Penjelasan Ringkas Membaca basmalah jahr atau sirr dalam sholat dan baca alquran

Para ulama berbeda pendapat tentang basmalah pada awal surat-surat di dalam Al-Qur’an,  apakah termasuk Al-Qur’an dan termasuk surat itu atau tidak? 

Yang rajih (lebih kuat) –wallahu a’lam- bahwa basmalah pada awal semua surat di dalam Al-Qur’an termasuk ayat Al-Qur’an, karena telah ditetapkan dan ditulis di dalam mushhaf. Dan telah mutawatir riwayat dari para sahabat bahwa semua yang ditulis di antara dua sampul mush-haf itu adalah Al-Qur’an. 

Namun tidak termasuk surat, (kecuali Al-Fatihah-pent). [Lihat: Majmu’ Fatawa Syaikul Islam Ibnu Taimiyah 22/433-434]

MEMBACA BASMALAH DI LUAR SHOLAT PADA AWAL SURAT DENGAN JAHR (KERAS)

Karena basmalah di dalam Al-Qur'an termasuk bagian Al-Qur'an, maka ketika membaca surat di dalam Al-Qur'an dari awalnya di luar sholat, disyari'atkan membacanya dengan jahr (keras), yaitu sampai terdengar orang lain. Hal ini dicontohkan oleh Nabi shollallohu ‘alaihi wa sallam sebagaimana berikut:

عَنْ أَنَسٍ, قَالَ: بَيْنَا رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ذَاتَ يَوْمٍ بَيْنَ أَظْهُرِنَا إِذْ أَغْفَى إِغْفَاءَةً ثُمَّ رَفَعَ رَأْسَهُ مُتَبَسِّمًا 
فَقُلْنَا: " مَا أَضْحَكَكَ يَا رَسُولَ اللَّهِ؟"
قَالَ: " أُنْزِلَتْ عَلَيَّ آنِفًا سُورَةٌ " 
فَقَرَأَ: " بِسْمِ اللَّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيمِ إِنَّا أَعْطَيْنَاكَ الْكَوْثَرَ فَصَلِّ لِرَبِّكَ وَانْحَرْ إِنَّ شَانِئَكَ هُوَ الْأَبْتَرُ " ثُمَّ قَالَ: " أَتَدْرُونَ مَا الْكَوْثَرُ؟"
فَقُلْنَا: " اللَّهُ وَرَسُولُهُ أَعْلَمُ " 
قَالَ: " فَإِنَّهُ نَهْرٌ وَعَدَنِيهِ رَبِّي عَزَّ وَجَلَّ , عَلَيْهِ خَيْرٌ كَثِيرٌ , 
هُوَ حَوْضٌ تَرِدُ عَلَيْهِ أُمَّتِي يَوْمَ الْقِيَامَةِ, آنِيَتُهُ عَدَدُ النُّجُومِ, 
فَيُخْتَلَجُ الْعَبْدُ مِنْهُمْ فَأَقُولُ " رَبِّ إِنَّهُ مِنْ أُمَّتِي" 
فَيَقُولُ " مَا تَدْرِي مَا أَحْدَثَتْ بَعْدَكَ!" 
Dari Anas (bin Malik), dia berkata: 
"Pada suatu hari Rosululloh shollallohu ‘alaihi wa sallam di tengah-tengah kami (di dalam riwayat lain ada tambahan: di dalam masjid), 
beliau tidur sebentar lalu mengangkat kepalanya dengan keadaan tersenyum. 
Maka kami bertanya: "Apa yang telah menjadikanmu tersenyum wahai Rosululloh?". 
Beliau menjawab: "Baru saja diturunkan kepadaku sebuah surat". Lalu berlau membaca:

بِسْمِ اللَّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيمِ إِنَّا أَعْطَيْنَاكَ الْكَوْثَرَ فَصَلِّ لِرَبِّكَ وَانْحَرْ إِنَّ شَانِئَكَ هُوَ الْأَبْتَرُ
Kemudian beliau bertanya: "Tahukah kamu,apakah al-kautsar itu?" 
Kami menjawab: "Alloh dan RosulNya lebih mengetahui".  

Beliau bersabda: 
"Itu adalah sebuah sungai yang Robbku 'Azza wa Jalla menjanjikannya kepadaku. 
Padanya terdapat kebaikan yang banyak. 
Itu juga merupakan telaga yang akan didatangi oleh umatku pada hari kiamat. 
Wadah minumnya sebanyak bilangan bintang-bintang. 
Kemudian seorang hamba di antara mereka akan ditarik, maka akan akan berkata: "Wahai Robbku, dia adalah umatku". 
Alloh menjawab: "Engkau tidak mengetahui perkara baru yang dibuat oleh umatmu setelahmu". (HR. Muslim, no. 400)

Penjelasan Imam Nawawi

Imam Nawawi (wafat th. 676 H) berkata menjelaskan kandungan hadits ini: 
"Di dalam hadits ini terdapat banyak faedah, di antaranya bahwa basmalah di permulaan surat-surat termasuk bagian Al-Qur'an. 
Inilah maksud (imam) Muslim memasukkan hadits ini di tempat ini". (Syarh Muslim, hadits no. 400)

MEMBACA BASMALAH DI DALAM SHOLAT DENGAN SIR (PELAN)

Para ulama berbeda pendapat tentang membaca basmalah di dalam surat Al-Fatihah, apakah dbaca jahr (keras) atau sir (pelan)?

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah (wafat th. 728 H) berkata: 

ثُمَّ مَعَ قِرَاءَتِهَا هَلْ يُسَنُّ الْجَهْرُ أَوْ لَا يُسَنُّ عَلَى ثَلَاثَةِ أَقْوَالٍ: 
قِيلَ: يُسَنُّ الْجَهْرُ بِهَا كَقَوْلِ الشَّافِعِيِّ وَمَنْ وَافَقَهُ. 
قِيلَ: لَا يُسَنُّ الْجَهْرُ بِهَا كَمَا هُوَ قَوْلُ الْجُمْهُورِ مِنْ أَهْلِ الْحَدِيثِ وَالرَّأْيِ وَفُقَهَاءِ الْأَمْصَارِ. 
وَقِيلَ: يُخَيَّرُ بَيْنَهُمَا. كَمَا يُرْوَى عَنْ إسْحَاقَ وَهُوَ قَوْلُ ابْنِ حَزْمٍ وَغَيْرِهِ.
Kemudian membaca basmalah itu, apakah disukai mengeraskan atau tidak, ada tiga pendapat:

1- Disukai mengeraskan bacaan basmalah. Seperti pendapat Syafi'i dan ulama yang menyetujuinya.

2- Tidak disukai mengeraskan basmalah. Seperti pendapat mayoritas ulama dari kalangan ahli hadits, ahli ro'yi, dan para ahli fiqih berbagai kota.

3- Boleh dibaca keras dan boleh pula dibaca pelan. Ini pendapat Ibnu Hazm dan lainnya. Juga diriwayatkan dari Ishaq". (Majmu' Fatawa Ibnu Taimiyah 22/435-436)

Pendapat yang rajih (paling kuat) adalah pendapat kedua, karena dalil-dalilnya shahih dan tegas. 
Yaitu basmalah dibaca dengan pelan, tidak disukai mengeraskan basmalah.  

Ini merupakan pendapat Khulafaur Rasyidin: Abu Bakar, Umar, Utsman, Ali, dan sahabat Ibnu Mas’ud, Ibnu Zubair, dan ‘Ammar –semoga Alloh meridhoi mereka- . 

Juga pendapat Al-Auza’i, Sufyan Ats-Tsauri, Ibnul Mubarak, Hanabilah dan Ash-habur Ro’yi. Ini adalah pendapat jumhur ulama.
 
[Lihat Shahih Fiqih Sunnah, 1/541-544, karya: Abu Malik Kamal bin As-Sayid Salim]

HADITS ANAS BIN MALIK

Di antara dalil-dalil membaca basmalah di dalam sholat dengan sirr adalah:

عَنْ أَنَسِ بْنِ مَالِكٍ: أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَأَبَا بَكْرٍ وَعُمَرَ (وَعُثْمَانُ) رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا كَانُوا يَفْتَتِحُونَ الصَّلَاةَ بِ الْحَمْدُ لِلَّهِ رَبِّ الْعَالَمِينَ
Dari Anas bin Malik: “bahwa Nabi shollallohu ‘alaihi wa sallam,  Abu Bakar, dan Umar, )juga Utsman), 
mereka semua membuka shalat dengan (membaca) al-hamdulillaahi robbil ‘alamiin”.
(HR. Bukhari, no: 743; Muslim, no: 399; tambahan “dan Utsman” pada riwayat Tirmidzi, no: 246)

PENJELASAN IMAM TIRMIDZI

Setelah meriwayatkan hadits ini, Imam Tirmidzi (wafat th. 279 H) mengatakan: 

“Amalan ini dilakukan oleh sahabat-sahabat Nabi, dan para tabi’in setelah mereka. Mereka membuka bacaan dengan al-hamdulillaahi robbil ‘alamiin. 

Tetapi (imam) Syafi’i berkata: ‘Makna hadits ini adalah bahwa Nabi shollallohu ‘alaihi wa sallam,  Abu Bakar, Umar, dan Utsman, mereka semua membuka bacaan (shalat) dengan  membaca Al-Fatihah sebelum surat’. Maknanya bukanlah mereka tidak membaca bismillahir rohmanir rohim. 

Dan (imam) Syafi’i berpendapat (imam sholat) memulai dengan bismillahir rohmanir rohim dan mengeraskannya, jika dia mengeraskan bacaan”. 
(Sunan Tirmidzi, no: 246)

KESALAHAN PENDAPAT IMAM SYAFI’I 
Pendapat imam Syafi’i di atas terbantah dengan riwayat-riwayat lain. Yaitu riwayat-riwayat yang menegaskan bahwa Rasulullah shollallohu ‘alaihi wa sallam, Abu Bakar, Umar, dan Utsman memulai bacaan dengan hamdalah dan tidak mengeraskan bacaan basmalah. 

Di dalam riwayat lain: Yaitu tambahan yang ada pada riwayat imam Muslim: 

عَنْ أَنَسٍ, قَالَ: " صَلَّيْتُ مَعَ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَأَبِي بَكْرٍ وَعُمَرَ وَعُثْمَانَ, فَلَمْ أَسْمَعْ أَحَدًا مِنْهُمْ يَقْرَأُ بِسْمِ اللَّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيمِ "
Dari Anas bin Malik, dia berkata:  “Aku shalat bersama Rasulullah shollallohu ‘alaihi wa sallam, dan bersama Abu Bakar, Umar, Utsman, 
aku tidak mendengar seorangpun dari mereka membaca bismillahir rohmanir rohim”. (HR.Muslim, no: 399/50)

Di dalam lafazh yang lain: Juga pada riwayat yang lain, disebutkan:

لَا يَذْكُرُونَ بِسْمِ اللَّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيمِ فِي أَوَّلِ قِرَاءَةٍ وَلَا فِي آخِرِهَا 
Dan mereka tidak menyebut bismillahir rohmanir rohim pada awal bacaan (Al-Fatihah-red), dan tidak pula pada akhir bacaan (yaitu awal surat setelah Al-Fatihah, pen). (HR. Muslim, no: 399/52)

Juga di dalam lafazh yang lain:

عَنْ أَنَسٍ قَالَ صَلَّيْتُ خَلْفَ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَأَبِي بَكْرٍ وَعُمَرَ وَعُثْمَانَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمْ فَلَمْ أَسْمَعْ أَحَدًا مِنْهُمْ يَجْهَرُ بِبِسْمِ اللَّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيمِ
Dari Anas, dia berkata:  “Aku shalat di belakang Rasulullah shollallohu ‘alaihi wa sallam, Abu Bakar, Umar, Utsman, rodhiyallohu 'anhum, 
aku tidak mendengar seorangpun dari mereka mengeraskan bismillaahir rohmaanir rohiim. 
(HR. Nasai, no: 907; dinyatakan shohih oleh syaikh Al-Albani)

Penjelasan Al-Hafizh

Al-Hafizh Ibnu Hajar (wafat th. 852 H) berkata: 
“Perkataan ‘mereka tidak mengeraskan bismillaahir rohmaanir rohiim’, yang dimaksudkan bahwa mereka membaca  bismillaahir rohmaanir rohiim namun dengan pelan, tidak keras”. (Fathul Bari 20/277)

PERINGATAN

1- Ketika kita menyatakan bahwa dalam masalah ini pendapat imam Syafi’i salah, bukan berarti celaan kepada beliau rohimahulloh. 

Sebab beliau adalah seorang ‘alim yang dimuliakan dan diakui ilmunya. 

Dan seorang ‘alim jika berijtihad dan benar, maka akan mendapatkan dua pahala. 
Jika berijtihad dan salah, maka akan mendapatkan satu pahala, dan tidak berdosa. 

Orang yang mengetahui kesalahannya, maka tidak boleh mengikutinya, namun tetap mencintai dan menghormatinya.
Karena sesungguhnya Nabi dan sahabat lebih berhak untuk diikuti.

2- Dari sedikit penjelasan ini, kita mengetahui anggapan dan sikap berlebihan yang dilakukan oleh sebagian orang-orang awam. 

Yaitu ketika mereka bermakmum kepada imam yang tidak mengeraskan bacaan basmalah pada surat Al-Fatihah, lalu mereka berburuk sangka bahwa imam tersebut tidak membaca basmalah, berarti tidak membaca Al-Fatihah, sehingga sholatnya tidak sah. Oleh karenanya mereka mengulangi sholat tersebut. 

Jika demikian keyakinan mereka, maka bagaimanakah jika mereka bermakmum kepada Nabi shollallohu ‘alaihi wa sallam,  kholifah Abu Bakar, Umar, dan Utsman, -rodhiyalloohu 'anhum- apakah mereka juga akan mengulangi sholat mereka? 

Dan perlu diketahui bahwa para ulama telah sepakat, membaca basmalah atau tidak, sholat seseorang itu sah.

PENUTUP

Perselisihan di dalam permasalahan agama hendaklah dikembalikan kepada tuntunan Nabi, karena beliau adalah uswah hasanah. 

Perselisihan tentang bacaan basmalah ini tidak boleh dibesar-besarkan kemudian menjadi sebab kebencian, permushan, dan perpecahan umat. 

Dan jika disuatu tempat membaca basmalah dengan sir menimbulkan kegaduhan, maka dibolehkan untuk membacanya dengan jahr.

Alangkah bagusnya perkataan syaikhul Islam Ibnu Taimiyah (wafat th. 728 H) dalam masalah ini. Beliau berkata: 

وَمَعَ هَذَا فَالصَّوَابُ أَنَّ مَا لَا يُجْهَرُ بِهِ قَدْ يُشْرَع الْجَهْرُ بِهِ لِمَصْلَحَةِ رَاجِحَةٍ 
فَيَشْرَعُ لِلْإِمَامِ أَحْيَانًا لِمِثْلِ تَعْلِيمِ الْمَأْمُومِينَ 
وَيَسُوغُ لِلْمُصَلِّينَ أَنْ يَجْهَرُوا بِالْكَلِمَاتِ الْيَسِيرَةِ أَحْيَانًا 
وَيَسُوغُ أَيْضًا أَنْ يَتْرُكَ الْإِنْسَانُ الْأَفْضَلَ لِتَأْلِيفِ الْقُلُوبِ وَاجْتِمَاعِ الْكَلِمَةِ خَوْفًا مِنْ التَّنْفِيرِ عَمَّا يَصْلُحُ
“Bersamaan dengan ini, maka yang benar bahwa (bacaan) yang tidak dikeraskan, terkadang disyari’atkan dikeraskan karena mash-lahat yang lebih kuat. 
Maka terkadang disyari’atkan bagi imam (mengeraskannya-red), misalnya untuk mengajari makmum. 
Dan orang-orang yang sholat boleh terkadang mengeraskan sedikit kalimat. 
Dan seseorang juga boleh meninggalkan sesuatu yang lebih utama untuk merekatkan hati-hati (manusia) dan menyatukan kalimat, karena khawatir menjauhkan (manusia) dari hal yang baik”. (Majmu’ Fatawa 22/436) 

Inilah sedikit penjelasan tentang masalah ini, semoga kita dapat mengambil manfaatnya. Wallahu a’lam.

Semoga Alloh selalu memudahkan kita untuk melaksanakan ketaatan dan menjauhi kemaksiatan. 

Dan selalu membimbing kita di atas jalan kebenaran menuju ridho dan sorga-Nya yang penuh kebaikan.

Ditulis oleh Muslim Atsari,  Sragen, Ahad, 
25-Jumadil akhir-1442 H / 07-Februari-2021 H

Dibaca ulang dan diedit di Sragen, Ahad, 
09-Syawal-1444 H / 30-April-2023 H

Tidak ada komentar: