MEMBONGKAR KEJAHATAN MEDIA MASSA DIBALIK ISU TERORISME

MEMBONGKAR KEJAHATAN MEDIA MASSA DIBALIK ISU TERORISME
Kehadiran kelompok ISIS (Islamic State of Irak and Syria) atau dikenal barat dengan ISIL belakangan ini, dimunculkan sebagi isu gerakan radikal dan terorisme yang terus digoreng oleh media-media, baik media global maupun media lokal. Tak jarang pemberitaan yang massif tentang gerakan radikal menjadikan islam phobia merebak, bahkan semakin meningkat ketakutan masyarakat akan gerakan islam. Sehingga deradikalisasi sesungguhnya sama dengan deislamisasi.

Drama war on Terorism dan semua derivate strateginya di Indonesia tidak terjadi secara massif kecuali pasca peristiwa WTC (Word Trade Center) 9/11/2001. Kemudian Amerika membuat tatanan bipolar (bersama Amerika atau bersam teroris). Dari beberapa dokumen,terungkap dukungan dana mengucur deras ratusan juta dolar dan lebih dari 500 juta Euro untuk proyek jangka panjang dari negara Eropa (Australia, Denmark, Belanda, dll) untuk kepolisian RI (Densus 88).

Langkah peningkatan capacity bulding terhadap aparat kepolisian dan intelijen Indonesia juga berjalan simultan. AS sendiri melalui Obama menyiapkan lebih dari 5 Miliar dolar untuk membuat program kerja sama keamanan bersama. Tujuanya adalah untuk menempa badan intelijen internasional dan infrastruktur penyelenggaraan hukum demi melumpuhkan jaringan teroris di pulau-pulau terpencil di Indonesia, hingga sampai ke kota-kota yang membujur di Afrika. Bocoran wikileaks (yang dimuat di harian Australia The Age,17/12/2010) mengkonfirmasi bagaimana hubungan AS dan sekutunya dengan pemerintah Indonesia dalam isu terorisme. Jadi jelaslah untuk kepentingan siapa, semua isu radikalisme dan terorisme ini dimainkan.

Sebagai corong propaganda, media massa kerap menampilkan isu yang “bisa” dan kemudian memolesnya menjadi isu yang “tak biasa”. Kaidah bad news is the good news benar-benar telah mendarah daging pada sebagaian jurnalis. Bahkan mereka-mereka adalah sebagian yang mengatakan dirinya sebagai jurnalis independen yang berorientasi pada pemberitaan masalah secara objektif. Sensitivitas para jurnalis ini akan keobjektifan berita serentak mati total ketika berhubungan dengan beberapa sisi islam yang fundamental.

Ketika membicarakan islam, rasanya sensitivitas semu itu berubah menjadi rasa sensitive yang dimuati agitasi dan kebencian tingkat tinggi. Jika islam sebagai objek masalah, berkali-kali berita yang muncul adalah berita yang jauh dari fakta, dikemas secara berlebihan,tendesitas tingkat tinggi dan bermacam prasangka argumentative yang dikumpulkan sedemikian rupa sebelum akhirnya dimutahkan dalam bentuk aktual berita sampah. Berita yang kemudian ditelan mentah-mentah oleh lebih dari 200 juta penduduk Indonesia.

Rekayasa dan manipulasi media dalam memojokan islam merupakan bagaian dari rancangan war on Terorism, yang sejatinya adalah perang terhadap islam. Dalam pertarungan ideologi beser dunia: Kapitalisme, Sosialisme dan Islam. Oleh karena itu pasca runtuhnya Uni soviet dekade tahun 1990 silam maka musuh bagai Amerika selaku pengemban ideologi Kapitalisme tak lain adalah Islam. Maka tak heran media-media yang berkuasa yang dimiliki kaum kapitalis secara berjejaring dengan kekuasaan modal dan medianya merumuskan percakapan ratusan juta warga Indonesia. Mengatur apa yang seharusnya dibicarakan dan apa yang dihindari untuk dibicarakan.

Agenda publik menjadi pengejawantahan agenda pemilik modal. Publik pun menjadi abai disertai sikap apatisme dan lupa bahwa negeri Indonesia ini sedang dalam cengkraman penjajahan negara-negara imperalis melalui sekema neoliberalisme dan perdagangan bebas yang sangat menguntungkan, baik barat (Amerika Serikat cs) dan negara imperalis timur (China). Yang akan berdampak menyebabkan frustasi sosial, Kemiskinan, ketidakadilan, ketidakpastian masa depan, dan tekanan hidup yang berat. Serta terus terkuras habis Sumber Daya Alam Indonesia.

Ruang publik disesaki oleh kepentingan para elit yang menjadi antek negara imperalis untuk melayani nafsu ekonomi- politiknya. Keja media dioprasikan dengan bersandar semata-mata pada pasar. Akhirnya, media hanya memproduksi informasi berdasarkan apa yang diinginkan pasar, bukan apa yang dibutuhkan publik.

Sejauh ini pemerintah Indonesia dengan kacamata kudanya (subyektif) memandang radikalisme secara dominan sebagai gejala yang lahir dari tafsiran teologi yang menyimpang sehingga menjadikan ketidakadialan terhadap umat islam dan menimbulkan deislamisasi. Apalagi dalam menyikapinya begitu berlebihan, karena itu, berapapun anak-anak negeri ini yang ditembak mati karena alasan terorisme sesungguhnya tidak akan bisa memadamkan potensi lahirnya “teroris-teroris” baru jika faktor kompleks termasuk di dalamnya kedzaliman global oleh dunia barat terhadap dunia islam yang menjadi akar masalahnya diabaikan.

Pemerintah malah membuat langkah deradikalisasi, yang sebenarnya adalah deislamisasi secara massif di implementasikan dengan kosentrasi pada perubahan orientasi dan tafsiran dalam keberagaman seseorang agar lebih moderat (wasatiyyah), toleran dan liberal. Ini sesungguhnya bukan solusi karena akan menciptakan polarisasi dalam kehidupan masyarakat, khususnya umat islam. Praktik devide et impera (strategi belah bambu) akan menjadi pemicu permanen lahirnya sikap radikal.


Deislamisasi cukup berbahaya untuk umat islam karena berpotensi menyimpang, melahirkan tafsiran-tafsiran yang menyesatkan terhadap nash-nash syariah, membangun pemahaman yang konstruksi dalil dan argumentasi (hujah)-nya lemah, menyelaraskan nash-nash syariah terhadap realitas sekuler dan memaksakan dalil mengikuti konteks aktualnya. Contohnya adalah upaya tahrif (penyimpangan) pada makna Jihad, tasamuh (toleransi), syura dan demokrasi, hijrah, thagut, muslim, dan kafir, ummat[an] washat, klaim kebenaran, doktrin konspirasi (QS al-Baqarah [2]: 217) serta upaya mengkriminalisasi dan monsterisasi terminology daulah Islam dan Khilafah.

Selain itu umat akan terpecah – belah dengan kategorisasi radikal-moderat, fundamental- liberalis, islam ekstream- islam garis keras- islam toleran, islam nusantara dan istilah lainya yang tidak ada pijakanya dalam Islam. Hal ini mirip seperti langkah Orientalis memecah-belah umat islam dengan memunculkan istilah “Islam Putihan”(berasal dari bahasa arab: muthi’an/taat) dan “Islam Abangan” (aba’an/pengikut/awam). Umat islam yang taat ditempatkan sebagai musuh karena penjajahan.

Bahaya deislamisasi berikutnya adalah: menyumbat langkah kebangkitan Umat islam serta menjadikan umat jauh dari pemahaman dan sikap berislam yang kaffah dalam seluruh aspek kehidupan mereka. Pada akhirnya umat tidak mampu menjadikan islam sebagai aqidah dan syariah secara utuh serta sebagai pedoman spiritual dan kehidupan politik.

Lebih dari itu deislamisasi melahirkan bahaya (dharar) lain, yakni langgengnya imperalisme Barat di negeri Indonesia atas nama GWOT,HAM,Demokrasi,Pasar Bebas, dan perubahan Iklim. Bahaya yang lebih besar dari deislamisasi adalah tetap bercokolnya sistem sekuler dengan demokrasinya serta semakin terjauhkannya sistem Islam. Padahal jelas, selama ini demokrasi dan sekulerisme telah menjerumuskan umat islam ke dalam jurang kehidupan yang sempit dalam seluruh aspeknya.

Menyebabkan Indonesia masuk dalam cengkrman neoliberalisme dan neoimperalisme. Umat jauh dari kebahagian lahir-batin. Mereka jatuh ke dalam kubangan peradaban materialisme dan kerusakan moral yang luar biasa. Yang paling dasyat tentu saja mereka bisa-bisa akan kembali ke haribaan Allah SWT dalam keadaan nista. Na’udzubilah min dzalik!.

Oleh: Bambang Pranoto Bayu Aji (PD GEMA Pembebasan Soloraya) [revolusislam/dakwahmedia]

Tidak ada komentar: