayat lain disebutkan pula bahwa Allah akan menerima shalat orang yang sujud di atas tanah Karbala’ ketika di tempat lain tidak akan diterima. Riwayat lain menyebutkan bahwa sesungguhnya sujud di atas tanah makam Al-Husain dapat menerangi beberapa lapis bumi. ” [Lihat As-Sujud ‘ala At-Turbah Al-Husainiyah (hal. 15)]

Syaikh Al-Albaniy -rahimahullah- berkata, “Hadits-hadits seperti disebutkan di atas adalah TIDAK BENAR menurut pandangan kami.

Para imam dari kalangan ahlul bait -radhiyallahu ‘anhum- sendiri, sama sekali cuci tangan dari hal tersebut.

Hadits-hadits itu juga tidak memiliki sanad (mata rantai perawi) yang bersambung pada mereka sehingga bisa dikritik sesuai dengan disiplin ilmu hadits dan ilmu ushulul hadits.

Hadits-hadits yang telah disebutkan itu hanya hadits-hadits mursal (ada satu perawi yang gugur dalam rangkaian sanad) dan mu’dhal (ada dua orang perawi dalam rangkaian sanad).

Pengarang risalah tersebut tidak sekedar membawakan nukilan-nukilan palsu ini dari para imam ahlul bait sehingga ia pun memberikan gambaran kepada para Pembaca bahwa nukilan-nukilan riwayat itu juga diriwayatkan dalam kitab-kitab kita –Ahlus Sunnah-.

Namun sayangnya di dalam kitab itu, si Penulis itu berkata, “Hadits-hadits yang menerangkan tentang keutamaan tanah Al-Husainiyah (Karbala’) dan kesuciannya tidak terbatas pada hadits-hadits para imam ahlul bait. Sebab hadits-hadits semisal ini sebenarnya sudah sangat terkenal di dalam kitab-kitab induk di seluruh sekte keagamaan dalam Islam dari jalur para ulama dan para perawi hadits di kalangan mereka. Di antaranya, hadits yang diriwayatkan oleh As-Suyuthiy di dalam kitabnya Al-Khosho’is Al-Kubra di dalam bab: Ikhbar An-Nabi -Shollallahu ‘alaihi wasallam- bi Qatl Al-Husain. Selain itu juga diriwayatkan oleh sekitar dua puluhan perawi senior seperti Al-Hakim, Al-Baihaqiy, Abu Nu’aim, Ath-Thabraniy (aslinya dalam risalah itu tertulis: Ath-Thabariy), Al-Haitsamiy di dalam Al-Majma’ dan para perawi terkenal lainnya”. [Lihat As-Sujud ‘ala At-Turbah Al-Husainiyyah (hal. 19)].

Ketahuilah wahai saudara semuslim, sesungguhnya As-Suyutiy dan Al-Haitsamiy tidak meriwayatkan satu hadits pun yang menerangkan masalah keutamaan tanah pusara Husain dan kesuciannya.

Semua yang disebutkan dalam masalah itu hanya pemberitahuan Rasulullah -Shollallahu ‘alaihi wasallam- tentang terbunuhnya Al-Husain di sana. Apakah kamu akan menemukan pengakuan yang diklaim oleh orang Syi’ah tersebut di dalam risalah-nya atas As-Suyutiy dan Al-Haisamiy?!

Sama sekali tidak!! Akan tetapi orang-orang syi’ah dalam rangka melegitimasi kesesatan dan perbuatan bid’ah mereka, maka mereka (orang-orang Syi’ah) sebenarnya berpegang kepada sesuatu yang lebih rapuh dibandingkan sarang laba-laba.

Masalah manipulasi terhadap para pembaca tidak berhenti hanya sampai di sini, tapi yang lebih berbahaya adalah menimbulkan konsekuensi kebohongan atas nama Rasulullah -Shollallahu ‘alaihi wasallam- .

Di dalam kitab tersebut, orang Syi’ah itu berkata, “Orang yang paling pertama mengambil lempengan tanah dari tanah Karbala’ untuk digunakan alas sujud adalah Nabi kita Muhammad -Shollallahu ‘alaihi wasallam- pada tahun ketiga hijriyah. Ketika itu sedang terjadi perang yang berkecamuk antara kaum muslimin dan kafir Quraisy di gunung Uhud. Pada peperangan itulah banyak tokoh besar dalam Islam yang syahid, di antaranya adalah Hamzah bin Abdul Muthalib, paman Rasulullah -Shollallahu ‘alaihi wasallam- . Pada waktu itu beliau telah memerintahkan para wanita untuk meratapi kematian Hamzah di perkumpulan-perkumpulan mereka. Perintah itu berkembang agar mereka memuliakan Hamzah, sampai akhirnya diperintahkan mengambil tanah dari tanah itu dengan niat karena Allah -Ta’ala- sambil membaca lafazh-lafazh tasbih, sebagaimana yang tercantum di dalam kitab Al-Ardh wath Turbah Al-Husainiyah…”. [Lihat As-Sujud ‘ala At-Turbah Al-Hasaniyah (hal. 13)].

Kitab yang disebutkan di atas adalah kitab golongan Syi’ah. Karenanya, para pembaca yang budiman perlu untuk mencermatinya.

Bagaimana dia begitu berani berbohong atas Nabi -Shollallahu ‘alaihi wasallam-, bahkan mengatakan bahwa beliaulah orang yang pertama kali mengambil lempengan tanah untuk digunakan alas sujud.

Kemudian Penulis itu tidak membawakan dalil untuk menguatkan dakwaannya, kecuali kedustaan-kedustaan lainnya, yaitu perintah Nabi -Shallallahu ‘alaihi wa sallam- kepada para wanita untuk meratapi kematian Hamzah di setiap perkumpulan mereka. Padahal ini sama sekali tak ada hubungannya –seandainya memang benar- dengan pengambilan lempengan tanah di Karbala’ sebagaimana yang nampak. Hal itu sama sekali tidak benar berasal dari Nabi -Shollallahu ‘alaihi wasallam-.

Bagaimana pendapat ini bisa dibenarkan, sedangkan ada riwayat shahih yang mengatakan bahwa wanita telah berbaiat kepada Nabi -Shallallahu ‘alaihi wa sallam- untuk tidak melakukan niyahah (meratapi orang yang telah meninggal dunia), sebagaimana yang telah diriwayatkan oleh Al-Bukhari dan Muslim serta para perawi lain dari Ummu ‘Athiyyah.

Jelaslah bagi kita bahwa sesungguhnya orang Syi’ah tadi telah membangun KEBOHONGAN di atas kebohongan yang lainnya, yakni perkataannya mengenai para sahabat Nabi -Shollallahu ‘alaihi wasallam- sebagai berikut, “Perintah itu malah menjadi berkembang menjadi penghormatan kepada Hamzah, sehingga mereka mengambil tanah makamnya, mencari berkah darinya dan sujud di atasnya karena Allah -Ta’ala-…”

Ini merupakan kedustaan atas nama para sahabat -radhiyallahu ‘anhum- . Mustahil para sahabat melakukan keberhalaan seperti ini.

Cukup bagi Pembaca sebagai argumen bahwa Pengarang Syi’ah itu memang telah berbohong atas nama Nabi -Shollallahu ‘alaihi wasallam- dan sahabatnya; Pengarang Syi’ah itu tidak bisa mencarikan referensi bagi pendapatnya dari satu kitab pun yang menjadi sumber rujukan kaum muslimin. Paling-paling dia akan merujuk pada kitab Al-Ardh wat Turbah Al-Husainiyah.

Sedangkan kitab ini sendiri adalah karangan ulama Syi’ah generasi terakhir dan ditulis oleh seorang Pengarang yang tak dikenal.

Karena suatu hal, Penulis itu sendiri tidak berani menyebutkan nama Pengarangnya, dan tidak pula mengungkap jati dirinya sehingga tidak terbuka kedok kebohongannya, akibat ia menyebutkannya sebagai sumber rujukan bagi kedustaan-kedustaannya

Pengarang Syi’ah tadi tidak merasa cukup dengan kebohongan yang telah dia rekayasa terhadap para generasi pertama umat ini, akan tetapi juga mengatasnamakan kebohongan itu pada generasi-generasi berikutnya.

Untuk lebih jelasnya, simaklah perkataannya yang berikut, “Di antara para ulama, yakni seorang ahli fiqhi senior yang tidak diragukan lagi kreidibilatasnya, Masruq bin Al-Ajda’ (wafat 62 H) telah menunjukkan sikap itu.

Dia adalah seorang tabi’in yang besar dan termasuk guru (perawi) para imam hadits yang berjumlah enam (Al-Bukhari, Muslim, Abu Dawud, An-Nasa’i, At-Tirmidziy, dan Ibnu Majah). Beliau telah mengambil lempengan dari tanah Madinah Al-Munawwarah untuk dijadikan alas sujud ketika bepergian jauh. Hal ini sebagaimana yang diriwayatkan oleh Syaikh Al-Masyaikh Al-Hafidz Imam As-Sunnah Abu Bakr bin Abi Syaibah di dalam kitabnya Al-Mushannaf (jilid dua, dalam bab: Man Kana Yahmilu fis Safinah Syai’an Yasjudu ‘alahi). Beliau telah meriwayatkan dengan dua sanad. Isinya adalah jika Masruq bepergian, maka dia akan membawa lempengan dari tanah Madinah di dalam kapal untuk digunakan alas sujud. ” [Lihat As-Sujud alat Turbah Al-Husainiyyah (hal. 13)]

Di dalam perkataan di atas terdapat banyak sekali kebohongan.

Pertama, jika dia menyebutkan bahwa Masruq mengambil lempengan tanah saat bepergian, maka yang dimaksud bepergian di sini adalah lewat jalur darat. Maka riwayat itu bertentangan dengan keterangan yang dia sebutkan sendiri.

Kedua, pernyataan dia bahwa Masruq telah melakukan hal tersebut, sehingga memberikan opini bahwa memang hal itu berasal dari Masruq. Padahal yang benar, tidak demikian.

Bahkan hadits itu tergolong dha’if (lemah) dan terputus sanadnya, sebagaimana akan dibahas secara rinci.

Ketiga, Ucapannya, “…dengan dua sanad” merupakan kedustaan. Padahal itu hanya satu sanad bermuara pada Muhammad bin Sirin. Dalam hal itu, sanad ke Masruq adalah dho’if (lemah), tak bisa dijadikan hujjah, karena bermuara pada seorang rawi yang tak disebutkan lagi majhul (tak dikenal).

Keempat, pengarang Syia’h ini telah menyusupkan redaksi tambahan dalam hadits tersebut. Redaksi susupan itu sendiri tidak tercantum dalam kitab Al-Mushannaf. Redaksi tambahan yang dimaksud adalah kalimat “Dari tanah Madinah Al-Munawwarah”. Frase ini tidak terdapat di dalam dua riwayat tersebut dari Penulis Syi’ah itu. Tahukah Anda kenapa Penulis Syi’ah itu menyusupkan redaksi ini dalam atsar (hadits) itu?

Sekarang sudah jelas bahwa mengambil lempengan tanah yang dianggap memiliki berkah (Madinah Al-Munawwarah) untuk digunakan alas sujud tidak memiliki dasar dalil.

Tujuan dari penyusunan redaksi tersebut sebenarnya adalah untuk memberikan kesan kepada pembaca bahwa seakan-akan Masruq -rahimahullah- telah mengambil lempengan tanah Madinah untuk dibuat alas sujud dan digunakan untuk mencari berkah.

Jika para pembaca telah membenarkan informasi ini, maka secara otomatis orang Syi’ah itu akan mengikutkan di dalamnya pembolehan mengambil lempengan tanah Karbala’, karena status kedua tanah tersebut dianggap memiliki “kesamaan”, yakni sama-sama suci dan mulia. Ya, walaupun tanah Karbala’ pada hakikatnya tak suci.

Jika anda telah tahu bahwa yang dijadikan sumber qias (tanah Madinah) adalah keliru dan tidak ada dasarnya, bahkan hanya hasil rekayasa seorang Syi’ah. Jadi, sudah barang tentu materi yang diqiaskan (tanah Karbala’) akan salah juga. Karena ada pepatah yang mengatakan, “Apakah bayangan akan tegak lurus kalau tongkatnya sendiri sudah bengkok?!”

Maka pikirkan kembali wahai pembaca yang mulia, begitu nekadnya orang-orang Syi’ah untuk membuat kebohongan, sekalipun atas nama Nabi-Shollallahu ‘alaihi wasallam- dalam rangka menguatkan kesesatan mereka. Niscaya jelaslah bagimu kebenaran orang yang menyifati mereka dari kalangan ulama’ dengan istilah,

أَكْذَبُ الطَّوَائِفِ الرَّافِضَةُ
“Kelompok yang paling pembohong adalah kelompok Rafidhah (Syi’ah)”. [Lihat Ash-Shahihah (3/162-166)]

Syaikh Ali Al-Qari-rahimahullah- berkata, “Disunnahkan untuk tidak menyamai kelompok Rafidhah (Syi’ah) dalam perkara agama yang mereka ada-adakan atau perkara yang telah menjadi syi’ar mereka -sebagaimana hal itu telah ditetapkan dalam madzhab kami-.

Di antara bid’ah dan syi’ar mereka adalah meletakkan batu di atas tempat sujud. Karena sesungguhnya sujud langsung di atas tanah adalah lebih afdhol menurut kesepakatan para ulama’. Disamping itu, memang boleh sujud di atas hamparan, loteng, dan sejenisnya menurut Ahlus Sunnah.

Akan tetapi meletakkan batu di atas tempat sujud merupakan perbuatan bid’ah yang diada-adakan oleh orang-orang Syi’ah.

Hal ini telah menjadi syi’ar mereka. Karena itulah selayaknya perbuatan semacam ini dijauhi dengan dua alasan: pertama, karena akan menyamai mereka dalam bid’ah. Kedua, menghindarkan diri dari tuduhan yang tidak-tidak. ” [Lihat Tazyin Al-’Ibarah li Tahsinil Isyarah (hal. 12) dan As-Sailil Jarrar (1/217)]

Via Akhukum Chaeruddin Irsyad

Tidak ada komentar: