MENGHAFAL MEMBUAT ORANG BODOH, BENARKAH ?


Ada sebuah TS, yang mengutip perkataan Tan Malaka, entahlah dalam buku yang mana. Yang bunyinya, 

"Bahwa kebiasaan menghafal itu tidak menambah kecerdasan, malah menjadikan saya bodoh, mekanis, seperti mesin."

Sebelum membahas tentang menghafal, saya perkenalkan dulu siapa Tan Malaka, yang sebagian bukunya dulu pernah saya baca. 

Tan Malaka adalah Pahlawan Nasional Indonesia sekaligus ketua Partai Komunis Indonesia tahun 1921. Beliau lahir 2 Jun 1896 di Nagari Pandan Gadang, Suliki, Sumatera Barat, dan meninggal pada 19 Februari 1949 di Kediri, Jawa Timur. Silahkan lebih lengkapnya buka link dibawah ini atau silakan tanya mbah google. (ttps://ms.m.wikipedia.org/wiki/Tan_Malaka). 

Di bawah ini saya akan kutip beberapa perkataan salaf tentang menghafal.

Di dalam pembelajaran metode para salaf, MENGHAFAL adalah salah satu poin penting, namun bukan merupakan tahapan awal pembelajaran.

Tahapan pertama dalam belajar adalah mendengar, kemudian memahami, baru berikutnya menghafal, lantas beramal dan menyebarkannya.

Berkata Abdullah bin al-Mubarak (118-181H) rahimahullah :

أَوَّلُ الْعِلْمِ النِّيَةُ ثُمَّ الإِسْتِمَاعُ ثُمَّ الْفَهْمُ ثُمَّ الْحِفْظُ ثُمَّ الْعَمَلُ ثُمَّ النَّشْرُ
Permulaan ilmu adalah motivasi (niat), kemudian mendengarkan, kemudian memahami, kemudian menghafalkan, kemudian mengamalkan, kemudian menyebarkan. (Jami’ Bayanil ‘Ilmi wa Fadhlihi, II/82, no. 552).

Berkata Sufyan bin ‘Uyainah (102-198H) rahimahullah :

أَوَّلُ الْعِلْمِ الإِسْتِمَاعُ ثُمَّ الْفَهْمُ ثُمَّ الْحِفْظُ ثُمَّ الْعَمَلُ ثُمَّ النَّشْرُ
Permulaan ilmu adalah mendengarkan, kemudian memahami, kemudian menghafalkan, kemudian mengamalkan, kemudian menyebarkan.” (Jami’ Bayanil ‘Ilmi wa Fadhlihi, II/85, no. 555).

Dan berkata Sufyan ats-Tsauriy (96-161H) rahimahullah :

كَانَ يُقَالُ أَوَّلُ الْعِلْمِ الصُّمْتُ وَالثَّانِي اْلاِسْتِمَاعُ لَهُ وَحِفْظُهُ وَالثَّالِثُ الْعَمَلُ بِهِ وَالرَّابِعُ نَشْرُهُ وَتَعْلِيْمُهُ
Ada dikatakan, “Permulaan ilmu adalah diam, kedua adalah mendengarkan dan menghafalkannya, ketiga adalah mengamalkannya, keempat adalah menyebarkan dan mengajarkannya.” (Sufyan ats-Tsauriy). (Hilyatul Auliya’, VI/362).

Berkata Al-Fudahil bin ‘Iyadh (W187H) rahimahullah :

أَوَّلُ الْعِلْمِ الإِنْصَاتُ ثُمَّ الإِسْتِمَاعُ ثُمَّ الْحِفْظُ ثُمَّ الْعَمَلُ ثُمَّ النَّشْرُ
Ilmu itu dimulai dari memperhatikan dengan teliti, kemudian mendengarkan, kemudian menghafalkan, kemudian mengamalkan, kemudian menyebarkan. (Jami’ Bayanil ‘Ilmi wa Fadhlihi, II/86, no. 556).

Ada seorang salaf, seorang ahli nahwu, dia hanya diam dan mendengar pelajaran selama setahun, tahun kedua baru membaca, tahun ketiga menganalisis dan seterusnya.

Berkata al-Khalil bin Ahmad al-Farahidi (100-173H) rahimahullah :

حِيْنَ أَرَدْتُ النَّحْوَ أَتَيْتُ الْحَلْقَةَ فَجَلَسْتُ سَنَةً لاَ أَتَكَلَّمُ إِنَّمَا أَسْمَعُ فَلَمَّا كَانَ فِي السَّنَةِ الثَّانِيَةِ نَظَرْتُ فَلَمَّا كَانَ فِي السَّنَةِ الثَّالِثَةِ تَدَبَّرْتُ لَمَّا كَانَ فِي السَّنَةِ الرَّابِعَةِ سَأَلْتُ وَتَكَلَّمْتُ
Pada saat saya bermaksud mempelajari Nahwu, saya mendatangi halaqah lalu duduk tidak berbicara selama setahun. Saya hanya mendengarkan. Pada tahun kedua, saya mulai membaca. Pada tahun ketiga, saya mulai menganalisis. Pada tahun keempat, saya mulai bertanya dan berbicara.
(Al-Faqih wal Mutafaqqih, I/456, no. 853).

Dari perkataan para salaf diatas, menghafal merupakan bagian terpenting. Namun tidak berhenti sampai disitu saja, tetapi mesti mengamalkan dan menyebarkan (mendakwahkan) ilmunya.

Tidak ada komentar: