Ifthor jamai atau buka bersama setelah berpuasa adalah suatu tradisi amalan yang dilakukan kaum muslimin khususnya di bulan Romadhan, lantas bagaimana hukumnya menurut tinjauan syariat?
Pertama: perlu dilihat bahwa apakah tradisi amalan ini bertentangan dengan syariat islam?
jika kita melihat dalam buka bersama, tidak ada yang menunjukan adanya hal-hal yang bertentangan dengan syariat islam, bahkan hukum asal makan bersama adalah boleh, sebagaimana firman Allah ta’ala:
لَيْسَ عَلَيْكُمْ جُنَاحٌ اَنْ تَأْكُلُوْا جَمِيْعًا اَوْ اَشْتَاتًاۗ
Tidak ada halangan bagi kamu makan bersama-sama mereka atau sendiri-sendiri. (QS An-nur: 61).
Imam ibnu katsir rohimahullah bertakta terkait ayat ini:
“Ini merupakan keringanan dari Allah ta’ala agar makan sendiri-sendiri atau makan berjamaah, meskipun makan secara berjamaah itu lebih utama dan lebih berkah” (tafsir ibnu katsir 6/86)
Kemudian ibnu katsir menyebutkan sebuah hadis yang diriwayatkan oleh imam ahmad, dan juga abu daud dan ibnu majah:
((فلعلكم تأكلون متفرقين، اجتمعوا على طعامكم، واذكروا اسم الله يبارك لكم فيه))
“Mungkin saja kalian makan terpisah-pisah, berkumpullah atas makanan kalian, dan sebutlah nama Allah, maka kalian akan diberkati padanya”
Dan juga beliau menyebutkan hadits lain:
((كلوا جميعا ولا تفرقوا؛ فإن البركة مع الجماعة))
“makanlah secara berjamaah, dan janganlah berpencar, sesungguhnya keberkahan ada pada berjamaah” HR.Ibnu Majah.
Kalau Secara umum makan berjamaah adalah boleh atau bahkan di anjurkan karena terdapat keberkahan padanya, tentu di bulan Romadhan sangatlah ditekankan, terlebih ada anjuran untuk memberi makan berbuka orang yang berpuasa.
Kedua: dalam ifthor jama’i di bulan Romadhan terdapat manfaat yang sangat banyak yang mana hal itu sangat di anjurkan dan sesuai dengan maqosid syariah.
Diantara manfa’at-manfa’at tersebut adalah:
1. Dengannya terjalin hubungan kerabat atau ukhuwah Islamiyah.
2. Saling merasakan kebahagiaan dan berbagi antar sesama.
3. Membuka Kesempatan bagi yang ingin meraih pahala dengan memberi makanan berbuka.
4. Meraih keberkahan dalam berjamaah.
Dan masih banyak lagi manfa’at-manfa’at lainnya.
Ketiga: pentingnya memahami definisi bid ’ah, karena salah persepsi dalam memahami definisi bid ‘ah bisa berdampak kesalahan dalam menghukumi suatu amalan.
Terdapat beragam perkataan para ulama dalam mendefinisikan bid ‘ah, Diantara definisi yang populer di kalangan ulama adalah perkataan imam as-syatibi rahimahullah bahwasanya bid ’ah adalah:
طريقة في الدين مخترعة، تضاهي الشرعية يقصد بالسلوك عليها المبالغة في التعبد لله سبحانه.
Mengadakan suatu cara yang baru, yang menandingi syariat, yang dikerjakan dengan tujuan mempersembahkan nilai yang lebih dalam beribadah kepada Allah. (al I’tishom/50).
Dalam islam tidak semua amalan membutuhkan dalil khusus secara shorih, adakalanya terdapat suatu amalan yang disebutkan dengan dalil secara khusus seperti, sholat puasa dan rukun islam yang lainnya, ada juga yang tidak ada dalil secara khusus akan tetapi termasuk dalam Qoidah umum, atau sejalan dengan maqosid syariah, atau termasuk dalam mosholih mursalah atau yang lainya, dan ini sangat banyak contohnya seperti penulisan dan pengumpuylan alqura’an, pembagian ilmu ilmu islam, ada ilmu fiqih, ilmu ushul fiqih, atau penggunaan mikrofon di masjid dan sebagainya, ini semua tidak ada dalil khusus.
Terkait ifthor jamai atau buka bersama pada bulan Romadhan, maka hal itu bukanlah suatu bid’ah karena walaupun tidak ada dalil khusus akan tetapi ada asal muasal pengakuannya dalam syariat, yang mana hukum asal makan secara berjamaah adalah boleh atau dianrukan sebagaimana yang di jelaskan di atas, dan juga terdapat anjuran dalam banyak hadis-hadis Nabi untuk memberikan makanan berbuka untuk orang yang berpuasa terkhusus di bulan Romadhan, yang mana akan lebih terwujud deangan adanya ifthor jama’i.
Keempat: terkait penalangan dana untuk buka bersama, ini juga tidak mengapa, karena apabila hukum ifthor jamai itu boleh atau di anjurkan maka wasilah untuk mencapainya pun di bolehkan atau di anjurkan.
Kelima: permasalahan ifthor jamai ini sudah ditanyakan kepada para ulama, dan hampir semuanya membolehkan, di antaranya dewan fatwa arab saudi (al-lajnah daimah), dan juga syeikh sholeh al utsaimin dan ulama2 yang lainnya. Wallahu a’lam.
Madinah- 14 romadhon 1444
✍🏼 Abdulhalim ILH عفا الله عنه
Tidak ada komentar: