BENARKAH SYAIKH MUHAMMAD BIN ‘ABDUL-WAHHAB TIDAK MEMILIKI GURU?

Ada dua kemungkinan ketika orang berbicara miring tentang seseorang.

➖Kemungkinan Pertama : Ia benar-benar tidak mengerti dan mengenal seseorang tersebut. Jika inilah kemungkinannya, mestinya ia tidak boleh berbicara tentangnya. Sebab berarti ia hanya berbicara secara serampangan, tidak berdasarkan ilmu. Orang-orang yang mengerti akan menertawakannya.

➖ Kemungkinan Kedua : Ia mengerti tetapi sangat membenci dan mendendamnya, sehingga yang dikatakannya tentang orang itu keluar dari hati yang penuh kedengkian. Jika demikian halnya, maka bisa dipastikan bahwa sebagian besar kata-katanya akan diwarnai kedustaan dalam rangka menjatuhkan orang yang sangat dibencinya itu.
padang pasir

Tampaknya demikianlah kata-kata miring tentang Syaikh Muhammad bin ‘Abdul-Wahhab rahimahullah, hanya berasal dari salah satu dari dua kemungkinan di atas atau dua-duanya.

Untuk itu perlu pemaparan serba sedikit tentang perjalanan beliau rahimahullah menuntut ilmu.

🌼. Masa kecil Syaikh Muhammad bin ‘Abdul-Wahhab rahimahullah lebih banyak dipergunakan untuk mempelajari al-Qur’an, tidak banyak dipergunakan untuk bermain-main bersama teman sebayanya, sehingga beliau telah hafal al-Qur’an sebelum umurnya mencapai 10 tahun.

Beliau memiliki ketajaman pemahaman yang luar biasa, cerdas, cepat menghafal dan fasih pengucapan kata-katanya.

[Tarikh Najed (Raudhatu al-Afham wa al-Afkar), karya Imam Husain bin Ghunnam, op.cit.I/25.]

🌼 Seperti telah dipaparkan sebelumnya, beliau rahimahullah lahir dari keluarga Ulama. Kakeknya seorang alim besar di zamannya dan juga seorang Qadhi, demikian pula ayahnya. Maka jelas, beliau hidup dan tumbuh dalam lingkungan keluarga Ulama. Sehingga wajar semenjak kecilnya beliau rahimahullah sudah memiliki motivasi menuntut ilmu syar’i yang tinggi.

🌼 Sebelum beliau rahimahullah melakukan perjalanan jauh ke berbagai negeri untuk menuntut ilmu, hal yang pertama kali beliau lakukan adalah menyibukkan diri dengan sungguh-sungguh menggali ilmu agama dari ayahnya sendiri. Maka dasar-dasar ilmu yang kuat sudah beliau miliki semenjak umur beliau berkisar antara sepuluh tahun di ‘Uyainah, salah satu daerah di Najed. Ayahnya sampai terrheran-heran melihat semangat serta kecerdasan beliau. Bahkan ayahnya sempat berkata,”Aku benar-benar dapat mengambil banyak faidah hukum dari Muhammad, anakku.” Atau kata-kata senada.

🌼 Beliau rahimahullah mencapai usia baligh sebelum usianya genap 12 (dua belas) tahun. Pada usia itu, sesudah usianya baligh, beliau sudah disuruh menjadi imam shalat oleh ayahnya, dan ayahnya pun menikahkannya. [Ibid I/26] Di sini jelas bahwa ayahnya merupakan salah satu gurunya.

Setelah itu, pada usia yang sama, beliau rahimahullah pergi haji memenuhi rukun Islam yang kelima dan selanjutnya beliau rahimahullah mengunjungi kota Madinah dan menetap di sana selama dua bulan, baru sesudah itu beliau kembali ke kampung halamannya.[9] Itu adalah perjalanan ibadah haji pertama beliau.[Tarikh al-Mamlakah al-Arabiyyah as-Su’udiyyah, op.cit I/69] 

Dan tampaknya, selama dua bulan beliau tinggal di Madinah beliau sempat menghadiri beberapa pelajaran dari beberapa Ulama di Masjid Nabawi. Tetapi yang paling berpengaruh bagi beliau adalah ketika beliau bertemu dengan dua orang ulama besar yang kelak menjadi guru-gurunya pula pada pengembaraan ilmiah berikutnya, yaitu Syaikh ‘Abdullah bin Ibrahim bin Saif dan Syaikh Muhammad Hayat as-Sindi.

🌼 Syaikh ‘Abdullah bin Ibrahim bin Saif adalah seorang Ulama yang ahli dalam bidang fiqih Hanbali dan dalam bidang hadits. Juga pengagum Syaikhul-Islam Ibnu Taimiyah.[Ibid I/71] Berasal dari keluarga Al-Saif yang selalu menjadi kepala pemerintahan di daerah Majma’ah, suatu daerah yang ada di wilayah Sudair di Najed.

[Unwan al-Majd Fi Tarikh Najed, Maktabah ar-Riyadh al-Haditsah, Riyadh, karya al-Allamah al-Muhaqqiq Utsman bin Bisyr an-Najdi, tanpa tahun, I/7, sub judul : Muhammad bin Abdul Wahhab Rahimahullah]

Beliau juga adalah ayah dari Syaikh Ibrahim bin ‘Abdullah bin Ibrahim bin Saif, penyusun Kitab al-‘Adzbu al-Faidh, Syarh Alfiyati al-Fara-idh.

[Ibid. Lihat al-A’lam, karya az-Zirikli (ejaan b.Inggris al-Zerekly) Dar al-Ilmi Lil Malayin. Zuhair Fathullah, musyrif percetakan yang ke IV, dalam mukadimahnya membubuhkan angka tahun 1979M, I/50, pada m ateri Asy-Syammary ; Ibrahim bin Abdullah bin Ibrahim bin Saif]

🌼 Sedangkan Syaikh Muhammad Hayat as-Sindi adalah seorang Ulama bidang hadits, berasal dari Sindustan yang kemudian menetap dan wafat di Madinah.

[Lihat al-A’lam, karya Az-Zirikl, op.cit VI/111. Lihat pula Tarikh al-Mamlakah al-Arabiyyah as-Su’udiyyah, op.cit.I/7I]

Di samping sebagai seorang tokoh Ulama bidang hadits dan ‘Ulum al-Hadits, beliau juga seorang tokoh penyeru ijtihad dalam masalah syari’at, dan penentang ta’ash-shub madzhabi (fantisme madzhab). Beliaupun dikenal sebagai orang yang paling keras memerangi bid’ah dan perbuatan-perbuatan yang bisa menjadi tangga menuju syirik.

[Perhatikanlah Tarikh al-Mamlakah al-Arabiyyah as-Su’udiyyah, op.cit I/71]

Sepulang dari perjalanan itu beliau lebih bersemangat lagi menuntut ilmu. Di samping memperdalam ilmu fiqih madzhab Ahmad bin Hanbal kepada ayahnya, beliau juga rajin mempelajari kitab tafsir, hadits dan tauhid serta menelaah pendapat para Ulama.

[Ibid I/69. Lihat pula Unwan al-Majd fi Tarikh Najed, I/6]

Selanjutnya beliau mengembara untuk menuntut ilmu syar’i ke berbagai negeri yang berdekatan dan berguru kepada para Ulama besar di negeri-negeri tersebut. Beliau pergi ke Hijaz dan Bashrah beberapa kali, juga ke Ahsa’.[Tarikh Najed (Raudhatu al-Afham wa al-Afkar) I/26]

Pada pengembaraan yang memakan waktu lebih panjang inilah beliau secara lebih mendalam mempelajari ilmu-ilmu syar’i kepada para Ulama gurunya. Sebagian di antaranya adalah para Ulama terkenal yang sudah disebut namanya di atas.

Sementara di Bashrah, beliau berguru pula kepada banyak Ulama tentang hadits dan fiqih. Juga tentang ilmu nahwu hingga betul-betul menguasainya. [Ibid I/27] Salah satu di antara Ulama itu berasal dari daerah Majmu’ah di Bashrah, yaitu Syaikh Muhammad al-Majmu’i, seorang Ulama yang beserta anak-anaknya termasuk keluarga yang terkenal sebagai orang-orang shalih dan berpegang pada ajaran tauhid. [Unwan al-Majd Fi Tarikh Najed, op.cit I/8] Sedangkan di Asha’, beliau juga bertemu dengan para Ulama, di antaranya Syaikh ‘Abdullah bin Muhammad bin ‘Abdul Lathif asy-Syafi’i al-Ashsa-i.

Jadi tidak benar kalau beliau dinyatakan tidak mempunyai guru. Bahkan guru-guru beliau cukup banyak, dan merupakan para Ulama yang dikenal di zaman itu, baik di ‘Uyainah, Madinah, Bashrah, Ahsa’ maupun di tempat lain. Yang sangat menonjol di antara guru-guru beliau, adalah yang sudah disebutkan di atas. Bahkan beliau juga mendapat ijazah dan sanad, di antaranya dalam riwayat hadits, dari Syaikh ‘Abdullah bin Ibrahim bin Saif an-Najdi al-Madani.

[Tarikh Najed (Raudhatu al-Afham wa al-Afkar) I/26-27]

Tidak ada komentar: