Peristiwa sejarah yang terjadi di setiap negara, tentu memiliki kisahnya tersendiri. Masa lalu Indonesia yang pernah hidup di dalam belenggu penjajahan Belanda, memiliki sebuah cerita perih yang akan terus dikenang hingga akhir zaman. Ya, kisah pengkhianatan anak bangsa yang rela menggadaikan kemerdekaan dan kehormatannya, demi menikmati hidup makmur ala kolonial di bumi Nusantara.
Pribumi yang anti terhadap semangat perjuangan tentara republik, tergabung dalam beberapa organisasi bentukan Belanda. Salah satunya adalah NICA. Selain menginginkan kehidupan mapan secara mudah, serangkaian alasan politis juga menjadi penyebab mata hati mereka tertutup rapat. Alih-alih membantu saudara sebangsanya di medan juang, mereka bahkan rela menjadi pengkhianat bangsa yang menorehkan kisah buram di tanah air.
Harta dan kenyamanan hidup lebih berharga daripada kemerdekaan
Belanda yang telah menanamkan pengaruh kolonialnya pada Indonesia, membuat sebagian rakyatnya takluk yang kemudian menjadi tunduk dan patuh. Bagi mereka, nasionalisme dan angin kemerdekaan, hanyalah buaian mimpi belaka yang mustahil terjadi. Alhasil, banyak kalangan terpelajar Indonesia, lebih memilih menjadi pegawai kolonial Belanda. Kemapanan, finansial dan jaminan hidup, lebih mulai dibanding bersimbah darah di medan pertempuran.
Aristokrat dan bangsawan yang gila hormat dan harta di era revolusi
Tak hanya di kalangan terpelajar, para aristokrat dan bangsawan (raja-raja), juga ikt termakan rayuan duniwai yang ditawarkan para penjajah. Pada zaman itu, bukanlah hal aneh jika para raja, bangsawan maupun pejabatnya dekat dengan pemerintahan kolonial. Motivasi mereka pun beragam. Ada yang dekat karena ingin diangkat menjadi raja atau pemangku wilayah karesidenan. Atau minimal menjadi pegawai sipilnya saja. Meski Indonesia telah merdeka sekalipun, para penjilat ini tetap menyatakan kesetiannya pada Belanda dan bergabung dengan Nederlands Indie Civil Administration (NICA).
Tugas dan peran NICA di Indonesia
Peranan NICA sangatlah vital bagi kelangsungan eksistensi penjajah kolonial. Tugas utamanya adalah mengembalikan pemerintahan sipil dan hukum sesuai dengan undang-undang ala kolonial Hindia Belanda. Dibentuk pada 1944 di Australia, NICA menjadi penghubung Pemerintah Kolonial Hindia Belanda di pengasingan dengan Komando Tertinggi Sekutu di Wilayah Pasifik Barat Daya (SWPA/South West Pacific Area). Bisa dibilang, organisasi ini merupakan lembaga yang menampung wilayah Hindia Belanda setelah berhasil direbut oleh Sekutu dari tangan Jepang.
Berganti-ganti nama karena ditentang pemerintah Indonesia
Utusan resmi NICA mendarat di Batavia (sekarang Jakarta) pada September 1945. Kedatangan staff mereka di Nusantara ditolak oleh pemerintah Republik Indonesia karena dianggap masih berbau kolonialisme. Terlebih nama Hindia Belanda yang masih digunakan. Tak kurang akal, mereka pun merubah nama menjadi AMACAB (Allied Military Administration-Civil Affairs Branch) pada Januari 1946. Tak lama setelah hengkangnya Inggris dari Indonesia, namanya berganti menjadi Tijdelijke Bestuursdienst (Temporary Administrative Service).
Setelah Indonesia berhasil meraih kemerdekaannya, ada saja teknik dan siasat Belanda agar masih memiliki kesempatan berkuasa kembali. Dengan membonceng Inggris, mereka pun kembali mempersenjatai para anggota NICA dan KNIL di Indonesia. Alhasil, pertempuran besar seperti peristiwa Surabaya, Palagan Ambarawa dan Medan Area, kembali terjadi di tanah air. Mirisnya, banyak dari anggota NICA adalah orang-orang pribumi yang sampai hati membunuh saudararnya sendiri. Tentara lokal inilah yang tergabung dalam kompi V Andjing NICA yang terkenal sadis dan haus darah.
Meski telah berlalu, kisah pengkhianat NICA yang ikut andil dalam serangkaian persitiwa berdarah di Indonesia tentu sangat disayangakan. Negeri yang harusnya ditata kembali setelah mencapai kemerdekaannya, harus kembali bermandi darah untuk kedua kalinya. Oleh sebab itu, suatu negara tidak akan jatuh dan rusuh kecuali ada pengkhianat di dalamnya.
Pribumi yang anti terhadap semangat perjuangan tentara republik, tergabung dalam beberapa organisasi bentukan Belanda. Salah satunya adalah NICA. Selain menginginkan kehidupan mapan secara mudah, serangkaian alasan politis juga menjadi penyebab mata hati mereka tertutup rapat. Alih-alih membantu saudara sebangsanya di medan juang, mereka bahkan rela menjadi pengkhianat bangsa yang menorehkan kisah buram di tanah air.
Harta dan kenyamanan hidup lebih berharga daripada kemerdekaan
Belanda yang telah menanamkan pengaruh kolonialnya pada Indonesia, membuat sebagian rakyatnya takluk yang kemudian menjadi tunduk dan patuh. Bagi mereka, nasionalisme dan angin kemerdekaan, hanyalah buaian mimpi belaka yang mustahil terjadi. Alhasil, banyak kalangan terpelajar Indonesia, lebih memilih menjadi pegawai kolonial Belanda. Kemapanan, finansial dan jaminan hidup, lebih mulai dibanding bersimbah darah di medan pertempuran.
Aristokrat dan bangsawan yang gila hormat dan harta di era revolusi
Tak hanya di kalangan terpelajar, para aristokrat dan bangsawan (raja-raja), juga ikt termakan rayuan duniwai yang ditawarkan para penjajah. Pada zaman itu, bukanlah hal aneh jika para raja, bangsawan maupun pejabatnya dekat dengan pemerintahan kolonial. Motivasi mereka pun beragam. Ada yang dekat karena ingin diangkat menjadi raja atau pemangku wilayah karesidenan. Atau minimal menjadi pegawai sipilnya saja. Meski Indonesia telah merdeka sekalipun, para penjilat ini tetap menyatakan kesetiannya pada Belanda dan bergabung dengan Nederlands Indie Civil Administration (NICA).
Tugas dan peran NICA di Indonesia
Peranan NICA sangatlah vital bagi kelangsungan eksistensi penjajah kolonial. Tugas utamanya adalah mengembalikan pemerintahan sipil dan hukum sesuai dengan undang-undang ala kolonial Hindia Belanda. Dibentuk pada 1944 di Australia, NICA menjadi penghubung Pemerintah Kolonial Hindia Belanda di pengasingan dengan Komando Tertinggi Sekutu di Wilayah Pasifik Barat Daya (SWPA/South West Pacific Area). Bisa dibilang, organisasi ini merupakan lembaga yang menampung wilayah Hindia Belanda setelah berhasil direbut oleh Sekutu dari tangan Jepang.
Berganti-ganti nama karena ditentang pemerintah Indonesia
Utusan resmi NICA mendarat di Batavia (sekarang Jakarta) pada September 1945. Kedatangan staff mereka di Nusantara ditolak oleh pemerintah Republik Indonesia karena dianggap masih berbau kolonialisme. Terlebih nama Hindia Belanda yang masih digunakan. Tak kurang akal, mereka pun merubah nama menjadi AMACAB (Allied Military Administration-Civil Affairs Branch) pada Januari 1946. Tak lama setelah hengkangnya Inggris dari Indonesia, namanya berganti menjadi Tijdelijke Bestuursdienst (Temporary Administrative Service).
Setelah Indonesia berhasil meraih kemerdekaannya, ada saja teknik dan siasat Belanda agar masih memiliki kesempatan berkuasa kembali. Dengan membonceng Inggris, mereka pun kembali mempersenjatai para anggota NICA dan KNIL di Indonesia. Alhasil, pertempuran besar seperti peristiwa Surabaya, Palagan Ambarawa dan Medan Area, kembali terjadi di tanah air. Mirisnya, banyak dari anggota NICA adalah orang-orang pribumi yang sampai hati membunuh saudararnya sendiri. Tentara lokal inilah yang tergabung dalam kompi V Andjing NICA yang terkenal sadis dan haus darah.
Meski telah berlalu, kisah pengkhianat NICA yang ikut andil dalam serangkaian persitiwa berdarah di Indonesia tentu sangat disayangakan. Negeri yang harusnya ditata kembali setelah mencapai kemerdekaannya, harus kembali bermandi darah untuk kedua kalinya. Oleh sebab itu, suatu negara tidak akan jatuh dan rusuh kecuali ada pengkhianat di dalamnya.
artikel boombastis.com
Tidak ada komentar: