Cara Menentukan Awal dan Akhir Ramadhan Menurut Syariat

✅ Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam bersabda,

صُومُوا لِرُؤْيَتِهِ وَأَفْطِرُوا لِرُؤْيَتِهِ فَإِنْ غُبِّيَ عَلَيْكُمْ فَأَكْمِلُوا عِدَّةَ شَعْبَانَ ثَلاَثِينَ
🌴 “Berpuasalah karena kalian telah melihat bulan dan berbukalah (berhari raya idul fitri) karena kalian telah melihatnya, apabila kalian terhalangi melihatnya maka sempurnakanlah bilangan Sya’ban menjadi 30 hari.” [HR. Al-Bukhari dan Muslim dari Abu Hurairah radhiyallahu’anhu]

📋 #BEBERAPA PERMASALAHAN:

➡ Pertama: Peringatan bagi Kaum Muslimin untuk Mengikuti Tuntunan Syari’at dalam Penetapan Awal dan Akhir Ramadhan

Hadits yang mulia di atas adalah kata putus dari Allah subhanahu wa ta’ala melalui lisan Rasul-Nya shallallahu’alaihi wa sallam dalam permasalahan cara menetapkan awal dan akhir bulan Ramadhan dan bulan-bulan yang lainnya. Maka sudah sepatutnya kaum muslimin untuk selalu merujuk kepada Al-Qur’an dan As-Sunnah, agar selamat dari kesesatan dan perselisihan. Allah ta’ala berfirman,

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا أَطِيعُوا اللَّهَ وَأَطِيعُوا الرَّسُولَ وَأُولِي الْأَمْرِ مِنْكُمْ فَإِنْ تَنَازَعْتُمْ فِي شَيْءٍ فَرُدُّوهُ إِلَى اللَّهِ وَالرَّسُولِ إِنْ كُنْتُمْ تُؤْمِنُونَ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الْآخِرِ ذَلِكَ خَيْرٌ وَأَحْسَنُ تَأْوِيلًا
“Wahai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul-(Nya), dan ulil amri di antara kamu. Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al Qur’an) dan Rasul (As-Sunnah), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. Yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya.” [An-Nisa: 59]
Awal dan Akhir Ramadhan

➡ Kedua: Dua Cara Penetapan Awal Ramadhan

Hadits yang mulia ini menunjukkan dua cara menetapkan awal bulan Ramadhan:

1) Melihat hilal, yaitu bulan yang muncul setelah terbenam matahari pada tanggal 29 Sya’ban.
2) Menggenapkan bulan Sya’ban menjadi 30 hari (ketika bulan tidak terlihat).

Inilah dua cara yang disyari’atkan, adapun selain itu seperti menetapkan awal bulan Ramadhan dengan ilmu hisab maka termasuk kategori mengada-ada (bid’ah) dalam agama dan menyelisihi petunjuk Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam. Al-Imam An-Nawawi Asy-Syafi’i rahimahullah berkata,

يَجِبُ صَوْمُ رَمَضَانَ بِاسْتِكْمَالِ شَعْبَانَ ثَلَاثِينَ، أَوْ رُؤْيَةِ هِلَالِهِ
“Wajib berpuasa Ramadhan dengan menyempurnakan bulan Sya’ban menjadi 30 hari atau melihat hilal Ramadhan.” [Roudhatut Thoolibin, 2/345]

Al-Imam An-Nawawi Asy-Syafi’i rahimahullah juga berkata,

فَالصَّوَابُ ماقاله الْجُمْهُورُ وَمَا سِوَاهُ فَاسِدٌ مَرْدُودٌ بِصَرَائِحِ الْأَحَادِيثِ السَّابِقَةِ
“Maka yang benar adalah pendapat Jumhur ulama, dan yang selain itu adalah pendapat yang rusak lagi tertolak berdasarkan hadits-hadits sebelumnya yang jelas maknanya.” [Al-Majmu’, 6/270]

Bahkan para ulama yang lainnya telah menukil ijma’ (kesepakatan ulama) atas wajibnya menetapkan awal bulan dengan ru’yah hilal atau menggenapkan bulan menjadi 30 hari, dan penetapan dengan cara hisab adalah batil. Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah berkata,

وَلَا رَيْبَ أَنَّهُ ثَبَتَ بِالسُّنَّةِ الصَّحِيحَةِ وَاتِّفَاقِ الصَّحَابَةِ أَنَّهُ لَا يَجُوزُ الِاعْتِمَادُ عَلَى حِسَابِ النُّجُومِ
“Tidak diragukan lagi bahwa telah tetap berdasarkan sunnah yang shahih dan kesepakatan sahabat, tidak boleh menetapkan awal bulan Ramadhan dengan berpatokan kepada hisab nujum.” [Majmu’ Al-Fatawa, 25/207]

Dan ternyata, kelompok yang pertama kali menggunakan hisab adalah kelompok sesat Syi’ah. Al-Hafiz Ibnu Hajar rahimahullah berkata,

وَقَدْ ذَهَبَ قَوْمٌ إِلَى الرُّجُوعِ إِلَى أَهْلِ التَّسْيِيرِ فِي ذَلِكَ وَهُمُ الرَّوَافِضُ وَنُقِلَ عَنْ بَعْضِ الْفُقَهَاءِ مُوَافَقَتُهُمْ قَالَ الْبَاجِيُّ وَإِجْمَاعُ السَّلَفِ الصَّالح حجَّة عَلَيْهِم وَقَالَ بن بَزِيزَةَ وَهُوَ مَذْهَبٌ بَاطِلٌ
“Sebagian orang berpendapat untuk merujuk kepada ahli hisab dalam penetapan bulan, mereka itu adalah Syi’ah Rafidhah dan dinukil persetujuan terhadap pendapat tersebut dari sebagian fuqoho, maka Al-Baaji berkata: Dan ijma’ As-Salafus Shalih adalah hujjah atas mereka. Dan berkata Ibnu Bazizah: Menggunakan hisab adalah pendapat yang batil.” [Fathul Baari, 4/127]

➡ Ketiga: Apa Kewajiban Pemerintah?

Pemerintah hendaklah menetapkan awal puasa Ramadhan dengan persaksian melihat bulan meskipun oleh satu orang saksi yang terpercaya, adapun bulan Syawwal dan bulan-bulan lainnya dengan dua orang saksi yang terpercaya. Sahabat yang Mulia Ibnu Umar radhiyallahu’anhuma berkata,

تَرَاءَى النَّاسُ الْهِلَالَ، فَأَخْبَرْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنِّي رَأَيْتُهُ، فَصَامَ وَأَمَرَ النَّاسَ بِالصِّيَامِ
“Manusia berusaha melihat hilal, maka aku mengabarkan kepada Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam bahwa aku telah melihatnya, beliau pun berpuasa dan memerintahkan manusia untuk berpuasa.” [HR. Abu Daud dan At-Tirmidzi, Shahih Abi Daud: 2028]

Sahabat yang Mulia Ibnu ‘Abbas radhiyallahu’anhuma berkata,

جَاءَ أَعْرَابِيٌّ إِلَى النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، فَقَالَ: إِنِّي رَأَيْتُ الْهِلَالَ، فَقَالَ: أَتَشْهَدُ أَنْ لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ، قَالَ: نَعَمْ، قَالَ: أَتَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا رَسُولُ اللَّهِ؟ قَالَ: نَعَمْ، قَالَ: يَا بِلَالُ، أَذِّنْ فِي النَّاسِ فَلْيَصُومُوا غَدًا
“Seorang Arab dusun datang kepada Nabi shallallahu’alaihi wa sallam seraya berkata: Sungguh aku telah melihat hilal. Beliau bersabda: Apakah kamu bersaksi bahwa tidak ada yang berhak disembah selain Allah? Ia berkata: Ya. Beliau bersabda lagi: Apakah kamu bersaksi bahwa Muhammad adalah utusan Allah? Ia berkata: Ya. Beliau bersabda: Wahai Bilal, umumkan kepada manusia, hendaklah mereka berpuasa besok.” [HR. Abu Daud dan At-Tirmidzi]

Al-Imam At-Tirmidzi rahimahullah berkata,

وَالعَمَلُ عَلَى هَذَا الحَدِيثِ عِنْدَ أَكْثَرِ أَهْلِ العِلْمِ قَالُوا: تُقْبَلُ شَهَادَةُ رَجُلٍ وَاحِدٍ فِي الصِّيَامِ، وَبِهِ يَقُولُ ابْنُ الْمُبَارَكِ، وَالشَّافِعِيُّ، وَأَحْمَدُ، وَأَهْلِ الْكُوفَةِ، قَالَ إِسْحَاقُ: لاَ يُصَامُ إِلاَّ بِشَهَادَةِ رَجُلَيْنِ، وَلَمْ يَخْتَلِفْ أَهْلُ العِلْمِ فِي الإِفْطَارِ أَنَّهُ لاَ يُقْبَلُ فِيهِ إِلاَّ شَهَادَةُ رَجُلَيْنِ
“Kebanyakan ulama mengamalkan hadits ini, mereka berpendapat: Persaksian satu orang diterima dalam penetapan awal puasa, ini pendapat Ibnul Mubarok, Asy-Syafi’i, Ahmad dan ulama Kufah. Adapun Ishaq berkata, ‘Tidak boleh mulai berpuasa kecuali dengan persaksian dua orang saksi’. Dan ulama tidak berbeda pendapat dalam penetapan akhir puasa bahwa tidak diterima dalam permasalahan ini kecuali dengan persaksian dua orang saksi.” [Sunan At-Tirmidzi, 2/67]

Adapun dalil persaksian dua orang, diantaranya sabda Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam,

صُومُوا لِرُؤْيَتِهِ، وَأَفْطِرُوا لِرُؤْيَتِهِ، وَانْسُكُوا لَهَا فَإِنْ غُمَّ عَلَيْكُمْ فَأَكْمِلُوا ثَلَاثِينَ، فَإِنْ شَهِدَ شَاهِدَانِ فَصُومُوا، وَأَفْطِرُوا
“Berpuasalah karena kalian telah melihat bulan, berbukalah (berhari raya idul fitri) karena kalian telah melihatnya, dan menyembelihlah (berhari raya idul adha) karena kalian telah melihatnya, apabila mendung menghalangi kalian maka sempurnakanlah bulan menjadi 30 hari, serta apabila telah bersaksi dua orang saksi maka berpuasalah dan berbukalah (berhari raya idul fitri).” [HR. An-Nasaai dari Abdur Rahman bin Zaid bin Al-Khottab dari Para Sahabat radhiyallahu’anhum, Shahihul Jaami’: 3811]

Hadits yang mulia ini menunjukkan bahwa penetapan puasa dan hari raya haruslah dengan kesaksian dua orang saksi, akan tetapi hadits yang sebelumnya memberikan pengecualiaan untuk penetapan puasa boleh dengan satu orang saksi. Asy-Syaikh Al-‘Allaamah Ibnu Baz rahimahullah berkata,

والمقصود أن شهادة العدلين لا بد منها في الخروج وفي جميع الشهور، أما رمضان في الدخول فيكتفى فيه بشهادة واحد عدل للحديثين السابقين
“Maksudnya adalah bahwa persaksian dua orang yang adil (terpercaya) harus ada untuk menetapkan akhir bulan Ramadhan dan seluruh bulan, adapun awal bulan Ramadhan maka cukup dengan satu orang saksi yang adil (terpercaya) berdasarkan dua hadits sebelumnya.” [Majmu Fatawa Ibni Baz, 15/62]

➡ Keempat: Apabila Baru Mengetahui Masuknya Bulan Ramadhan Setelah Terbit Fajar

Apabila kaum muslimin baru mengetahui terlihatnya bulan setelah terbit fajar, misalkan ketika saksi baru datang setelah terbit fajar dan mengabarkan bahwa ia telah melihat bulan setelah terbenamnya matahari semalam, maka pendapat yang kuat insya Allah adalah wajib memulai puasa pada saat itu juga dan puasanya sah, tidak perlu meng-qodho’. Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam bersabda,

مَنْ كَانَ أَكَلَ فَلْيَصُمْ بَقِيَّةَ يَوْمِهِ، وَمَنْ لَمْ يَكُنْ أَكَلَ فَلْيَصُمْ، فَإِنَّ اليَوْمَ يَوْمُ عَاشُورَاءَ
“Barangsiapa yang telah makan hendaklah berpuasa pada sisa harinya, dan barangsiapa yang belum makan hendaklah terus berpuasa, karena sesungguhnya hari ini adalah hari Asyuro’.” [HR. Al-Bukhari dari Salamah bin Al-Akwa’ radhiyallahu’anhu]

Para ulama menjelaskan bahwa puasa Asyuro’ dahulu diwajibkan sebelum diwajibkannya puasa Ramadhan, maka ketika Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam mengetahui bahwa hari itu adalah hari Asyuro’, beliau pun memerintahkan sahabat untuk berpuasa dan tidak memerintahkan mereka untuk meng-qodho’, menunjukkan bahwa puasa mereka telah sah. Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah berkata,

أَنَّ الْهِلَالَ إذَا ثَبَتَ فِي أَثْنَاءِ يَوْمٍ قَبْلَ الْأَكْلِ أَوْ بَعْدَهُ أَتَمُّوا وَأَمْسَكُوا وَلَا قَضَاءَ عَلَيْهِمْ كَمَا لَوْ بَلَغَ صَبِيٌّ أَوْ أَفَاقَ مَجْنُونٌ عَلَى أَصَحِّ الْأَقْوَالِ الثَّلَاثَةِ
“Bahwa hilal apabila baru ditetapkan di tengah hari sebelum makan atau setelahnya maka hendaklah mereka menyempurnakan hari itu dengan puasa dan menahan diri dari pembatal-pembatal puasa, dan tidak ada kewajiban qodho’ atas mereka, sebagaimana anak kecil apabila mencapai baligh atau orang gila apabila menjadi berakal (hendaklah mulai berpuasa pada saat itu juga walau di tengah hari dan tidak perlu meng-qodho’ setelah Ramadhan), menurut pendapat yang paling shahih dari tiga pendapat.” [Majmu’ Al-Fatawa, 25/109]

➡ Kelima: Apa Hukum Melihat Hilal dengan Alat?

Asy-Syaikh Al-‘Allaamah Ibnu Baz rahimahullah berkata,

أما الآلات فظاهر الأدلة الشرعية عدم تكليف الناس بالتماس الهلال بها، بل تكفي رؤية العين. ولكن من طالع الهلال بها وجزم بأنه رآه بواسطتها بعد غروب الشمس وهو مسلم عدل، فلا أعلم مانعا من العمل برؤيته الهلال؛ لأنها من رؤية العين لا من الحساب
“Adapun alat-alat (untuk melihat hilal) maka yang nampak jelas pada dalil-dalil syari’at adalah tidak perlu menyulitkan manusia untuk mencari hilal dengannya, namun cukuplah dengan penglihatan mata secara langsung. Akan tetapi barangsiapa yang melihat hilal dengan alat dan memastikan bahwa ia telah melihatnya dengan perantara alat tersebut setelah terbenam matahari, sedang ia adalah seorang muslim yang adil (terpercaya), maka saya tidak tahu adanya penghalang untuk beramal sesuai dengan ru’yah hilalnya, karena hakikatnya itu termasuk penglihatan mata, bukan dengan hisab.” [Majmu Fatawa Ibni Baz, 15/69]

➡ Keenam: Masalah Perbedaan Tempat Keluarnya Bulan

Ulama sepakat bahwa tempat keluar bulan berbeda-beda antara satu negeri dengan negeri lain yang berjauhan, berdasarkan dalil syar’i, akal sehat dan panca indera.

Akan tetapi ulama berbeda pendapat apakah perbedaan tersebut berlaku dalam penetapan bulan Ramadhan dan bulan lainnya, misalkan jika telah terlihat hilal di Arab Saudi apakah berlaku juga untuk Indonesia? Ataukah Indonesia harus melihat hilal sendiri, jika tidak maka harus menyempurnakan bulan menjadi 30 hari?

Pendapat yang terkuat insya Allah adalah tetap berlaku apabila kaum muslimin memiliki lebih dari satu negeri, maka setiap negeri kaum muslimin boleh memutuskan sesuai hasil ru’yah di negeri masing-masing. Adapun apabila kaum muslimin hanya memiliki satu negeri, yaitu dikuasai oleh satu pemerintah untuk seluruh wilayah kaum muslimin, maka wajib bagi kaum muslimin untuk mengikuti keputusan pemerintah, sebagaimana akan datang insya Allah dalam pembahasan selanjutnya.

Dan perbedaan pendapat seperti ini termasuk dalam ketegori perbedaan pendapat yang boleh ditoleransi. Asy-Syaikh Ibnu Baz rahimahullah berkata,

فإذا ثبتت في المملكة العربية السعودية مثلا وصام برؤيته أهل الشام ومصر وغيرهم فحسن؛ لعموم الأحاديث، وإن لم يصوموا وتراءوا الهلال وصاموا برؤيتهم فلا بأس، وقد صدر قرار من مجلس هيئة كبار العلماء في المملكة العربية السعودية بأن لكل أهل بلد رؤيتهم؛ لحديث ابن عباس المذكور وما جاء في معناه
“Apabila misalkan telah terlihat hilal di Kerajaan Saudi Arabia, kemudian negeri Syam, Mesir dan yang lainnya ikut berpuasa maka itu adalah hal yang baik berdasarkan keumuman hadits-hadits dalam permasalahan melihat bulan. Namun apabila mereka belum berpuasa dan masih berusaha melihat hilal dan berpuasa sesuai ru’yah mereka sendiri maka tidak apa-apa, dan telah ditetapkan keputusan fatwa dari Majelis Komite Ulama Besar di Kerajaan Saudi Arabia bahwa setiap negeri memiliki ru’yah tersendiri, berdasarkan hadits Ibnu ‘Abbas radhiyallahu’anhuma yang telah disebutkan dan hadits lain yang semakna.” [Majmu Fatawa Ibni Baz, 15/85]

➡ Ketujuh: Bagaimana dengan Kaum Muslimin yang Tinggal di Negeri Kafir?[1]

Boleh bagi kaum muslimin yang tinggal di negeri kafir untuk mengikuti keputusan negeri-negeri kaum muslimin dalam penetapan puasa dan hari raya. Asy-Syaikh Ibnu Baz rahimahullah berkata ketika menanggapi pertanyaan kaum muslimin dari Spanyol,

أما ما ذكرتم عن صومكم معنا وفطركم معنا لكونكم أقمتم في أسبانيا أيام رمضان فلا بأس ولا حرج عليكم في ذلك
“Adapun yang kalian sebutkan tentang puasa kalian dan hari raya kalian yang waktunya mengikuti kami (Arab Saudi), dikarenakan kalian tinggal di Spanyol selama Ramadhan maka tidak apa-apa dan tidak ada dosa atas kalian dalam perkara tersebut.” [Majmu Fatawa Ibni Baz, 15/85]

➡ Kedelapan: Kapan Ru’yah Hilal Dilakukan?

Hadits yang mulia ini juga menunjukkan bahwa melihat bulan untuk menetapkan awal Ramadhan dilakukan pada tanggal 29 Sya’ban, karena Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam memerintahkan untuk menyempurnakan bulan Sya’ban menjadi 30 hari. Oleh karena itu tidak mungkin menetapkan awal Ramadhan jauh-jauh hari, seperti yang dilakukan oleh sebagian ormas yang menyelisihi syari’at karena mengikuti metode hisab.

Dan bulan di dalam syari’at hanya dua kemungkinan, apakah 29 atau 30 hari, tidak kurang dan tidak lebih. Oleh karena itu, perbedaan waktu keluarnya bulan antara satu negeri dengan negeri yang lainnya tidak akan lebih dari satu hari. Asy-Syaikh Ibnu Baz rahimahullah berkata,

وحيث قيل باعتبار اختلاف المطالع فالظاهر أنه لا يقع بأكثر من يوم، ولا يجوز للمسلم أن يصوم أقل من 29 يوما؛ لأن الشهر في الشرع المطهر لا ينقص عن 29 يوما ولا يزيد على 30 يوما
“Ketika memilih pendapat berbedanya tempat keluarnya bulan untuk penetapan awal dan akhir puasa maka yang nampak jelas bahwa hal itu tidak akan terjadi lebih dari satu hari, dan tidak boleh bagi seorang muslim untuk berpuasa kurang dari 29 hari, karena bulan di dalam syari’at yang suci ini tidak kurang dari 29 hari dan tidak lebih dari 30 hari.” [Majmu Fatawa Ibni Baz, 15/79]

➡ Kesembilan: Seperti Apa Bentuk Bulan dan Posisinya Ketika Ru’yah Hilal?

Asy-Syaikh Ibnu Baz rahimahullah berkata,

وأما كبر الأهلة وصغرها وارتفاعها وانخفاضها فليس عليه اعتبار ولا يتعلق به حكم؛ لأن الشرع المطهر لم يعتبر ذلك فيما نعلم
“Adapun besarnya bulan, kecilnya, tingginya dan rendahnya maka itu tidak teranggap dan tidak terkait dengan hukum, karena syari’at yang suci ini tidak menganggap hal itu terkait hukum, sesuai yang kami ketahui.” [Majmu Fatawa Ibni Baz, 15/80]

➡ Kesepuluh: Apabila Seseorang Berpuasa di Dua Negeri yang Berbeda dalam Penetapan Awal Ramadhan

Apabila seseorang memulai berpuasa di satu negeri kemudian melakukan safar di akhir Ramadhan ke negeri lain yang berbeda dalam penetapan awal dan akhir Ramadhan, maka berapa hari puasa yang harus ia kerjakan? Asy-Syaikh Ibnu Baz rahimahullah berkata,

إذا صمتم في السعودية أو غيرها ثم صمتم بقية الشهر في بلادكم، فأفطروا بإفطارهم ولو زاد ذلك على ثلاثين يوما؛ لقول النبي صلى الله عليه وسلم: «الصوم يوم تصومون والفطر يوم تفطرون» لكن إن لم تكملوا تسعة وعشرين يوما فعليكم إكمال ذلك؛ لأن الشهر لا ينقص عن تسع وعشرين. والله ولي التوفيق
“Apabila kalian telah mulai berpuasa di Saudi atau di negeri lainnya, kemudian kalian berpuasa di negeri kalian pada hari-hari Ramadhan yang tersisa, maka berbukalah (berhari raya idul fitri) bersama dengan penduduk negerimu meski pun puasa kalian lebih dari 30 hari, berdasarkan sabda Nabi shallallahu’alaihi wa sallam,

الصَّوْمُ يَوْمَ تَصُومُونَ وَالْفِطْرُ يَوْمَ تُفْطِرُونَ
“Berpuasa adalah hari kalian berpuasa, berbuka (berhari raya idul fitri) adalah hari kalian berbuka.” [HR. At-Tirmidzi dari Abu Hurairah radhiyallahu’anhu, Ash-Shahihah: 224]

Akan tetapi jika kalian belum menyempurnakan puasa 29 hari maka hendaklah kalian menyempurnakannya (dengan cara meng-qodho’ setelah hari raya), karena bulan tidak kurang dari 29 hari. Wallaahu Waliyyut taufiq.” [Majmu Fatawa Ibni Baz, 15/156]

وبالله التوفيق وصلى الله على نبينا محمد وآله وصحبه وسلم
---------------------------
[1] Tinggal di negeri kafir tidak boleh kecuali dengan 4 syarat:

1. Memiliki kekuatan ilmu untuk membentengi diri dari serangan syubhat,
2. Memiliki kekuatan iman untuk membentengi diri dari godaan syahwat,
3. Mampu mengamalkan kewajiban seperti sholat lima waktu, hijab bagi muslimah, dan lain-lain,
4. Ada satu hajat yang harus ditunaikan di negeri tersebut, bukan sekedar untuk jalan-jalan.

Tidak ada komentar: