3 Sudut Pandang Masyarakat terhadap karya sastra Buya Hamka


Pandangan masyarakat terhadap karyasastra Buya Hamka

Buya Hamka dikenal sebagai sastrawan, sejawaran, negarawan dan sebagai seorang ulama.

Buya Hamka memiliki 116 karya tulis, karya terbesar beliau adalah Tafsir Al Azhar yang berisi lebih dari 8000 halaman dan sebagiannya ditulis saat beliau dalam penjara.

Selain karya ilmiah Buya Hamka juga memiliki karyasastra berupa novel fiksi. Karya sastra Buya Hamka yang terkenal adalah:

1. Tenggelamnya kapal Van Der Wick
2. Di bawah Lindungan Ka'bah
Dan beberapa judul lainnya.

Pandangan masyarakat tentang Buya Hamka dalam karyasastra beliau ada tiga:

1. Orang awam
Mereka memuji keindahan bahasa Buya Hamka, terutama dua karya di atas.

2. Sebagian ustad atau ahli agama
Mereka Mmnganggap Buya Hamka tidak layak menulis roman percintaan.

3. Peminat sastra dan kritikus buku
Mereka melihat pesan besar dalam dua karya di atas.

Mari kita lihat ketiga pandangan di atas:

Pandangan pertama
Masyarakat awam adalah konsumen yang menikmati karya para penulis dan tentunya mereka adalah sasaran pembaca utama, mereka sering tidak menyadari pesan yang terdapat dalam sebuah karya, sehingga tanpa sadar ia akan mengikuti pesan itu.
 
Bagi mereka sebuah karya dinilai dari keindahan karya tersebut, kadang mereka tidak mempertimbangkan agama dan hukum lain dalam menilai, asalkan terasa bagus, maka buku itu dinilai bagus.

Pandangan kedua
Sebagian ahli agama menilai itu tidak layak dilakukan oleh Buya Hamka karena status beliau sebagai seorang ulama. Bahkan sebagian mereka menjuluki Buya Hamka "Ulama Roman"
Jawaban atas hal itu:

1. Buya Hamka menjawab tudingan di atas dengan mengatakan bahwa banyak karyasastra yang mempengaruhi kehidupan masyarakat, artinya Buya Hamka ingin memanfaatkan keahlian beliau dalam sastra untuk merubah cara pandang masyarakat kepada yang lebih baik.

2. Buya Hamka memahami bahwa para muballigh memiliki ranah dakwah yang terbatas, kebanyakan mereka berdakwah di masjid atau di atas mimbar, sedangkan rakyat Indonesia lebih banyak di luar masjid daripada di masjid.
 
3. Kedua buku itu ditulis Buya Hamka pada tahun 1938, di usia beliau masih 30 an, dibandingkan dengan Tafsir Al Azhar pada 1958. Artinya penulisan novel-novel beliau masih di masa muda dan keulamaan beliau saat itu belum begitu besar. Dan ini beliau sampaikan pada otobiografi beliau "Kenang-kenangan hidup", "saya lebih suka dikenal sebagai penulis, namun ketika umur bertambah saya merasa lebih kuat menjadi seorang ulama" kira-kira demikian penyampaian beliau.

Pandangan ketiga
Pemimat sastra dan kritikus buku menilai karya Buya Hamka memiliki nilai dan pesan yang besar.
Kita coba sebut beberapa buku:

1. Tenggelamnya kapal Van Der Wick
Buku ini berisi kritik sosial tentang adat Minangkabau yang membedakan tingkat masyarakat dengan adat, pada buku ini Zainuddin sebagai tokoh utama menjadi tersiksa atas kegagalannya meminang Hayati, sebabnya karena adat. Bukan hanya kasus Zainuddin saja, masih banyak kasus lain yang membuat manusia menderita disebabkan hukum adat.

Tentu kritik ini tidak bisa dilakukan oleh para muballig di atas mimbar, Buya Hamka mencoba membawa masyarakat Minang khususnya dan suku lain di Indonesia yang membaca karya beliau secara tidak sadar merasakan akibat buruk dari ikatan adat yang merugikan sehingga bila terjadi kasus serupa mereka akan berfikir ulang dalam untuk memilih sikap yang tepat.

2. Di bawah Lindungan Ka'bah
Buku ini juga berisi kritik sosial dalam masyarakat yang membedakan antara si kaya dan si miskin, dalam kisah ini juga membawakan kisah bergenre romance, Hamid sebagai si miskin dan Zainab sebagai anak orang kaya. Buya Hamka mengajak masyarakat agar memandang manusia itu sama kedudukannya, untuk menikahkan anak wanita dengan laki-laki itu yang dilihat adalah agama dan akhlaknya, bukan harta dan kedudukannnya.

Kedua buku ini mengkritik sistem sosial di Minangkabau, Buya Hamka bukan hanya sampai di sana, beliau juga menulis karya ilmiah tentang adat Minang berjudul "Islam dan adat Minangkabau" dan "Adat Minangkabau menghadapi revolusi"

3. Tuan Direktur
Di buku ini Buya Hamka mengajak pembaca agar menyadari bahwa tamak terhadap harta bukan sumber kebahagiaan, percaya kepada khurafat menyebabkan kesengsaraan dan kebahagiaan itu ada jika seorang hamba dekat dengan Allah.

3. Dari lembah kehidupan
Ini adalah kumpulan cerpen Buya Hamka tentang warna-warna kehidupan manusia.

Kita ambil dua judul:

- Encik Utih
Mengisahkan seorang janda tua yang sangat berharap dapat merasakan pernikahan, ia merasakan kesedihan mendalam dari ejekan-ejakan orang-orang kepadanya.
 
Pesan dari kisah ini hendaklah kita berusaha agar setiap anak muda yang dianggap terlambat dalam menikah untuk mencarikan jodoh mereka, beri motivasi dan jangan direndahkan.

- Pasar malam
Mengisahkan seorang ayah dalam keadaan kritis berusaha meminjam uang untuk membeli obat, uang itu malah dibelikan ke beras karena ia begitu miskin dan anak-anaknya butuh makan, akhirany ia meninggal tanpa perawatan, sedangkan orang-orang di sekitar rumahnya sibuk hilir-mudik ke pasar malam.

Kisah ini memberi pesan hendaknya kiat peduli kepada orang sekitar kita, terutama mereka yang berkekurangan.

Jika dilihat dari segi pesan dari karya Buya Hamka beliau banyak mengajak pembaca kepada kesadaran dan perubahan dari pola fikir yang salah dan mengajak peduli kepada sesama.

Penutup
Menulis fiksi secara hukum agama tidak terlarang berdasarkan fatwa sebagian ulama, namun harus dipertimbangkan isi dari kisah tersebut serta tujuan yang jelas di dalamnya.

Abu Ady dulu sangat ingin menulis fiksi, namun sadar ia tidak memberi manfaat kemudian berubah mengecam habis buku-buku fiksi, sekarang setelah dilihat dan dikaji kembali sepertinya ada hal yang dapat dijangkau oleh buku fiksi yang tidak didapatkan pada karya tulis ilmiah. Khususnya orang awam dan masyarakat awam jauh lebih banyak dari pada akademisi.

Tulisan Ustadz Abu Ady mahasiswa S2 di riyadh arab saudi, asli berdarah minang di payakumbuh

Tidak ada komentar: