Ibnul Qoyyim -rohimahulloh- mengatakan:
Seorang hamba, karena dia jahil dengan maslahat dirinya, dan karena dia jahil dengan kedermawanan Robbnya, hikmah-Nya, dan kehalusan-Nya; sehingga dia tidak tahu selisih antara sesuatu yang tidak dia dapatkan (di dunia ini), dengan sesuatu yang disimpankan untuknya (di akherat nanti) .
Sebaliknya, dia terbiasa menyenangi sesuatu yang 'disegerakan' meskipun murahan, dan kurang senang dengan sesuatu yang 'ditunda' meskipun berharga tinggi.
Seandainya seorang hamba itu obyektif terhadap Robbnya -tapi bagaimana itu akan terjadi-, tentu dia akan tahu bahwa karunia Allah ketika Dia menghalanginya dari dunia dan kenikmatannya, itu lebih agung daripada karunia-Nya saat Dia memberinya dunia dan kenikmatannya.
Karena tidaklah Dia menghalanginya (dari hal itu), melainkan karena Dia ingin memberinya. Tidaklah Dia mengujinya, melainkan karena Dia ingin menyelamatkannya.
Tidaklah Dia memberi cobaan padanya, melainkan karena dia ingin membersihkannya. Tidaklah Dia mematikannya, melainkan karena Dia ingin menghidupkannya.
Tidaklah Dia mengeluarkannya ke dunia ini, melainkan karena Dia ingin agar dia waspada terhadap dunia untuk menghadap kepada-Nya, dan agar dia meniti jalan yang dapat menyampaikannya kepada-Nya.
(Allah berfirman yang artinya):
"Maka Dia menjadikan malam dan siang sebagai pelajaran bagi orang yang mau mengingat atau mau bersyukur", "Dan kaum yang zalim itu tidaklah menghendaki kecuali kekufuran", wallohul mustaan. [Kitab Al-Fawaid, hal: 57].
Intinya : Tingkatlah ilmu agama kita.. Ilmu tentang Allah dan apa saja yang baik bagi kita di akherat kelak.
Sehingga kita tidak terbuai dengan dunia yang selalu menggoda mata.. wallohul mustaan.
Ustadz Dr. Musyaffa’ Ad Dariny, MA
Dewan Pembina Yayasan Risalah Islam
Seorang hamba, karena dia jahil dengan maslahat dirinya, dan karena dia jahil dengan kedermawanan Robbnya, hikmah-Nya, dan kehalusan-Nya; sehingga dia tidak tahu selisih antara sesuatu yang tidak dia dapatkan (di dunia ini), dengan sesuatu yang disimpankan untuknya (di akherat nanti) .
Sebaliknya, dia terbiasa menyenangi sesuatu yang 'disegerakan' meskipun murahan, dan kurang senang dengan sesuatu yang 'ditunda' meskipun berharga tinggi.
Seandainya seorang hamba itu obyektif terhadap Robbnya -tapi bagaimana itu akan terjadi-, tentu dia akan tahu bahwa karunia Allah ketika Dia menghalanginya dari dunia dan kenikmatannya, itu lebih agung daripada karunia-Nya saat Dia memberinya dunia dan kenikmatannya.
Karena tidaklah Dia menghalanginya (dari hal itu), melainkan karena Dia ingin memberinya. Tidaklah Dia mengujinya, melainkan karena Dia ingin menyelamatkannya.
Tidaklah Dia memberi cobaan padanya, melainkan karena dia ingin membersihkannya. Tidaklah Dia mematikannya, melainkan karena Dia ingin menghidupkannya.
Tidaklah Dia mengeluarkannya ke dunia ini, melainkan karena Dia ingin agar dia waspada terhadap dunia untuk menghadap kepada-Nya, dan agar dia meniti jalan yang dapat menyampaikannya kepada-Nya.
(Allah berfirman yang artinya):
"Maka Dia menjadikan malam dan siang sebagai pelajaran bagi orang yang mau mengingat atau mau bersyukur", "Dan kaum yang zalim itu tidaklah menghendaki kecuali kekufuran", wallohul mustaan. [Kitab Al-Fawaid, hal: 57].
Intinya : Tingkatlah ilmu agama kita.. Ilmu tentang Allah dan apa saja yang baik bagi kita di akherat kelak.
Sehingga kita tidak terbuai dengan dunia yang selalu menggoda mata.. wallohul mustaan.
Ustadz Dr. Musyaffa’ Ad Dariny, MA
Dewan Pembina Yayasan Risalah Islam
Tidak ada komentar: