Dekat-Dekat Adzan Waktu Terbaik Makan Sahur dan Bid’ah Waktu Imsak

Sebagian kaum muslimin salah memahami mengenai waktu makan sahur dan juga sudah mengendap kuat pemahaman yang keliru yaitu bid’ah waktu imsak , di mana ketika waktu imsak sudah tiba maka orang yang berpuasa Manahan diri dari makan dan minum sebagai bentuk kehati-hatian. Yang benar, justru sebaliknya, yaitu waktu-waktu ketika imsak menurut mereka adalah waktu yang terbaik untuk makan sahur. Berikut pembahasannya

Waktu makan sahur

Waktu makan sahur adalah adzan pertama  (munculnya fajar kadzib, belum masuk waktu shalat subuh) sampai adzan kedua (munculnya fajar shadiq, sudah masuk waktu shalat subuh). Di zaman Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, adzan pertama dikumandangkan oleh Bilal bin Rabah sedangkan adzan kedua dikumandangkan oleh Ibnu Ummi Maktum.

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

إِنَّ بِلاَلاً يُؤَذِّنُ بِلَيْلٍ فَكُلُوا وَاشْرَبُوا حَتَّى يُؤَذِّنَ ابْنُ أُمِّ مَكْتُومٍ
“Bilal biasa mengumandangkan adzan di malam hari. Makan dan minumlah sampai kalian mendengar adzan Ibnu Ummi Maktum.”[1]

Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam juga bersabda,

الفَجْرُ فَجْرَانِ ، فَجْرٌ يُحْرَمُ الطَّعَامُ وَتَحِلُّ فِيْهِ الصَّلاَةُ ، وَفَجْرٌ تُحْرَمُ فِيْهِ الصَّلاَةُ (أَيْ صَلاَةُ الصُّبْحِ) وَيَحِلُّ فِيْهِ الطَّعَامُ
“Fajar ada dua macam:

(Pertama) fajar diharamkan untuk makan dan dihalalkan untuk shalat (yaitu fajar shadiq, fajar masuknya waktu shalat shubuh)

dan (Kedua) fajar yang diharamkan untuk shalat (yaitu shalat shubuh) dan dihalalkan untuk makan (yaitu fajar kadzib, fajar yang muncul sebelum fajar shadiq).”[2]

تسحروا فإن في السحور بركة

Catatan:
orang yang makan jam 2 malam atau jam 3 malam dengan niat makan sahur, maka makannya tidak terhitung makan sahur melainkan hanya makan malam biasa. Dan jika ia tidak makan sahur sesuai waktunya maka ia tidak mendapatkan keutamaan dan barakah makan sahur.

Apa itu fajar kadzib dan fajar shadiq?

Dalam kitab sifat shaum Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dijelaskan,

و اعلم – أخي المسلم – أن: الفجر الكاذب هو البياض المستطيل الساطع المصعد كذنب السرحان, و الفجر الصادق هو الأحمر المسبطير المعترض على رؤوس الشعاب و الجبال, المنتشر في الطرق و السكك و البيوت, و هذا هو الذي تتعلق به أحكام الصيام و الصلاة
“Ketahuilah wahai saudaraku muslim, bahwa fajar (ada dua):

[Pertama] fajar kadzib yaitu warna putih yang memancar panjang menjulang seperti ekor binatang gembalaan,

[Kedua] fajar shadiq yaitu warna memerah yang bersinar dan tampak di atas puncak bukit dan gunung-gunung, tersebar di jalanan dan jalan raya serta atap-atap rumah. Fajar inilah yang berkaitan dengan hukum-hukum puasa dan shalat.”[3]

Dari Samurah radhiallahu ‘anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

لا يغرنكم أذان بلال و لا هذا ال بياض لعمود الصبح حتى يستطير
“janganlah kalian tertipu/salah kira dengan adzannya Bilal (adzan pertama, pent) dan jangan pula tertipu/salah kira dengan warna putih (fajar kadzib, pent) yang memancar ke atas sampai melintang.”[4]

Dari Thalq bin Ali, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

كلوا و اشربوا و لا يغرنكم الساطع المصعد, و كلوا و اشربوا حتى يععترض لكم الأحمر
“makan dan minumlah, jangan kalian tertipu/salah kira dengan fajar yang memancar ke atas (fajar kadzib) , makan dan minumlah sampai warna merah membentang (fajar shadiq).”[5]

Bid’ah waktu imsak

Bid’ah waktu imsak yaitu menahan diri dari makan dan minum sekitar 15 menit sebelum adzan dengan maksud berhati-hati, maka hal ini tidak ada ajarannya dalam Islam bahkan bertentangan dengan ajaran Islam. Akan tetapi bid’ah ini tersebar luas di sebagian besar kaum muslimin, terpampang di jadwal waktu puasa dan shalat, diumumkan di radio dan televisi bahkan diumumkan di masjid-masjid melalui pengeras suara.

Anggapan yang salah ketika tiba waktu imsak adalah tidak boleh makan dan minum lagi. Yang benar adalah menahan diri makan dan minum ketika tiba waktu shalat subuh atau terbit fajar shadiq.

Allah Ta’ala berfirman,

وَكُلُوا وَاشْرَبُوا حَتَّى يَتَبَيَّنَ لَكُمُ الْخَيْطُ الْأَبْيَضُ مِنَ الْخَيْطِ الْأَسْوَدِ مِنَ الْفَجْرِ
“Dan makan minumlah hingga terang bagimu benang putih dari benang hitam, yaitu fajar.” (Al Baqarah: 187)

Makna benang putih dan benang hitam adalah kiasan, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

إنما ذلك سواد الليل و بياض النهار
“Maksud ayat tersebut adalah hitamnya malam dan putihnya siang.”[6]
Waktu bid’ah imsak adalah  justru waktu terbaik untuk makan sahur
Karena termasuk sunnah adalah mengakhirkan makan sahur, yaitu makan sahur pada waktu berdekatan dengan shalat subuh (fajar shadiq)

‘Amr bin Maimun Al-Audi berkata,

كَانَ أَصْحَابُ مُحَمَّدٍ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَ سَلَّمَ أَسْرَعَ النَّاسِ إِفْطَارًا وَأَبْطَأَهُمْ سَحُوْرًا
Dahulu para sahabat Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah orang-orang yang paling segera berbuka dan paling lambat sahuur.”[7]

Dari Zaid bin Tsabit radhiallahu ‘anhu, dia berkata,

عَنْ زَيْدِ بْنِ ثَابِتٍ – رضى الله عنه – قَالَ: تَسَحَّرْنَا مَعَ النَّبِىِّ – صلى الله عليه وسلم – ثُمَّ قَامَ إِلَى الصَّلاَةِ . قُلْتُ كَمْ كَانَ بَيْنَ الأَذَانِ وَالسَّحُورِ قَالَ قَدْرُ خَمْسِينَ آيَةً .
 “Kami makan sahur bersama Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, kemudian beliau berdiri untuk melakukan shalat”.

(Anas bertanya kepada Zaid bin Tsabit): “Berapa lama jarak antara adzan dan sahur?” Zaid menjawab, “Kira-kira (membaca) 50 ayat (Al-Qur’an)”[8]

Begitu juga ketika sedang makan dan minum kemudian terdengar adzan maka ia hendaknya melanjutkan makan dan minumnya.

عَنْ أَبِى هُرَيْرَةَ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- « إِذَا سَمِعَ أَحَدُكُمُ النِّدَاءَ وَالإِنَاءُ عَلَى يَدِهِ فَلاَ يَضَعْهُ حَتَّى يَقْضِىَ حَاجَتَهُ مِنْهُ ».
Dari Abu Hurairah, ia berkata; Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: “Apabila salah seorang diantara kalian mendengar adzan, sedangkan bejana (makanan) masih ada di tangannya, maka janganlah ia meletakkannya hingga ia menyelesaikan hajatnya (sahurnya).”[9]

Bahkan jika tidak mendengar adzan kemudian tiba-tiba mendengar iqamat shalat subuh maka boleh melanjutkan hajatnya.

عَنْ أَبِي أُمَامَةَ قَالَ: أُقِيْمَتِ الصَّلَاةُ وَالْإِنَاءُ فِي يَدِ عُمَرَ، قَالَ: أَشْرَبُهَا يَا رَسُوْلَ اللهِ؟ قَالَ: نَعَمْ!، فَشَرِبَهَا (بطريقين وهو صحيح)
Dari Abi Umamah, dia berkata: “Shalat (subuh) sudah diiqomati, wadah minuman masih berada di tangan Umar, dia bertanya: “Apakah aku boleh meminumnya wahai Rasulullah?” Nabi n menjawab: “Ya”. Maka Umar meminumnya”.[10]

Dan bid’ah imsak ternyata sudah ada juga di zaman Ibnu hajar Al-asqalani rahimahullah, beliau berkata,

من البدع المنكرة ما أحدث في هذا الزمان من إيقاع الأذان الثاني قبل الفجر بنحو ثلث ساعة في رمضان واطفاء المصابيح التي جعلت علامة لتحريم الأكل والشرب على من يريد الصيام زعما ممن أحدثه أنه للاحتياط في العبادة ولا يعلم بذلك الا آحاد الناس وقد جرهم ذلك إلى أن صاروا لا يؤذنون الا بعد الغروب بدرجة لتمكين الوقت زعموا فاخروا الفطر وعجلوا السحور وخالفوا السنة فلذلك قل عنهم الخير وكثير فيهم الشر والله المستعان
“Termasuk bid’ah yang munkar adalah apa yang terjadi di zaman ini (zaman Ibnu Hajar) yaitu adanya pengumandangan adzan kedua tiga perempat jam sebelum waktu fajar bulan Ramadhan. Serta memadam lampu-lampu sebagai pertanda telah datangnya waktu haram untuk makan dan minum bagi yang berpuasa keesokan harinya. Orang yang berbuat seperti ini beranggapan bahwa hal itu dimaksudkan untuk berhati-hati dalam beribadah, sebab yang mengetahui persis batas akhir sahur hanya segelintir manusia. Sikap hati-hati yang demikian, juga menyebabkan mereka tidak diijinkan untuk berbuka puasa kecuali setelah matahari terbenam beberapa saat agar lebih memastikan waktu. Akibatnya mereka suka mengakhirkan waktu berbuka puasa, suka menyegerakan waktu sahur, dan suka menyelisihi Sunnah. Oleh sebab itulah mereka sedikit mendapatkan kebaikan, tetapi banyak mendapatkan keburukan.”[11]

Alhamdulillahi rabbil ‘alamiin.

@Gedung radioputro FK UGM, 19 Sya’ban 1434 H
Penyusun:  Raehanul Bahraen Artikel www.muslimafiyah.com

footnote
[1] HR. Bukhari no. 623 dan Muslim no. 1092
[2] HR. Al Baihaqi dalam Sunan Al Kubro no. 8024 dan Ad Daruquthni” no. 2154, dishahihkan oleh Ibnu Khuzaimah dan Al Hakim sebagaimana terdapat dalam Bulughul Marom)
[3] Sifat shaum Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam hal. 37, Dar Ibnu Hazm, Beirut, cet. VI, 1417 H,
[4] HR. Muslim no. 1094
[5] HR.  Tirmidzi 3/76, Abu Dawud 2/304, Ahmad 4/23, Ibnu Khuzaimah 3/211, dishahihkan oleh penulis kitab sifat shaum
[6] HR. Bukhari 4/113 dan Muslim no.1090
[7] HR. Abdurrozaq di dalam Al-Mushonnaf 4/226, no. 7591; dishahihkan oleh Al-Hafizh di dalam Al-Fath
[8] HR. Bukhari, no. 1921 dan Muslim, no. 1097
[9] HR. Abu Dawud, no.2352 sanadnya  hasan; juga riwayat Ahmad dan Al-Hakim dengan sanad yang shahih. Lihat Sifat Shoum
[10] Tafsir Thabari 3/527, no. 3017, dengan dua sanad, riwayat ini shahih
[11] Fathul-Baariy 4/199, Darul Ma’rifah, Beirut, 1397 H, Syamilah

Tidak ada komentar: