Allah سبحانه و تعالىٰ berfirman :
أَمۡ لَهُمۡ شُرَڪَـٰٓؤُاْ شَرَعُواْ لَهُم مِّنَ ٱلدِّينِ مَا لَمۡ يَأۡذَنۢ بِهِ ٱللَّهُۚ
"Apakah mereka mempunyai sesembahan selain Allah yang menetapkan (mensyari'atkan) aturan agama bagi mereka yang tidak diizinkan (diridhai) Allah?" (QS. Asy-Syuuraa [42] : 21)
Apabila didapati ada nash (baca : dalil) yang seakan-akan bertentangan dengan akal -padahal hakikatnya tidak- maka sudah sepatutnya bagi seorang mukmin untuk mendahulukan wahyu dari akal, sebab wahyu (baca : dalil) sifatnya ma'shum (terjaga) adapun akal tidak, ia sifatnya terbatas dan berubah-ubah.
Allah ﷻ berfirman :
Apabila didapati ada nash (baca : dalil) yang seakan-akan bertentangan dengan akal -padahal hakikatnya tidak- maka sudah sepatutnya bagi seorang mukmin untuk mendahulukan wahyu dari akal, sebab wahyu (baca : dalil) sifatnya ma'shum (terjaga) adapun akal tidak, ia sifatnya terbatas dan berubah-ubah.
Allah ﷻ berfirman :
إِنَّا نَحۡنُ نَزَّلۡنَا ٱلذِّكۡرَ وَإِنَّا لَهُ ۥ لَحَـٰفِظُونَ
"Sesungguhnya Kami-lah yang menurunkan al-Qur-an, dan pasti Kami pula yang memeliharanya." (QS. Al-Hijr [15] : 9)
Imam Muhammad bin 'Ibrahim al-Wazir رحمه الله تعالىٰ berkata, "Konsekuensi dari ayat ini adalah bahwa syari'at Rasulullah ﷺ tetap terpelihara dan Sunnahnya tetap dijaga oleh Allah سبحانه و تعالىٰ." (Ar-Raudhul Baasim fidz Dzabbi'an Sunnati Abil Qasim shallallaahu 'alaihi wa sallam, I/64)
Imam Asy-Syafi'iy رحمه الله تعالىٰ berkata, "Sesungguhnya akal memiliki batas; ia berhenti pada batasan tersebut, sebagaimana pandangan juga memiliki batasan yang pandangan berakhir padanya." (Aadaab Asy-Syafi'iy wa Manaaqibuhu, hal. 30)
Maka ambillah pelajaran berharga dari perkataan 'Ali bin Abi Thalib رضي الله تعالىٰ عنه tentang tercelanya mendahulukan akal dari wahyu (baca : dalil) di dalam beragama.
'Ali bin Abi Thalib رضي الله تعالىٰ عنه berkata, "Seandainya agama ini (Islam) asasnya adalah akal (logika), maka tentu bagian bawah khuf (sepatu) lebih pantas untuk diusap daripada (bagian) atasnya. Sungguh, aku pernah melihat Rasulullah ﷺ mengusap bagian atas khufnya (sepatunya). " (Shahiih, Diriwayatkan oleh Abu Dawud, no. 162, Shahiih Sunan Abu Dawud, no. 162)
Perkataan Khulafa'ur Rasyid 'Ali bin Abi Thalib رضي الله تعالىٰ عنه ini meruntuhkan pendapat dan argumentasi para pemuja akal yang mendahulukan serta menuhankan akal di atas dalil al-Qur-an maupun As-Sunnah sebab memang secara akal (logika) mengusap khuf (sepatu) bagian bawah itu lebih utama karena ia yang kotor bukan khuf (sepatu) bagian atas, namun Rasulullah ﷺ memerintahkan untuk mengusap khuf (sepatu) bagian atas yang ternyata ini termasuk sunnah Nabiyallaah Muhammad ﷺ.
Imam Ash-Shan'ani رحمه الله تعالىٰ berkata, "Tentu saja secara akal (logika) yang lebih pantas diusap adalah bagian bawah khuf (sepatu) daripada bagian atasnya karena bagian bawahlah yang langsung bersentuhan dengan tanah. Namun kenyataan yang dipraktekkan Rasulullah ﷺ tidaklah demikian." (Subulus Salam Syarh Bulughul Maram, I/239)
Syaikh Muhammad bin Shalih al-'Utsaimin رحمه الله تعالىٰ berkata,
"Agama (dibangun) bukan dengan akal (logika). Agama (Islam) bukan didasari pertama kali dengan logika. Bahkan sebenarnya dalil (hujjah) yang kuat dibangun di atas otak yang baik (benar). Jika tidak, maka perlu dipahami bahwa dalil shahih sama sekali tidak bertentangan dengan logika yang baik (benar). Karena dalam al-Qur-an pun disebutkan :
Allah عز وجل berfirman :
Imam Muhammad bin 'Ibrahim al-Wazir رحمه الله تعالىٰ berkata, "Konsekuensi dari ayat ini adalah bahwa syari'at Rasulullah ﷺ tetap terpelihara dan Sunnahnya tetap dijaga oleh Allah سبحانه و تعالىٰ." (Ar-Raudhul Baasim fidz Dzabbi'an Sunnati Abil Qasim shallallaahu 'alaihi wa sallam, I/64)
Imam Asy-Syafi'iy رحمه الله تعالىٰ berkata, "Sesungguhnya akal memiliki batas; ia berhenti pada batasan tersebut, sebagaimana pandangan juga memiliki batasan yang pandangan berakhir padanya." (Aadaab Asy-Syafi'iy wa Manaaqibuhu, hal. 30)
Maka ambillah pelajaran berharga dari perkataan 'Ali bin Abi Thalib رضي الله تعالىٰ عنه tentang tercelanya mendahulukan akal dari wahyu (baca : dalil) di dalam beragama.
'Ali bin Abi Thalib رضي الله تعالىٰ عنه berkata, "Seandainya agama ini (Islam) asasnya adalah akal (logika), maka tentu bagian bawah khuf (sepatu) lebih pantas untuk diusap daripada (bagian) atasnya. Sungguh, aku pernah melihat Rasulullah ﷺ mengusap bagian atas khufnya (sepatunya). " (Shahiih, Diriwayatkan oleh Abu Dawud, no. 162, Shahiih Sunan Abu Dawud, no. 162)
Perkataan Khulafa'ur Rasyid 'Ali bin Abi Thalib رضي الله تعالىٰ عنه ini meruntuhkan pendapat dan argumentasi para pemuja akal yang mendahulukan serta menuhankan akal di atas dalil al-Qur-an maupun As-Sunnah sebab memang secara akal (logika) mengusap khuf (sepatu) bagian bawah itu lebih utama karena ia yang kotor bukan khuf (sepatu) bagian atas, namun Rasulullah ﷺ memerintahkan untuk mengusap khuf (sepatu) bagian atas yang ternyata ini termasuk sunnah Nabiyallaah Muhammad ﷺ.
Imam Ash-Shan'ani رحمه الله تعالىٰ berkata, "Tentu saja secara akal (logika) yang lebih pantas diusap adalah bagian bawah khuf (sepatu) daripada bagian atasnya karena bagian bawahlah yang langsung bersentuhan dengan tanah. Namun kenyataan yang dipraktekkan Rasulullah ﷺ tidaklah demikian." (Subulus Salam Syarh Bulughul Maram, I/239)
Syaikh Muhammad bin Shalih al-'Utsaimin رحمه الله تعالىٰ berkata,
"Agama (dibangun) bukan dengan akal (logika). Agama (Islam) bukan didasari pertama kali dengan logika. Bahkan sebenarnya dalil (hujjah) yang kuat dibangun di atas otak yang baik (benar). Jika tidak, maka perlu dipahami bahwa dalil shahih sama sekali tidak bertentangan dengan logika yang baik (benar). Karena dalam al-Qur-an pun disebutkan :
Allah عز وجل berfirman :
أَفَلَا تَعۡقِلُونَ
"Tidakkah kalian mau menggunakan akal kalian?" (QS. Al-Baqarah [2] : 44)
Sesungguhnya yang menyelisihi tuntunan syari'at, itulah yang menyelisihi akal (logika) yang sehat. Karena itu 'Ali bin Abi Thalib رضي الله تعالىٰ عنه mengatakan,
'Seandainya agama ini (Islam) asasnya adalah akal (logika), maka tentu bagian bawah khuf (sepatu) lebih pantas untuk diusap daripada (bagian) atasnya.'
Namun agama (Islam) tidak dibangun di atas akal (logika-logikaan). Oleh karenanya, siapa saja yang membangun agamanya di atas logika piciknya pasti akan membuat kerusakan daripada mendatangkan kebaikan. Mereka belum mengetahui bahwa akhirnya hanya kerusakan yang timbul."
(Fat-hul Dzil Jalali wal Ikram, I/370)
Semoga Allah تبارك وتعالىٰ memberikan hidayah dan taufiq.
Faidah kajian pagi ini bersama Ustadzuna Abu Fat-hi Yazid bin 'Abdul Qadir Jawas حفظه الله تعالىٰ, Syarh 'Aqidah Ahlus Sunnah wal Jama'ah di Radio Rodja 756 Am dan Rodja TV.
Abu 'Aisyah Aziz Arief_
Sesungguhnya yang menyelisihi tuntunan syari'at, itulah yang menyelisihi akal (logika) yang sehat. Karena itu 'Ali bin Abi Thalib رضي الله تعالىٰ عنه mengatakan,
'Seandainya agama ini (Islam) asasnya adalah akal (logika), maka tentu bagian bawah khuf (sepatu) lebih pantas untuk diusap daripada (bagian) atasnya.'
Namun agama (Islam) tidak dibangun di atas akal (logika-logikaan). Oleh karenanya, siapa saja yang membangun agamanya di atas logika piciknya pasti akan membuat kerusakan daripada mendatangkan kebaikan. Mereka belum mengetahui bahwa akhirnya hanya kerusakan yang timbul."
(Fat-hul Dzil Jalali wal Ikram, I/370)
Semoga Allah تبارك وتعالىٰ memberikan hidayah dan taufiq.
Faidah kajian pagi ini bersama Ustadzuna Abu Fat-hi Yazid bin 'Abdul Qadir Jawas حفظه الله تعالىٰ, Syarh 'Aqidah Ahlus Sunnah wal Jama'ah di Radio Rodja 756 Am dan Rodja TV.
Abu 'Aisyah Aziz Arief_
Tidak ada komentar: