Tradisi Menghafal Ilmu adalah ciri khas umat islam, yuk menghafal

kumpulankonsultasi- Segala puji bagi Allah yang menjadikan kita umat penghafal. Tradisi menghafal adalah bagian dari sejarah keilmuan kita, kaum muslimin yang hebat ini. Di dalam muqaddimah kitab al-Hats ‘ala hifzi al-‘ilm, Ibnul Jauzi menceritakan kepada kita betapa dahulu sebelum Islam ini datang, aktifitas menghafal adalah barang yang sangat langka. Umat terdahulu membaca ajaran mereka dari lembaran-lembaran atau yang disebut dengan shuhuf.


Di dalam al-Qur’an, Allah menceritakan dua sosok yang diklaim sebagai anak Allah oleh segolongan manusia, yaitu Isa dan Uzair. Isa dikatakan putra Allah oleh orang-orang Nasrani karena ia lahir tanpa ayah. Sementara tahukah anda mengapa orang-orang Yahudi dahulu menggelari Uzair sebagai putra Allah? Jawabnya, karena Uzair datang kepada mereka membacakan Taurat dengan hafalan yang melekat di benaknya.

Menghafal bagi mereka adalah sesuatu yang sangat luar biasa, sebab menghafal tidak biasa dilakukan. Maka orang yang mampu memperlihatkan hafalannya saat itu dinisbatkan kepada Tuhan.

Menghafal ilmu itu adalah punya kita, sebab al-Qur’an yang ada di hadapan kita dipelihara oleh Allah dengan hafalan para pemangkunya, sejak Jibril membacakannya kepada Nabi saw, lalu Nabi membacakannya kepada sahabat, begitu seterusnya, sumber ilmu yang paling utama dipindahkan oleh generasi ke generasi melalui hafalan.

Berasas pada hafalan terhadap kalamullah, para Ulama kemudian secara turun temurun mentradisikan menghafal hadits, meriwayatkan fiqih, dan menceritakan sejarah. Dari hafalan mereka.

Sebutlah Imam Nawawi, Ulama besar Mazhab Syafi’i ini menuliskan syarah Shahih Muslim yang dicetak menjadi sembilan jilid buku, hanya dengan hafalan beliau. Imam Ahmad menghafal tidak kurang dari satu juta hadits. Lain lagi Abu Zur’ah ar-Razi, beliau mengaku, “Aku menghafal dua ratus ribu hadits seperti seseorang menghafal قل هو الله أحد .”

Sebagian besar dari para ulama yang tumbuh dengan hafalan yang cemerlang itu memulainya dari usia dini. Menghafal di usia dini adalah bagian dari khazanah kekokohan pondasi keilmuan di dalam Islam.
Mereka yang di sebut sebagai shighar ash-shahabah (sahabat kecil) yang bertemu dengan Nabi di waktu kanak-kanak adalah potret kesungguhan dalam menghafal.

Abdullah Ibnu Abbas, usia beliau sepuluh tahun ketika Nabi wafat, namun sejarah mencatat beliau sebagai habru hadzihil ummah (ulamanya umat ini), demikian juga Anas bin Malik, Zaid bin Tsabit dan sederet anak-anak yang bergembira ria dengan lantunan hafalan mereka dahulu, di masa Nabi.
Sejarah juga bercerita, bahwa Imam Syafi’i menyelesaikan hafalan al-Qur’annya saat usia tujuh tahun. Artinya, setidaknya sebelum usia lima tahun beliau sudah memulai tradisi menghafal itu. 

Demikian juga al-Hafizh al-Ashfahani menyelesaikan hafalannya di usia lima tahun, berikutnya Ibnu Jarir ath-Thabari, Sahl at-Tastiri dan lainnya. Mereka adalah anak-anak ajaib yang disiapkan oleh Allah guna memelihara kitabNya dengan hafalan hambaNya.
Tradisi Menghafal Ilmu adalah ciri khas umat islam, yuk menghafal
image ilustration from www.gdssa.gov.sa
baca juga: 8 kelelahan disukai allah dan rasulnya

Tradisi menghafal ilmu ini juga kita jumpai di berbagai belahan dunia Islam hari ini. Cobalah baca khazanah keilmuan yang terbangun di tengah masyarakat Syinqith, sebuah distrik di wilayah Mauritania, Afrika bagian barat. Daerah yang masih jauh terbelakang menurut ukuran HDI (Human Developement Index), namun mampu melahirkan ulama-ulama besar yang tersohor dengan keajaiban hafalan mereka.

Seorang tetangga saya pernah bercerita, untuk membuktikan tradisi menghafal ini, ia datang langsung ke Syinqith. Di sana anak usia sepuluh tahun sudah lazim khatam hafalan al-Qur’annya, jika tidak maka menjadi aib bagi keluarga besarnya. Lebih menakjubkan lagi, kata sahabat saya ini bercerita, “Ra’aitu majnuunan fi syawari’i Syinqith hafizhan lil Qur’an” (aku menemukan orang gila di jejalanan Syinqith, ternyata hafal al-Qur’an).

Subhanallah..
Biasanya setelah mereka selesai mengkhatamkan al-Qur’an mereka beranjak menghafalkan kitab-kitab mazhab yang dijadikan rujukan di wilayah setempat. Pemandangan ini juga yang akrab saya temukan di Masjidil Haram, anak-anak kecil mengenakan jubah dan surban merah di kepala, memejamkan mata menghafal al-Qur’an, hadits dan bait-bait ilmu yang diracik dengan gaya satra. Sekali lagi ini adalah tradisi kita dari dulu samai sekarang.

Di negeri kita pun demikian, tradisi menghafal ilmu di pesantren sudah sejak lama dikenalkan oleh ulama-ulama Nusantara. Anak-anak kecil usia ibtida’i dahulu di kampung-kampung menghafal matan taqrib, kitab dasar fiqih Syafi’i.

Di pesantren-pesantren tradisional, kita jumpai para santri menghafal alfiyah Ibnu malik atau al-Jurumiyah serta matan-matan lainnya. Namun hari berganti hari, menteri berganti menteri tradisi ini semakin tidak dinikmati.

Sementara itu, orang-orang yang tidak ridha dengan kebangkitan umat yang besar ini berusaha menghancurkan pondasi keilmuan yang sudah sejak lama menjadi tradisi kita.

Otak generasi ini dicuci sedemikian rupa, sehingga menganggap tradisi baik ini sebagai warisan yang sudah usang.

baca juga: mau sukses baca ini

Sebagai contoh, sudah maklum adanya, jika di dalam kajian-kajian pendidikan anak kita lebih sering mendapatkan doktrin ‘bermain sambil belajar’ atau doktrin lain ‘menghafal di usia dini tidak ramah otak’ atau ‘menghafal akan membebani anak’ dan semisalnya.

Lain lagi di dunia perguruan tinggi. Sebagian merasa bahwa menghafal dan menerima langsung matan ilmu dari guru, dosen dan lainnya bukan sesuatu yang menarik. Bagi mereka dunia kampus adalah ranah analisa, diskusi, retorika dan lain sebagainya.

Mantra-mantra semacam ini, yakinlah adalah makar yang dihembuskan oleh musuh Islam, di mana pada akhirnya kita dapati anak-anak kita tidak memiliki bekal ilmu untuk menghadapi setiap fase perkembangannya.

Kita juga dapati orang-orang yang diberi gelar 'cendikiawan' terkadang tidak memiliki bangunan keilmuan yang jelas, yang akan dikembangkan dan dijadikan satu acuan dalam berargumentasi.
Akhirnya, mari pelihara budaya menghafal, sampai kapanpun batas usia kita. Karena hal itu akan menjadi manifestasi rasa syukur kita atas karunia memori dari Allah SWT.

Selamat menghafal. Sahabat Anda Ahmad Musyaddad

Tidak ada komentar: