Penjelasan Detail Antara Sunnah dan Bid'ah

Silsilah Fiqih Kitab Al Wajiz fii Fiqhis Sunnah wal kitabil aziz
Karya: Syaikh Abdul Azhim Bin Badawi Al Khalafi

A. Definisi Sunnah

Berbicara tentang pengertian As-Sunnah, kebanyakan orang mengartikannya dengan pengertian yang salah dan kurang bermakna, maka terjadilah disini kesalahan pemahaman, yang seharusnya dapat melakukan amalan berpahala besar tidak jadi melakukannya, karena pendangkalan ilmu. Mereka memahami sunnah dengan arti:

“Apabila dikerjakan memperoleh pahala dan apabila ditinggalkan tidak berdosa dan tidak memperoleh pahala.”

Sunnah yang dimaksud bukanlah sunnah menurut istilah fiqih yang merupakan lawan dari makruh. Jelas pemahaman seperti ini meskipun lahir dari sebagian definisi yang berkembang dalam ilmu fikih, namun apakah harus dimaknai sesempit itu?. Terkadang pemahaman saklek (kaku) seperti ini dapat menggiring seseorang malas untuk mengerjakan suatu amalan yang berpahala besar, bahkan wajib, hanya dengan berasumsi ditinggalkan tidaklah mengapa.

1. Sunnah secara bahasa

Sunnah secara bahasa bermakna metode (at-thoriqoh) (Lisanul ‘Arab 13/226), atu jalan (sabiil). Dapat kita katakan jalan yg baik maupun yg jelek. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:

مَنْ سَنَّ فِى الإِسْلاَمِ سُنَّةً حَسَنَةً فَلَهُ أَجْرُهَا وَأَجْرُ مَنْ عَمِلَ بِهَا بَعْدَهُ مِنْ غَيْرِ أَنْ يَنْقُصَ مِنْ أُجُورِهِمْ شَىْءٌ وَمَنْ سَنَّ فِى الإِسْلاَمِ سُنَّةً سَيِّئَةً كَانَ عَلَيْهِ وِزْرُهَا وَوِزْرُ مَنْ عَمِلَ بِهَا مِنْ بَعْدِهِ مِنْ غَيْرِ أَنْ يَنْقُصَ مِنْ أَوْزَارِهِمْ شَىْءٌ
“Barang siapa yang mencontohkan jalan yang baik di dalam Islam, maka ia akan mendapat pahala dan pahala orang yang mengamalkannya setelahnya tanpa mengurangi pahala mereka sedikit pun. Dan barang siapa yang mencontohkan jalan yang jelek, maka ia akan mendapat dosa dan dosa orang yang mengerjakannya sesudahnya tanpa mengurangi dosa mereka sedikit pun.” (HR. Muslim: 2398)

Antara Sunnah dan Bid'ah

2. Pengertian Sunnah Menurut Syari’at

Sunnah menurut istilah syari’at ialah segala sesuatu yang bersumber dari Nabi shollallohu ‘alaihi wasallam dalam bentuk qaul (ucapan), fi’il (perbuatan), taqrir (penetapan), sifat tubuh serta akhlak yang dimaksudkan dengannya sebagai tasyri’ (pensyari’atan) bagi ummat Islam. (Taisir Musthalahul Hadits hal. 15)

3.Sunnah menurut istilah ahli ushul fiqih (ushuliyun)

Al-Amidi mengatakan: “Apa-apa yang datang dari Rasulullah shollallohu ‘alaihi wasallam berupa dalil-dalil syariat, yang bukan dibaca (maksudnya bukan Al-Qur`an) dan bukan mu’jizat.” (Al-Ihkam 1/169)

4. Sunnah menurut istilah ahli fiqih (fuqaha’)

Sunnah ialah segala sesuatu yang sudah tetap dari Nabi shollallohu ‘alaihi wasallam dan hukumnya tidak fardhu dan tidak wajib, yakni hukumnya sunnah. (Fat-hul Baari (XIII/245-246)

5. Sunnah menurut istilah ulama Salaf

Para ulama Salaf mengatakan bahwa As-Sunnah artinya mengamalkan Al Qur`an dan hadits serta mengikuti para pendahulu yang shalih sertaber-ittiba’(Meneladani) dengan jejak mereka. (Al-Hujjah fi Bayanil Mahajjah, 2/428, Ta’zhimus Sunnah, hal. 18)

Ibnu Rajab radhiyallahu ‘anhu menjelaskan bahwa yang dimaksud dengan As Sunnah pada asalnya adalah jalan yang ditempuh, dan itu meliputi sikap berpegang teguh dengan apa yang dijalani oleh Nabi shollallohu ‘alaihi wasallam dan para khalifahnya baik berupa keyakinan, amalan, maupun ucapan. Dan inilah makna As Sunnah secara sempurna. (Jami’ul ‘Ulum wal Hikam, hadits no. 28)

6. Sunnah menurut istilah ulama ahli hadits.

Yaitu apa yang diriwayatkan dari Nabi shollallohu ‘alaihi wasallam, baik berupa perkataan, perbuatan, taqriir (ketetapan) beliau shollallohu ‘alaihi wasallam, sifat jasmani, atau sifat akhlak, perjalanan setelah bi’tsah (diangkat sebagai Nabi), dan terkadang masuk juga sebagian sebelum bi`tsah. Sehingga arti as-Sunnah di sini semakna dengan al-Hadits.

Contoh-contoh dari definisi Sunnah yang dibawakan oleh ahli hadits antara lain:

Hadits qauli (Sunnah dalam bentuk ucapan) ialah segala ucapan Nabi shollallohu ‘alaihi wasallam yang ada hubungannya dengan tasyri’, sebagaimana sabda Nabi shollallohu ‘alaihi wasallam:

“Di antara kebaikan Islam seseorang ialah meninggalkan apa-apa yang tidak bermanfaat baginya.” HR. At-Tirmidzi (no. 2317), Ibnu Majah (no. 3976)

Dari Abu Huroiroh radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah shollallohu ‘alaihi wasallam bersabda: “Cukur habislah kumis dan biarkanlah (peliharalah) jenggot.” (HR. Bukhari no. 5893) Dari Abu Hurairah t, Rasulullah shollallohu ‘alaihi wasallam bersabda: “Bagian kain sarung yang terletak di bawah kedua mata kaki berada di dalam neraka.” (HR. al-Bukhori, no. 5787)

Hadits fi’li (Sunnah yang berupa perbuatan) ialah segala perbuatan Nabi shollallohu ‘alaihi wasallam yang diberitakan oleh para Shahabatnya radhiyallahu ‘anhumtentang wudhu’, shalat, haji, dan selainnya.

Contoh: Dari ‘Utsman bin ‘Affan bahwasanya Nabi shollallohu ‘alaihi wasallam (apabila berwudhu’), beliau menyela-nyela jenggotnya. HR. At-Tirmidzi (no. 31), Ibnu Majah (no. 430), Shahih Ibnu Majah (no. 345)

Hadits taqriri ialah segala perbuatan Shahabat yang diketahui oleh Nabi shollallohu ‘alaihi wasallam dan beliau shollallohu ‘alaihi wasallam membiarkannya (sebagai tanda setuju) dan tidak mengingkarinya.

Contoh: Dari Shahabat Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu “Nabi shollallohu ‘alaihi wasallam bersabda kepada Bilal radhiyallahu ‘anhu setelah selesai shalat Shubuh, ‘Wahai Bilal, kabarkanlah kepadaku sebaik-baik amalan yang telah engkau kerjakan dalam Islam, karena aku telah mendengar suara terompahmu di dekatku di Surga?’ Ia menjawab, ‘Sebaik-baik amal yang aku kerjakan ialah, bahwa setiap kali aku berwudhu’ siang atau malam mesti dengan wudhu’ itu aku shalat (sunnah) beberapa raka’at yang dapat aku laksanakan.” (HR. Al-Bukhari: 1149 dan Muslim: 2458)

Atau kisah dua Shahabat yang melakukan safar, keduanya tidak menemukan air (untuk wudhu’) sedangkan waktu shalat sudah tiba, lalu keduanya bertayammum dan mengerjakan shalat, kemudian setelah selesai shalat mereka menemukan air sedang waktu shalat masih ada, maka salah seorang dari keduanya mengulangi wudhu’ dan shalatnya, kemudian keduanya mendatangi Rasulullah shollallohu ‘alaihi wasallam dan menceritakan kejadian itu. Lalu beliau shollallohu ‘alaihi wasallam bersabda kepada Shahabat yang tidak mengulangi shalatnya, “Engkau telah berbuat sesuai dengan Sunnah.” Dan kepada yang lain (Shahabat yang mengulangi shalatnya), beliau shollallohu ‘alaihi wasallam bersabda, “Engkau mendapatkan dua ganjaran.” (HR. Abu Dawud: 338-339, an-Nasa-i: I/213 dari Abu Sa’id al-Khudri radhiyallahu ‘anhu)

Sifat khuluqiyyah adalah sesuatu yang disampaikan para sahabat berkaitan dengan bagaimana akhlak, perilaku, dan perangai Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam. Sebagaimana di saat Aisyah radhiyallahu ‘anha ditanya ihwal akhlak Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, beliau pun menjawab,

“Akhlak Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam adalah Alquran.” (HR. Muslim, no. 1773)

Sedangkan sifat khalqiyyah ia adalah sesuatu yang disampaikan oleh para sahabat berkenaan dengan sifat fisik Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam. Seperti yang disebutkan dalam beberapa hadis bahwa Rasulullah itu berbadan sedang, tidak tinggi dan tidak pula pendek. Diceritakan pula bahwa wajah beliau putih, bak rembulan. Juga dikabarkan bahwa Rasulullah seperti ini dan seperti itu, sebagaimana yang diriwayatkan tentang sifat fisik beliau.

Syaikhul Islam Ibnu Timiyah rahimahullah menyatakan : “Sunnah adalah sesuatu yang ditegakkan di atas dalil syari’at, yakni ketaatan kepada Allah dan RasulNya, baik itu perbuatan beliau, atau perbuatan yang dilakukan di masa hidup beliau, atau belum pernah beliau lakukan dan tidak pula pernah dilakukan di masa hidup beliau karena pada masa itu tidak ada hal yang mengharuskan itu dilakukan pada masa hidup beliau, atau karena ada hal yang menghalanginya”. [Majmu’ Al-Fatawa oleh Ibnu Taimiyah XXI : 317]

Dari beberapa penjelasan di atas, jelaslah bagi kita makna Sunnah yang sebenarnya. Dengan demikian pengertian itu, berarti adalah mengikuti jejak Rasulullah shollallohu ‘alaihi wasallam secara lahir dan batin, dan mengikuti jalan hidup orang-orang terdahulu dari generasi awal umat ini dari kalangan Al-Muhajirin dan Al-Anshar.

Lalu apa jadinya jika seseorang menggunakan makna as-sunnah dengan makna “mendapatkan pahala jika melakukannya dan tidak mendapatkan pahala bila tidak melakukannya?”. Tentu orang akan mempermudah dalam urusan agama bisa jadi sunnah Nabi shollallohu ‘alaihi wasallam hilang sedikit demi sedikit darinya bahkan hal-hal baru dalam agama (bid'ah) akan muncul. Allahua'lam.

Ditulis oleh: Saryanto Abu Ruwaifi' hafizhahullah
repost Pustaka Sunniyyah (0815-6769-0926)

Tidak ada komentar: