Wejangan Buya Hamka: Bisakah Umat Islam Bersatu

Umat islam hari ini hidup bergolongan, bangga dengan golongannya dan memahami merekalah yang paling benar, lalu dimanakah kebenaran itu jika semua sama-sama memiliki argumen?

Bisakah mereka bersatu?

Bersatu bukanlah paham yang dipaksakan, bersatu ialah hormat-menghormati, sebab Nabi sendiri didalam hadist tetap menyatakan bahwa walaupun telah berpecah menjadi 73 golongan, semuanya itu masih tetap Beliau sebut "ummati" umatku.

Dan terkadang timbul perselisihan karena masalah furu' (ranting) yang membawa juga pada permusuhan dan dendam kesumat.
Wejangan Buya Hamka

Misalnya perselisihan tentang melafazkan "Ushalli" saat hendak memulai shalat, bida'h atau tidaknya memperingati maulid nabi, sunnah atau bida'hkah mentalqin mayat setelah dikuburkan.

Di sinilah kita berjumpa ujung yang sulit.

Kalau soal-soal yang demikian tidak dibicarakan, timbullah kebekuan dalam agama dan terhentilah penyelidikan mana yang lebih dekat kepada sunnah, artinya terhentilah penyelidikan agama secara ilmiah.

Namun, biasanya pula kalau telah mulai dibicarakan, timbullah perselisihan, ada yang membantah dan ada yang mempertahankan.

Kemudian timbul taa'shub. Berkeras mempertahankan pendirian, baik pendirian mempertahankan maupun pendirian merombak.

Sabda Nabi tentang 73 pecahan dan golongan itu, hanya satu yang masuk surga yaitu al-jamaa'h, atau yang aku berpegang bersama sahabat memeganngnya. Dapatlah tiap-tiap golongan mendabik dada mengatakan kamilah golongan yang satu itu dan yang lain salah semuanya.

Sehingga perpecahan bertambah hebat, sebab si manusia sendiri telah menentukan surga hanya monopoli kepunyaan golongannya.

Namun, kalau hadist ini dipahamkan kembali dengan seksama, niscaya tiap-tiap golongan itu akan sama-sama mencari manakah amalan yang diridhai Allah dan Rasul supaya dia masuk surga.

Bukan berlomba menyalahkan golongan lain, melainkan tiap-tiap golongan berlomba membuat amalan yang lebih baik

Pedoman ini telah diberikan Allah pula dalam surat al-Hujarat ayat 11 yaitu supaya suatu kaum jangan menghina kaum yang lain, karena mungkin pada yang dihinakan itu ada amalan yang lebih baik dari amalan si penghina itu.

Oleh sebab itu, supaya pikiran kita yang banyak simpang-siurnya itu jangan membawa kesesatan, hendaklah masing-masing kita selalu berusaha mendekati mana yang sesuai kehendak Rasullulah Shalallahu a'laihi wasallam.

Kita pakailah akal, ijtihad, maslahah mursalah, istihsan dan sebagainya.

Dengan demikian, kita mengharapkan selalu semoga hasil yang kita usahakan itu sesuailah hendaknya dengan kehendak Allah dan Rasul.

Dan kalau kita memperoleh pendapat yang baru lalu menurut pendapat kita apa yang dipegang oleh golongan lain salah, janganlah terburu nafsu menyalahkan. Karena barang kali penyelidikannya belum sampai pada apa yang kita selidiki. Dan jika ada orang yang menyatakan pendapat baru, kita jangan pula lekas marah. Karena kerap kali yang menghalangi kita menerima kebenaran baru itu bukanlah karena benarnya yang kita pegang, melainkan karena tiap-tiap manusia itu menurut ilmu jiwa amat berat bercerai dari kebiasaannya.

Silahkan rujuk Tafsir Al Azhar, karya Hamka, jilid lll, hal. 350.

Seperti itulah kebenaran, tidak ada kebenaran yang benar-benar diyakini benar. kewajiban kita mencari kebenaran itu dengan sepenuh hati tanpa taa'shub golongan, pertahankan dan amalkan apa yang kita pahami benar, apa yang kita anggap salah dari golongan lain dijelaskan dengan niat tulus dan bersih, tanpa hinaan dan celaan.

Sekarang kenyataan menyatakan bahwa setiap golongan menyalahkan yang lain dibubuhi label sesat dan bodoh, padahal yang disalahkan itu pemuka agama, hilang adab dan akhlak karna kebencian dan taa'shub.

(Rail / Alam takambang jadi guru : ...)

Tidak ada komentar: