Buku Mukhtashar Shahih Al-Bukhari

Penerbit Darul Haq,
Isi 996 halaman,
Berat 2000 gram.
Penyusun: Al-Imam Zainuddin Ahmad bin Abdul Lathif Az-Zabidi,
Harga Rp. 199.000,-

Ketahuilah bahwa kitab al-jami’ ash-Shahih (Shahih al-Bukhari), karya seorang Imam besar yang tiada bandingannya dan paling dihormati di kalangan para ulama hadits, yaitu: Abu Abdillah Muhammad bin Isma’il bin Ibrahim al-Bukhari rahimahullah, termasuk di antara kitab (karya tulis) paling agung dalam Islam dan paling banyak mendatangkan manfaat.

Hanya saja hadits-hadits yang berulang kali disebutkan di dalamnya terpisah-pisah di sejumlah bab. Apabila seseorang ingin melihat satu hadits dalam bab tertentu, maka hampir-hampir dia tidak menemukan petunjuk kepadanya kecuali setelah melakukan usaha yang berat dan pencarian yang panjang. Dan maksud Imam al-Bukhari dengan itu adalah banyaknya jalan periwayatan dan kemasyhurannya. Sedangkan maksud kami adalah cukup dengan mengambil pokok hadits, karena telah diketahui bahwa semua yang ada di dalamnya shahih.

Buku Mukhtashar Shahih Al-Bukhari

Imam an-Nawawi rahimahullah berkata dalam mukadimah kitab beliau, Syarah Shahih Muslim, “Adapun Imam al-Bukhari, maka beliau menyebutkan jalan-jalan periwayatan (dan lafazh) yang beragam pada bab-bab yang berbeda-beda dan saling berjauhan. Banyak darinya, beliau sebutkan bukan pada bab yang langsung dapat dipahami, bahwa ia berada di dalamnya, sehingga akan sulit bagi seorang penuntut ilmu untuk mengumpulkan jalan-jalan periwayatannya dan mencapai keyakinan dengan semua apa yang beliau sebutkan dari jalan-jalan periwayatan yang bersangkutan.”

Beliau melanjutkan, “Dan saya telah melihat sekelompok ulama hadits dari kalangan muta’akhirin (generasi belakangan) keliru dalam masalah seperti ini, sehingga mereka menafikan adanya riwayat al-Bukhari terkait sejumlah hadits yang sebenarnya tercantum di dalam Shahih beliau, yang memang disebutkan bukan pada tempat yang menurut perkiraan, ia berada di situ.” Demikian penuturan Imam an-Nawawi.

Oleh karena itu, saya ingin mengintisarikan hadits-haditsnya tanpa pengulangan, dan saya jadikan tanpa sanad demi untuk mendekatkan kandunagn hadits tanpa harus bersusah payah. Apabila satu hadits memang disebutkan berulang kali, maka saya cantumkan di tempat pertama. Lalu jika di tempat kedua ada tambahan faidah, maka saya menyebutkannya, dan jika tidak, maka tidak.

Terkadang suatu hadits tercantum secara ringkas, dan di riwayat lain tercantum lebih panjang dan di dalamnya ada tambahan lafazh dibanding yang pertama, maka saya menuliskan (mencantumkan) riwayat yang kedua tersebut dan tidak mencantumkan yang pertama, karena adanya tambahan faidah tersebut, sekalipun jauh. Dan saya tidak menyebutkan kecuali hadits-hadits yang memiliki sanad yang jelas secara muttashil (bersambung).

Sedangkan apa-apa yang terputus, atau diriwayatkan secara mu’allaq, maka saya tidak mencantumkannya (terdapat catatan kaki mengenai hal ini dari penerjemah, pada hal. lvi). Begitu juga khabar-khabar dari para sahabat dan orang-orang sesudah mereka yang tidak memiliki keterkaitan dengan hadits tersebut dan di dalamnya tidak disebutkan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, maka saya tidak menyebutkannya, seperti cerita tentang berjalannya Abu Bakar bersama Umar radhiyallahu ‘anhuma ke Saqifah Bani Sa’idah, dengan segala perkataan yang terjadi di antara mereka berdua di sana.

Begitu pula kisah terbunuhnya Umar, begitu juga perkataan Umar dalam musyawarah, juga pembai’atan Utsman, wasiat Zubair keapda putranya untuk melunasi hutangnya, dan hal-hal semacam itu.

Baarakallahufiik

Tidak ada komentar: