Predikat Munafik Bagi Pencela Shahabat Nabi

Al-Hafidzh Ibnu Hajar Al-‘Asqalani berkata:

أصح ما وقفت عليه من ذلك أن الصحابي من لقي النبي صلى الله عليه وآله وسلم مؤمنا به ، ومات على الإسلام ؛ فيدخل فيمن لقيه من طالت مجالسته له أو قصرت ، ومن روى عنه أو لم يرو ، ومن غزا معه أو لم يغز ، ومن رآه رؤية ولو لم يجالسه ، ومن لم يره لعارض كالعمى
"Bahwa yang paling benar dari apa yang aku pahami tentang definisi Shohabat adalah orang yang pernah bertemu Nabi shollallahu ‘alaihi wa alihi wasallam dan beriman kepadanya lalu mati di atas Islam. Maka di dalamnya meliputi orang yang pernah menemui beliau baik orang yang lama bermajlis dengan beliau atau sebentar saja, orang yang meriwayatkan hadits dari beliau atau tidak meriwayatkannya, orang yang ikut berperang bersama beliau atau tidak, orang yang melihat beliau hanya sekali saja meski tidak sempat duduk bermajelis dengannya, dan orang yang tidak melihat beliau karena ada sebab yang menghalanginya seperti buta." (Al-Ishobah Fi Tamyizis Shohabah 1/8)

Berdasarkan definisi di atas, maka orang yang pernah bertemu Nabi shollallahu ‘alaihi wasallam namun mati dalam kondisi tidak beriman dia tidak tergolong shohabat, seperti Abu Jahl, Abu Lahab dan Abu Tholib. Orang yang tadinya beriman kepada beliau dan kemudian murtad tidak termasuk shohabat.

Orang yang hidup semasa dengan Nabi shollallahu ‘alaihi wasallam tetapi tidak pernah bertemu dengan beliau juga tidak termasuk shohabat.

Orang yang melihat Nabi shollallahu ‘alaihi wasallam dalam keadaan wafat dan belum dikebumikan juga tidak termasuk shohabat, seperti Abu Dzu’aib Al-Hudzali seorang penyair.

Dengan demikian para shohabat Nabi adalah murid-murid Nabi yang setia mengamalkan ajaran beliau sampai mati.

Nabi shollallahu 'alaihi wasallam bersabda:
آيَةُ الْإِيمَانِ حُبُّ الْأَنْصَارِ وَآيَةُ النِّفَاقِ بُغْضُ الْأَنْصَارِ
“Tanda keimanan seseorang ialah mencintai kaum Anshor (para shohabat Nabi yang tinggal di Madinah ketika beliau hijroh), dan tanda kemunafikan adalah mencela kaumkAnshor." (HR. Al-Bukhori 3784 dan Muslim 74)

Beliau juga bersabda:
لَا يُحِبُّهُمْ إِلَّا مُؤْمِنٌ وَلَا يُبْغِضُهُمْ إِلَّا مُنَافِق
“Tidaklah mencintai para shohabatku dari kalangan Anshor melainkan dia seorang mukmin, dan tidaklah membencinya melainkan seorang munafik”. (HR. Al-Bukhori 3783 dan Muslim 75)

Syaikh Al-'Allamah Muhammad bin Sholih Al-Utsaimin berkata, “Di antara prinsip Ahlussunnah wal Jamaah adalah selamatnya hati mereka dan lisan-lisan mereka dari para shohabat Rosulillah shollallahu ‘alaihi wa alihi wasallam. Selamatnya hati mereka dari perasaan benci, dengki, dendam serta berbagai macam ketidakridhoan. Begitupula lisan-lisan mereka selamat dari segala ucapan yang tidak pantas ditujukan kepada para shohabat Nabi rodhiyallahu ‘anhum. 

Predikat Munafik Bagi Pencela Shahabat Nabi

Maka Ahlussunnah wal Jamaah adalah orang-orang yang selamat hatinya dari itu semua. Hati mereka dipenuhi kecintaan, kemuliaan serta pengagungan terhadap para shohabat Nabi dengan apa yang layak bagi mereka. Ahlussunnah wal Jamaah mencintai para shohabat Nabi dan mengutamakan mereka atas seluruh makhluk. Karena mencintai mereka sebagai bukti kecintaan terhadap Rosulullah shollallahu ‘alaihi wa alihi wasallam, dan mencintai Rosulullah shollallahu ‘alaihi wa alihi wasallam adalah bukti kecintaannya kepada Allah ta'ala.

Lisan Ahlussunnah senantiasa dibasahi dengan sanjungan dan pujian, keridhaan, kasih sayang, serta permohonan ampun atas para shohabat Nabi rodhiyallahu ‘anhum. Di antara keutamaan para shohabat Nabi adalah bahwa mereka adalah sebaik-baik generasi. Hal itu ditegaskan oleh Rosulullah shollallahu ‘alaihi wasallam:

“Sebaik-baik manusia ialah pada generasiku (yakni para Shohabat Nabi), kemudian generasi setelahnya (Tabi’in yakni murid-murid shohabat Nabi), kemudian generasi setelahnya (Tabi’it tabi’in yakni murid-murid Tabi’in)." (HR. Al-Bukhori)

Para shohabat Nabi juga menjadi perantara (penyambung lidah) antara Rosulullah shollallahu ‘alaihi wasallam dengan umatnya dalam menyampaikan risalah. Para shohabat mendiktekan kepada umat keterangan segala hal yang berkenaan dengan ketetapan syariat. Bahkan amdil mereka sangat besar dalam berbagai penaklukan yang bersejarah.

Para shohabat Nabi juga banyak mempelopori keutamaan-keutamaan amalan di tengah umat seperti kejujuran, ketulusan, akhlaq serta adab perilaku yang mulia. Semua itu tidak didapati dari selain mereka.

Nabi shollallahu ‘alaihi wasallam telah memberikan pujian yang khusus terhadap para shohabatnya:

“Janganlah kalian mencela para shohabatku, demi jiwaku yang berada di tangan-Nya; seandainya kalian berinfaq dengan satu gunung Uhud emas sungguh kalian tidak akan dapat menandingi seorang pun dari mereka, tidak setengahnya."

Dalam riwayat ini yang diajak bicara Nabi shollallahu ‘alaihi wasallam ialah Kholid bin Al-Walid, tatkala terjadi percekcokan antara dirinya dengan Abdurrohman bin ‘Auf terkait Bani Juzaimah. Maka Nabi shollallahu ‘alaihi wasallam berkata:

“Janganlah kalian mencela shohabatku…”

Tidak diragukan lagi bahwa Abdurrohman bin ‘Auf dan shohabat yang semisal beliau lebih utama daripada Kholid bin Al-Walid. Sebab Abdurrohman lebih dulu masuk Islam. Maka tidak halal bagi seorangpun mencela para shohabat secara umum, dan tidak halal mencela seorangpun dari mereka secara khusus. Karena mencela para shohabat secara umum adalah bentuk kekafiran, dan tidak ada keraguan dalam menganggap kafir orang yang ragu dalam mengkafirkannya. Adapun jika celaannya secara khusus (terkait pribadi bukan agama), maka perlu dilihat motifnya apa. Terkadang seseorang mencela shohabat Nabi dari sisi fisiknya, atau dari agamanya, atau hal lainnya, maka dalam perkara ini setiap orang dihukumi sesuai dengan jenis kesalahannya.” (Ta’liqot Asy-Syaikh ‘ala Syarh Al-Wasithiyyah)

Al-Ustâdz Fikri Abul Hasan
Artikel manhajul-haq

Tidak ada komentar: