ustadz muda lajang hendaklah menghindari curhat akhwat dan wanita bersuami

pembahasan ini diambil dari judul asli "Ustadz Muda Dilarang Menerima Curhat Akhwat atau Ummahat (Wanita Bersuami)"

simak kisah berikut ini,Kisah nyata di wilayah saya, hiduplah seorang ikhwan yang tumbuh di lingkungan pondok pesantren. Sehari-harinya ia sibuk mengaji. Bahkan saat ustadz senior berhalangan mengajar, ia diberikan amanah untuk menggantikan ustadz mengisi kajian. Bisa dikatakan, ia adalah ustadz muda yang berbakat.


Musibah itu bermula saat ada seorang ummahat (wanita bersuami) yang ingin berkonsultasi tentang masalah rumah tangganya, saya tidak tahu persis masalahnya, mungkin berkaitan dengan kekurangan yang ada pada suaminya. Hari demi hari berlalu, minggu demi minggu mereka lewati, namun cerita curhat sang ummahat belum juga selesai. Tumbuhlah benih-benih cinta diantara mereka berdua, padahal si ummahat adalah wanita bersuami beranak tiga atau empat, saya agak lupa.

Menurut kesaksian teman-teman akhwat dari ummahat tersebut, ia bahkan biasa melakukan kontak melalui telpon seluler dengannya. Terdengar suara sang ummahat yang lembut dan mendayu saat menelepon sang ikhwan, hingga membuat teman-teman sebayanya terheran-heran.


Akhirnya, sang ummahat meminta cerai pada suaminya. Cerita cinta diantara mereka berdua sudah tersebar di mana-mana. Hingga suami dari ummahat itu terpaksa harus rela melepaskan istrinya karena tidak kuasa menanggung sakit hati dan malu. Apa yang bisa ia perbuat jika dirinya tidak lagi memiliki tempat di hati istrinya. Bahkan cinta seorang istri yang seharusnya ia dapatkan, telah diberikannya kepada laki-laki lain. Tidak ada pilihan lain selain menerima gugatan cerainya. 

Sungguh malang nasib sang suami, dengan kondisi ekonomi yang pas-pasan, seluruh anaknya justru ikut ayahnya. Sang istri meninggalkannya membawa tangan hampa demi menikahi laki-laki pujaannya. 

Allahulmusta’anPenderitaannya sang suami semakin bertambah ketika keinginan sang istri benar-benar diwujudkan. Sekarang ia telah resmi menikah dengan sang ikhwan, seorang ustadz muda yang belum berpengalaman dalam hal dakwah. Seluruh ikhwan dan akhwat di lingkungan itu, bahkan ustadz senior yang merupakan guru ngajinya hanya bisa mengelus dada mendengar kabar menyayat hati tersebut. 

Kita tidak bisa berbuat apa-apa. Nasehat demi nasehat sudah banyak disampaikan, namun cinta terlarang membutakan mereka berdua.

Problem dakwah semacam ini bukanlah masalah yang sepele, masalahnya sungguh rumit. Apa yang harus kita lakukan, apakah memisahkan antara dua mempelai pengantin baru, kemudian memaksanya kembali pada suami pertama? Ini mustahil. Sehingga ustadz senior menitipkan pertanyaan kepada salah seorang teman di Madinah untuk disampaikan kepada para ulama di Madinah, demi mencari solusi yang tepat.

Kedua ulama rabbani, sang ayah dan sang anak benar-benar membuatku takjub, subhanallah. Padahal sekiranya pertanyaan itu disodorkan kepada ustadz, tentu mudah bagi seorang ustadz menjawabnya. Sifat tawadhu’ dan rasa takut para ulama kepada Allah menghalangi mereka untuk menjawab pertanyaan tanpa ilmu, bahkan meskipun mereka berhak berijtihad dalam menjawab. Jika ijtihadnya benar memperoleh dua pahala, jika keliru tetap memperoleh satu pahala tanpa harus menanggung dosa. Namun demikianlah hikmah yang dimiliki oleh para ulama kita.

Kembali ke alur kisah, akhirnya temen saya itu berhasil menemui kedua ulama tersebut, kemudian ia menyampaikan titipan pertanyaan berkaitan dengan permasalahan. Ia telah bertanya kepada Asy-Syaikh Abdurrazaq hafizhahullah, dan jawaban syaikh hanya ucapan a’udzubillah (aku berlindung kepada Allah).


Ia juga bertanya kepada Asy-Syaikh Abdul Muhsin Al-Abbad, fatwa yang ia dapatkan juga ucapan a’udzubillah(aku berlindung kepada Allah), sepulang haji ia kembali ke Madinah.

Saya hanya bisa menunggu di Madinah, menanti kepulangan teman saya itu. Jujur, saya pribadi sangat menanti fatwa dari para ulama terkait masalah ini, demi mendulang faidah yang berharga dari warisan para nabi. Setelah kami bertemu, saya meminta fatwa dan meminta penjelasannya, kemudian ia menyampaikan fatwa itu kepadaku. Meskipun jawaban fatwa begitu singkat, namun di dalamnya terkandung pelajaran berharga yang tidak mungkin saya dapatkan di saat saya hanya duduk membaca tumpukan kitab-kitab fatwa dan adab.

Dari kisah di atas, kita dapat mengambil beberapa pelajaran:
[1] Seorang ustadz muda tidak semestinya menerima curhat akhwat atau wanita bersuami, apalagi kalo ia sendiri belum menikah. Bagaimana ia akan memberikan solusi? Kata pepatah, seorang yang tidak memiliki, mana mungkin ia akan memberi.

[2] Problem rumah tangga hendaklah diserahkan kepada ustadz-ustadz senior yang usia mereka telah matang, ilmu dan pengalaman dakwah mereka telah diketahui

[3] Jika engkau dihadapkan kepada pertanyaan yang berat, jangan segan untuk melemparkannya kepada orang yang lebih berilmu darimu.

[4] Mengenal bagaimana sifat tawadhu’ para ulama kita dan kehati-hatian mereka dalam berfatwa. Jika para ulama kita telah mengeluarkan fatwa, yakinlah bahwa fatwa itu telah dibangun di atas ilmu. Jangan sekali-kali dirimu meremehkan fatwa ulama.


ustadz muda lajang hendaklah menghindari curhat akwat dan wanita bersuami
image ilustration from http://alhikmah.co/
[5] Pentingnya seorang da’i dan ustadz memahami fiqh dakwah, ia harus tau sampai dimana kadar keilmuannya. Ia harus tahu pertanyaan mana yang mampu ia jawab, dan pertanyaan mana yang tidak perlu ia jawab.

baca juga: hukum nikah mutah

[6] Saat seorang da’i atau ustadz salah melangkah dalam menyelesaikan suatu problem permasalahan, musibah dan mala petaka harus siap ditanggungnya. Bisa jadi ada anak-anak yang akan kehilangan ibunya, ada suami yang akan kehilangan istri yang sangat dicintai, ada hati-hati yang dilanda pilu dan terluka dalam waktu yang panjang, bahkan ia sendiri bisa terjun ke dalam jurang kebinasaan tanpa disadari

[7] Dalam kisah di atas juga terdapat peringatan bagi para ikhwan, akhwat dan ummahat (wanita bersuami) agar menjauhi segala sesuatu yang menyebabkan fitnah, baik melalui kontak telpon dan sms dengan laki-laki yang bukan mahram, maupun melalui sarana jejaring sosial dewasa ini. Seorang yang beruntung adalah seorang yang dijauhkan dari fitnah-fitnah.

Allahua’lam, semoga dapat diambil hikmahnya…

Ditulis oleh Abul-Harits di Madinah, 29 Muharram 1437

Beberapa waktu yang lalu, kebetulan teman saya itu diberikan kesempatan bisa berhaji bersama Asy-Syaikh Abdul Muhsin Al-Abbad hafizhahullah, ia juga sempat bertemu dengan Asy-Syaikh Abdurrazaq Al-Badr hafizhahullah. Sedikit selingan, saya akan menceritakan sedikit tentang sifat tawadhu’ Asy-Syaikh Abdurrazaq hafizhahullah. Seringkali saat Asy-Syaikh Abdurrazaq dihadapkan pada pertanyaan yang berat, beliau tidak segan untuk berkata:

هذا السؤال يسأل إلى الوالد
"Pertanyaan ini semestinya ditanyakan kepada ayahanda”. Maksunya, beliau tidak berkenan menjawab, dan melemparkannya kepada sang ayah yaitu Asy-Syaikh Abdul Muhsin Al-Abbad.

Demikian pula sang ayah, saat sesi tanya jawab dars ba’da maghrib di Masjid Nabawi, berulang kali saya mendengar fatwa Asy-Syaikh Abdul Muhsin Al-Abbad hafizhahullah saat menjawab pertanyaan:

هذا السؤال يسأل إلى اللجنة
"Pertanyaan ini perlu ditanyakan kepada (lembaga fatwa) Al-Lajnah Ad-Da’imah”, atau dengan redaksi yang semakna.

Tidak ada komentar: