inilah Dosa-Dosa Perang Mantan Presiden Israel Shimon Peres Semasa Hidup

Mantan Presiden Israel Shimon Peres tutup usia 93 tahun pada Rabu 28 September 2016. Ia meninggal di Rumah Sakit Tel Aviv akibat penyakit stroke yang dideritanya memburuk selama dua pekan terakhir. Pria yang dikenal di Indonesia sebagai pengagum Gus Dur itu rencananya akan dimakamkan secara kenegaraan di Yerusalem pada Jumat 30 September.

Selama 70 tahun, masa hidup Peres dihabiskan untuk mengurusi negaranya. Presiden Israel ke-9 ini juga dikenal sebagai sastrawan ulung. Terbukti beberapa puisi dan lagu karangannya telah melahirkan sejumlah album. Sebagai seorang diplomat, pria kelahiran Belarusia 2 Agustus 1923 tersebut juga fasih berbicara dalam bahasa Polandia (negara kelahirannya), Prancis, Inggris, Rusia, Yahudi (Yiddi) dan Ibrani.
Presiden Israel Shimon Peres

Di negara-negara Barat, nama Peres begitu harum mewangi. Bahkan, kepala negara Israel yang menjabat pada 2007-2014 itu dianugerahi Nobel Perdamaian pada 1994 bersama dengan Perdana Menterinya, Yitzhak Rabin dan Presiden Pertama Palestina Yasser Arafat. Saat menerima penghargaan tersebut, Peres masih berposisi sebagai menteri luar negeri Israel. Nobel Perdamaian itu diraihnya karena dianggap telah berhasil membawa Yordania dan Israel duduk dalam meja perundingan dan mencapai kesepakatan damai. Dia juga orang yang dianggap sosok kunci pembuka diskusi damai dengan Palestina.

Di sisi lain, kiprah politik Peres tidak mendapatkan apresiasi sebesar di Barat. Terlepas dari segala orasi perdamaian dan konsep hidup berdampingannya yang begitu meyakinkan di forum-forum internasional, faktanya Peres dianggap pemimpin Israel yang turut mendukung aksi pembantaian terhadap rakyat Palestina.

Berikut ini Okezone merangkum lima aksi yang dianggap dosa besar Peres terhadap dunia dan khususnya Palestina.

1. Mengembangkan Senjata Nuklir

Pada 1953-1965, Peres dilantik sebagai direktur jenderal pertama di bawah asuhan Kementerian Pertahanan Israel. Selama periode itu, pangkatnya naik dengan cepat menjadi wakil menteri pertahanan.

Keenceran otaknya dalam membangun kekuatan militer nasional dikagumi banyak orang kala itu. Bahkan, dia dikenal kemudian sebagai arsitek program persenjataan nuklir Israel yang dikembangkannya secara diam-diam. Hingga saat ini persenjataan nuklir Israel tak terjamah alias berada di luar pengawasan Badan Energi Atom Internasional (IAEA).

Rahasia tentang nuklir Israel bocor ke media Inggris pada 1986 berkat Mordechai Vanunu, seorang mantan teknisi nuklir Israel. Gara-gara keberaniannya mengungkap aib negara, Vanunu diculik dan berakhir terperangkap di balik jeruji besi pemerintahnya.

Vanunu mengungkap Menteri Pertahanan Israel Shimon Peres bertemu secara rahasia dengan Menteri Pertahanan Afrika Selatan P W Botha. Hasil pertemuan menyepakati pembelian tiga jenis bom atom dari Israel kepada Afsel. Dengan demikian, Peres telah berkontribusi menjual senjata pemusnah massal pada rezim apartheid.

2. Pengusiran Warga Palestina


Anggota parlemen Palestina, Mustafa Barghouti lebih suka menyebut retorika Peres sebagai ilusi perdamaian.

Pasalnya, ide okupasi Israel di Palestina sejatinya merupakan buah pikiran Shimon Peres. Pria yang dua kali menjabat PM ini tercatat berperan penting dalam upaya pendudukan di tanah tempat tinggal rakyat Palestina hingga 1966.

Seperti dilansir dari Middle East Monitor, Jumat (30/9/2016), okupasi itu sesuai dengan salah satu kebijakan yang berlaku di Israel. Pasal 125 menyebut, tanah Palestina dimungkinkan menjadi zona militer tertutup.

Dengan begitu, rumah-rumah penduduk Palestina dirampas demi kepentingan negara lain. Peres memuji kebijakan tersebut sebagai langkah melanjutkan perjuangan untuk menyediakan pemukiman tinggal bagi kaum Yahudi dan para pencari suaka Yahudi.

Warga Palestina di sekitar pemukiman yang dibangun Israel di atas lahan mereka. (Foto: Reuters)

Pada 2005, dia juga mendorong lebih banyaknya penempatan orang-orang Yahudi Israel di tanah Palestina. Sementara mendesak rakyat Palestina pindah dan pergi dari Galilea.

Dalam percakapan tertutup dengan pejabat AS pada tahun yang sama, Peres mengklaim Israel telah kehilangan 1.000 kilometer persegi lahan di Negev sampai Badui. Sehingga jika pembangunan dilanjutkan dari Negev sampai ke Galilea, setidaknya akan meringankan masalah yang disebutnya sebagai ancaman demografi.

3. Mendukung pendudukan ilegal di Tepi Barat

Penjajahan model baru Israel dengan jalan pendudukan ilegal di Tepi Barat membuat Peres antusias. Bersama Rabin, pria yang pada 1974-1977 menjabat Menteri Pertahanan Israel itu membangun paksa rumah-rumah di Tepi Barat hingga ke Ofra.

4. Pembantaian di Qana

Kejahatan perang Peres lainnya yang selama ini diabaikan oleh negara Barat adalah pembantaian di Qana, Lebanon. Terjadi pada 1966, Peres menduduki posisi PM Israel dan bertanggung jawab mengawasi Operasi Anggur Kemarahan (Grapes of Wrath, nama sandi operasi). Jembatan dan pembangkit listrik di Lebanon dihancurkan, industri dirusak habis-habisan.

Selama perang 16 hari itu lebih dari 20 ribu artileri ditembakkan Israel ke Qana. Salah satu serangan dilaporkan menewaskan 154 warga sipil Lebanon, termasuk 106 orang yang berlindung di pangkalan PBB, serta melukai 351 orang lainnya.

5. Blokade Jalur Gaza

Kali ini Peres mendapat kepercayaan menjadi duta besar Israel. Selama 10 tahun menyandang amanah tersebut, kebrutalan merajalela di Jalur Gaza. Sedikitnya tiga serangan besar membombardir jalur tersebut dan ujungnya adalah memblokir pasokan makanan dan kebutuhan hidup sehari-hari penduduk Palestina yang bergantung pada Jalur Gaza.

Dikritik keras oleh dunia, Peres dengan lantang membela negaranya di forum internasional. Menurutnya, Israel tidak akan menyerang sekeras itu jika Hamas (kelompok garis keras di Palestina) berhenti menembakkan roket ke pemukiman Yahudi Israel. Ketika anak-anak Palestina yang tengah bermain di pantai tewas diledakkan bom, Peres menyalahkan pemerintah Palestina yang tidak mengimbau warganya untuk menjauh dari lokasi yang sudah diperingatkan akan jadi sasaran bom.

Hingga akhir hayatnya, Peres menutupi semua dosa perangnya. Tidak seuntai kata maaf maupun penyesalan keluar dari mulutnya untuk semua operasi militernya di Timur Tengah. Baginya, Palestina adalah negara yang mencitrakan diri sendiri sebagai korban, padahal tidak.

Dia setuju dan sangat mendukung solusi dua negara, dengan syarat Israel tetap mampu mempertahankan mayoritas Yahudinya. Demikian juga Yerusalem seutuhnya harus jadi milik Israel, bukan untuk dibagi-bagi.

sumber: okezone

Tidak ada komentar: