Gerakan Theosofi dan Kaum Adat di Minangkabau dengan sebutan paderi dan wahabi

Datuk Sutan Maharadja

(Gambar: Datuk Sutan Maharadja, tokoh adat, penganut tarekat, penganut Theosofi Yahudi, penentang kelompok Islam)

Penganut Theosofi di Minangkabau menolak penegakkan syariat yang dianggap ancaman terhadap adat istiadat Minangkabau. Padahal syariat yang ingin ditegakkan ketika itu hanyalah ingin menghapus adat istiadat yang bertentangan dengan akidah Islam

Gerakan Theosofi tak hanya ada di Tanah Jawa. Di Minangkabau, Sumatera Barat, organisasi kebatinan Yahudi ini juga memiliki banyak pengikut. Terutama mereka yang dididik di sekolah-sekolah milik pemerintah kolonial, elit setempat yang memiliki kedekatan dengan Belanda, dan para penganut tarekat. Para penganut tarekat menganggap Theosofi sama dengan tasawuf, sebagaimana anggapan ini juga pernah hinggap pada Haji Agoes Salim yang sempat menjadi anggota Theosofi dan kemudian keluar dari keanggotaan setelah mengetahui tujuan sesungguhnya dari Theosofi yang tidak sejalan dengan Islam. Haji Agoes Salim bahkan pernah menerjemahkan buku berjudul “Kitab Theosofi” yang ditulis oleh tokoh Theosofi dunia, Charles Webster Leadbeater.

Sebagaimana di Tanah Jawa, penganut Theosofi di Minangkabau juga memiliki kedekatan dengan pemerintah Belanda. Mereka juga terlibat dalam permusuhan dengan kelompok Islam, utamanya mereka yang menginginkan ajaran Islam bersih dari unsur-unsur tradisi dan adat istiadat yang bukan berasal dari Islam atau yang bertentangan dengan Islam. Di Sumatera Barat, tokoh kaum adat yang menginginkan tradisi tetap berada di atas hukum syariat, adalah mereka yang tercatat sebagai penganut organisasi Theosofi. Sedangkan mereka yang menginginkan tradisi Minangkabau bersih dari unsur-unsur bid’ah, khurafat, dan takhayul yang berasal dari tradisi di luar Islam, disebut sebagai kaum muda Islam. Namun, kaum adat menyebut mereka yang ingin mengadakan pemurnian ajaran Islam ini dengan sebutan “Kelompok Paderi” atau “penganut Wahabi”.

Dalam sejarah tercatat, mereka yang dituduh sebagai pewaris gerakan Paderi dan pembawa paham Wahabi, serta penentang kelompok adat adalah Syekh Abdul Karim Amrullah (ayah dari Buya Hamka), Haji Miskin, Haji Abdullah Ahmad, Syekh Djamil Djambek, dan Syekh Achmad Khatib. Mereka sendiri tidak pernah menyebut dirinya sebagai kelompok Wahabi dan tak pernah juga menyatakan dirinya sebagai pewaris gerakan Paderi. Semua label itu diberikan oleh kaum adat, yang pada masa lalu khawatir bahwa adat istiadat, tradisi dan budaya Minangkabau tergerus dengan syariat Islam. Namun begitu, kelompok yang dituduh sebagai penganut Wahabi berhasil menjadikan Minangkabau sebagai wilayah yang kental dengan nuansa syariat Islam, dengan semboyannya yang terkenal hingga kini: Adat Basandi Syara’, Syara’ Basandi Kitabullah!

Siapa tokoh penganut Theosofi di Sumatera Barat? Diantara tokoh kaum adat yang juga penganut Theosofi adalah Datuk Sutan Maharadja. Selain penganut Theosofi, Sutan Maharadja juga dikabarkan sebagai penganut Tarekat Martabat Tujuh. Datuk Sutan Maharadja yang bernama asli Mahyudin lahir pada 27 November 1862 di daerah Sulit Air, Solok, Sumatera Barat. Ia menamatkan pendidikan di Europeesche Lagere School (ELS), sekolah elit yang kebanyakan muridnya anak-anak tuan-tuan Belanda. Sutan Maharadja bisa mengenyam pendidikan di sekolah tersebut karena kedekatan ayahnya dengan pemerintah kolonial. Seperti keterangan sejarawan Deliar Noer, Sutan Maharadja dikenal sengit dalam menentang kelompok Islam.

Ayah Sutan Maharadja bernama Datuk Bandaro. Sosok sang ayah dikenal sangat memusushi ulama dan menjunjung tinggi adat istiadat. Datuk Bandaro mengkhawatirkan sepak terjang para ulama yang berusaha memurnikan ajaran Islam dari tradisi dan adat istiadat di luar Islam, sebagai pewaris gerakan Paderi atau penganut Wahabi yang ingin menghapuskan adat dan tradisi Minangkabau. Padahal, apa yang dilakukan para ulama ketika itu, sekadar membersihkan Minangkabau dari adat dan tradisi yang bertentangan dengan Islam. Para ulama ketika itu dengan tegas menyatakan bahwa Islam yang merupakan jati diri rakyat Minangkabau harus bersih dari adat dan tradisi yang tidak sesuai dengan ajaran yang dibawa oleh Nabi Muhammad Shallallahu Alaihi wa Sallam.

Datuk Sutan Maharadja terinspirasi dengan Gerakan Turki Muda (Young Turk Movement) yang dipelopori oleh seorang Yahudi Dunamah anggota Freemason, Mustafa Kemal At-Taturk. Karena terinspirasi dengan revolusi yang terjadi di Turki, Sutan Maharadja kemudian mendirikan kelompok kaum adat dengan tujuan menjaga kelestarian adat istiadat Minangkabau dan menjauhkannya dari pengaruh Kesultanan Aceh, yang pada masa lalu sangat menjalin erat dengan Khilafah Utsmaniyah di Turki. Oleh para pendukungnya, Sutan Maharadja kemudian mendapat gelar “Datuk Bangkit” karena usahanya untuk membangkitkan kembali adat istiadat Aceh, yang menurutnya pada masa lalu sudah tercemar oleh pengaruh kesultanan Aceh.

Datuk Sutan Maharadja selalu menyatakan dirinya sebagai penganut Theosofi. Ia juga menegaskan pentingnya pendidikan Barat dan perlunya menjaga keteguhan adat istiadat Minangkabau dari pengaruh luar, khususnya Aceh yang berjuluk “Serambi Makkah.” Untuk melawan gerakan kaum muda yang ia sebut sebagai pewaris “Kelompok Paderi dan Wahabi” ia dan beberapa bangsawan Minangkabau kemudian mendirikan Sarikat Adat Alam Minangkabau (SAAM) pada 1916.

Untuk menyampaikan gagasan-gagasan dan mengkonter pemahaman yang ia sebut sebagai “Wahabi”, Sutan Maharadja kemudian mendirikan Surat Kabar Oetoesan Melayoe pada 1911. Dalam slogannya, surat kabar ini menulis, “Tegoehlah Setia Perserikatan Hati Antara Anak Bangsa Anak Negeri dengan Orang Wolanda (Belanda, red)”. Dengan slogan ini, jelaslah bahwa Oetoesan Melayoe sangat pro terhadap pemerintah kolonial Belanda, dan dalam artikel-artikelnya juga sangat jelas mendukung pemerintah Hindia Belanda.

Sutan Maharadja menyerang kelompok kaum muda lewat tulisan-tulisannya di surat kabar yang ia pimpin. Ia dengan tegas menolak upaya kaum muda dengan ajaran-ajaran syariatnya yang ingin menghapus adat dan tradisi Minangkabau. Pertentangan ini sampai membuat Haji Abdullah Ahmad, tokoh Islam yang disebut Wahabi oleh Sutan Maharadja, menyebut kelompok kaum adat, terutama Sutan Maharadja sendiri, “Tak tentu agamanya dan tak tentu adatnya.”

Selain Sutan Maharadja, tokoh kelompok Sarikat Alam Adat Minangkabau (SAAM) yang menjadi anggota Theosofi adalah Abdul Karim. Selain menolak penegakkan syariat Islam, pada masa lalu SAAM juga menolak pelajaran Islam masuk dalam sekolah-sekolah di Minangkabau. Mereka khawatir, pelajaran agama Islam yang masuk ke sekolah-sekolah adalah pelajaran yang mengadopsi pemahaman Wahabi yang bisa menjadi ancaman bagi adat istiadat masyarakat Minangkabau.

Untuk menolak pelajaran agama Islam di sekolah-sekolah, kaum adat kemudian membuat artikel di Surat Kabar Oetoesan Melayoe pada 28 Oktober 1918. Mereka menulis,”Relakah orang-orang Theosofi seperti Engku A Karim dan lain-lain bila anak kemenakan beliau itu akan dapat pelajaran agama Islam di sekolah, yaitu kalau yang diajarkan agama Islam itu hanya fekah (fikih) atau hukum syara’ saja? Kecuali kalau yang akan diajarkan di sekolah itu ialah pelajaran yang perbaikan hati, pensucian hati, supaya berhati suci dan berhati mulia. Sedang sekolah-sekolah agama Islam yang diadakan sekarang kalau cuma namanya saja yang sekolah agama Islam, padahal yang diajarkan melainkan hukum syara’ atau fikih saja. Pendeknya, yang diajarkan adalah Arabich Cultuur (Kultur Arab).”

Selain memuat penolakan terhadap pelajaran agama Islam di sekolah-sekolah, kaum adat yang dimotori oleh Sutan Maharadja juga membuat fitnah dengan mengatakan bahwa sekolah Adabiah yang dikelola oleh Haji Abdullah Ahmad memungut biaya yang sangat mahal kepada anak-anak didiknya. Kemudian, dengan bahasa yang sangat menjilat kaum adat meminta kepada pemerintah Belanda untuk membangun sekolah HIS (Holland Inlands School) lainnya di Minangkabau.

Pada masa lalu, di Minangkabau kelompok yang disebut pewaris Kelompok Paderi dan penganut paham Wahabi memang menolak keberadaan Theosofi dan kelompok-kelompok tarekat lainnya yang dianggap berseberangan dengan akidah Islam. Untuk membantah kelompok kaum muda yang disebut Wahabi, Sutan Maharadja kemudian membuat sebuah tulisan di Oetoesan Melayoe pada 11 Juni 1917 dengan judul “Theosofie dan SAAM (Sarikat Alam Adat Minangkabau”. Ia menulis, “…sepanjang kata murid Haji Abdullah Ahmad itu, Theosofi dikatakan sebagai agama baru. Dikatakan agama baru oleh murid Haji Abdullah Ahmad, karena pada gurunya tak ada ilmu tasauf dan tidaklah ia tahu bahwa ilmu tasauf itu bukanlah agama baru, melainkan sudah sejak dari zaman Nabi Adam. Theo itu artinya “Allah”. Sofie itu artinya ilmu. Jadi Theosofie itu ilmu Allah, ma’rifatullah…” demikian tulis Sutan Maharadja.

Benarkah Theosofi itu tasauf dan ilmu mengenal Allah? Dalam buku The Key to Theosophy, Blavatsky mengatakan, Theosofi adalah the wisdom religion (agama kebijaksanaan) yang berusaha mempersatukan agama-agama dalam sebuah “Kesatuan Hidup” yang selaras dengan nilai-nilai kemanusiaan. Tujuan Theosofi, kata Blavatsky, sama dengan apa yang dilakukan oleh seorang Yahudi bernama Ammonius Saccas, yang berusaha mengajak para gentiles/goyim (non Yahudi), para pemeluk Kristen, pemuja dewa-dewa, untuk mengenyampingkan tuntutan mereka dengan mengingat bahwa mereka memiliki kebenaran yang sama. Agama menurutnya, adalah tunas-tunas dari batang pohon yang sama, yaitu the wisdom religion.

Theosofi mempunyai menyatukan agama-agama dalam sebuah puncak persaudaraan universal, yang pada ujungnya justru menihilkan sama sekali agama-agama yang ada. Karena, masing-masing orang tidak boleh merasa agamanya yang paling benar, dan masing-masing orang harus mengakui bahwa semua agama sama, menuju pada yang sama, dan mengabdi pada kemanusiaan. Theosofi adalah perkumpulan sinkretisme yang kemudian banyak melahirkan istilah-istilah baru, seperti agama kemanusiaan, agama budi, agama kemerdekaan, agama universal dan lain-lain. Dan, atas nama “menjaga kearifan lokal masa lalu” kelompok Theosofi pada masa lalu juga berusaha menjadikan nilai-nilai tradisi berada di atas agama. Jadi, agama tak boleh mengalahkan tradisi. Inilah yang juga menjadi sikap Datuk Sutan Maharadja, yang berusaha mati-matian untuk menjaga agar adat istiadat dan tradisi tak terhapus oleh ajaran-ajaran yang dibawa oleh syara’.

Jika Sutan Maharadja memang anggota Theosofi sejati, tentu ia sangat tahu siapa saja pendiri Theosofi, apa latarbelakangnya, dan bagaimana ajaran-ajarannya. Jika ia sudah tahu tapi masih menjadi penganut Theosofi, maka bisa dipastikan ia tak lain adalah kepanjangan tangan pemerintah kolonial, yang pada masa lalu banyak dari elit-elitnya adalah anggota Theosofi dan Freemason. Sebagai aliran kebatinan Yahudi yang memiliki banyak pemahaman sesat seperti pluralisme agama, kesatuan wujud hamba dengan Tuhan (manunggaling kawula gusti), kesatuan Tuhan bagi semua agama-agama yang ada, tentu Theosofi sangat berbahaya bagi masyarakat Minangkabau yang begitu berurat berakar dengan jatidiri keIslamannya.(Suara Islam Online)

Artawijaya
Penulis buku “Gerakan Theosofi di Indonesia” dan “Jaringan Yahudi Internasional di Nusantara” Pustaka Al-Kautsar, Jakarta

Tidak ada komentar: