Pelajaran Di Balik Kisah Jenazah Danial ‘Alaihissalam

Pada masa kekhalifahan ‘Umar, dengan rahmat Allah terwujudlah pembebasan Kota Tustar yang ketika itu merupakan ibukota kerajaan Khurmuzan.

Abul ‘Aliyah mengisahkan (sebagaimana dikutip oleh Muhammad bin Ishaq dalam kitabnya Siiroh wal Maghaazi, dengan sanad yang shahih sampai ke Abul ‘Aliyah); bahwa di dalam ruang penyimpanan harta kerajaan, prajurit muslimin ketika itu menemukan jenazah seorang laki-laki yang masih utuh.

Disebutkan bahwa usia jenazah tersebut telah mencapai 300 tahun, namun jenazahnya tidak membusuk sedikitpun. Di samping kepala jenazah tersebut ada sebuah mushaf bertuliskan kalimat dalam bahasa Khurmuzan. Abul ‘Aliyah lantas mengirim mushaf tersebut kepada Amirul Mukminin ‘Umar bin al-Khattab sekaligus mengabarkan kepada beliau perihal jenazah yang mereka temukan.

Setelah isi mushaf ditelaah dan diterjemahkan, ternyata di dalamnya terdapat kabar-kabar tentang kehidupan di akhirat, tentang surga dan neraka, juga tentang kabar Rasulullah bersama para Sahabatnya.

Pelajaran Di Balik Kisah Jenazah Danial ‘Alaihissalam

Ada yang bertanya; kenapa mereka menyimpan jenazah laki-laki itu dalam Baitul Maal mereka. Di jawab;

كان إذا حُبِس المطر أبرزوا سريره فَسُقُوا
"Jika terjadi paceklik dan kekeringan di negeri tersebut, mereka mengeluarkan jenazah itu ke tanah lapang. Tiba-tiba saja langit menurunkan air hujan."

Subhaanallaah..!!

Ini fitnah sekaligus ujian dari Allah bagi mereka.

Ujian; siapakah yang layak dijadikan Ilaah, siapakah tempat memohon pertolongan di kala genting, Allah…?? Atau mayit…??

Ini adalah ujian; siapakah tempat kita menggantungkan hati dan harapan kita. Kepada Allah…?? Atau kepada mayit…??

Ini mirip dengan ujian di akhir zaman kelak, ketika Dajjal keluar, dia perintahkan langit turunkan hujan. Langit pun menurunkan hujannya. Ujian ketauhidan yang sangat dahsyat, boleh jadi kitapun tak sanggup menahan ujian seperti ini. Boleh jadi kita akan kembali menjadi musyrik jika bertemu dengan ujian seperti ini.

al-Hafizh Ibnul Qayyim rahimahullah bahkan sampai mengomentari kisah jenazah Baitul Maal Khurmuzan ini dengan mengatakan:

لو وجد مثل هذا أهل الضلال لتجالدوا عليه بالسيوف
“Andai orang-orang sesat (di zaman ini) mendapati yang semisal dengan jenazah laki-laki ini, niscaya mereka akan saling mengayunkan pedang satu sama lain untuk memperebutkan jenazah tersebut (agar mereka bisa membangun kubah di atas kuburannya untuk diagungkan dan dikultuskan serta dijadikan tempat perayaan)”

Kita kembali pada kisah di atas.

Tidak menunggu waktu lama, bahkan tidak menunggu proses pengalihan harta kerajaan Khurmuzan menjadi perbendaharaan Baitul Maal kaum muslimin, ‘Umar segera memberikan titahnya terkait jenazah tersebut.

Abul ‘Aliyah yang ketika itu bersama prajurit kaum muslimin mengisahkan;

فجئنا بالليل وحفرنا له ثلاثة عشر قبرا متباينة
"Kami menunggu malam yang gelap. Lantas kami menggali 13 liang lahat yang berjauhan untuk dijadikan sebagai kuburan.

Kami kuburkan jenazah tersebut di salah satu liang lahat, lalu kami timbun kembali ke-13 liang lahat tersebut dan kami jadikan semuanya rata dengan tanah."

Ketika Abul ‘Aliyah ditanya siapa jenazah laki-laki tersebut, beliau menjawab; dia adalah seorang Nabi atau laki-laki shalih bernama Danial.

al-Haafizh Ibnu Katsir rahimahullah juga meriwayatkan kisah ini dalam al-Bidaayah wan-Nihaayah, dan beliau mengatakan sanad riwayat ini shahih.

Apa tujuan utama di balik sikap para Sahabat tersebut?

Kenapa mereka sampai menggali 13 lubang, lalu menguburkan mayit di salah satu lubang, lalu mereka ratakan dengan tanah, dan kenapa mereka lakukan itu di tengah malam yang gelap??

Agar tak ada yang mengetahui di mana jenazah tersebut dikuburkan. Tidak lain demi memutus secara total setiap tali yang bisa menjadi penghubung menuju kesyirikan.

Demikianlah, betapa faqih-nya para sahabat. Mereka adalah orang-orang yang ‘alim tentang tauhid, mengetahui bahaya kesyirikan, tidak tertipu dengan bisikan syaitan yang menghiasi kesyirikan seolah-olah terlihat benar.

Kenapa ‘Umar memerintahkan demikian sebelum perintah yang lain?

Karena urusan tauhid adalah yang pertama dan utama di mata Allah dan Rasul-Nya. Karena ‘Umar tahu, sekeji-keji dosa dan kejahatan yang dilakukan oleh seorang manusia, tidak ada yang lebih keji, lebih jahat dari dosa kesyirikan kepada Allah.

Allah bahkan mengancam Rasul yang paling dicintai-Nya, Muhammad ﷺ:

وَلَقَدْ أُوحِيَ إِلَيْكَ وَإِلَى الَّذِينَ مِنْ قَبْلِكَ لَئِنْ أَشْرَكْتَ لَيَحْبَطَنَّ عَمَلُكَ وَلَتَكُونَنَّ مِنَ الْخَاسِرِينَ
“Dan sungguh, telah diwahyukan kepadamu dan kepada (nabi-nabi) yang sebelummu, “Sungguh, jika engkau mempersekutukan (Allah), niscaya akan hapuslah amalmu dan tentulah engkau termasuk orang yang rugi.” (QS. Az-Zumar: 65)

Jika Rasul saja diancam Allah kalau berbuat syirik, maka apakah kita pantas merasa aman dari kesyirikan??

Ibnu Mas’ud meriwayatkan:
سألتُ رسولَ اللَّهِ صلَّى اللَّهُ عليه وسلَّمَ : أيُّ الذنبِ أعظمُ عندَ اللَّهِ ؟ قال أن تجعلَ للَّهِ نِدًّا وهو خلَقَك قال قلتُ له : إنَّ ذلك لعظيمٌ . قال قلتُ : ثم أيُّ ؟ قال : ثمَّ أن تقتُل ولدَك مخافَةَ أن يطعَمَ معَكَ قال قلتُ : ثمَّ أيُّ ؟ قال ثمَّ أن تُزانِيَ حليلَةَ جارِكَ .
“Aku bertanya kepada Rasulullah ﷺ; dosa apakah yang paling besar di sisi Allah?

Beliau menjawab: "engkau buatkan Allah tandingan (dengan makhluk-Nya) sementara Dia yang menciptakanmu."

Aku berkata: "sungguh itu amat dahsyat."

Aku bertanya: "kemudian dosa apa lagi (setelahnya)?"

Beliau menjawab: "engkau membunuh anakmu gara-gara takut dia mengambil jatah makanmu."

Aku bertanya lagi: "kemudian dosa apa lagi?"

Beliau menjawab: "engkau berzina dengan istri tetanggamu.” [al-Bukhari: 4477, Muslim: 86]

Jika nurani kita tak sanggup menerima pembunuhan seorang bapak kepada anaknya gara-gara takut kurang makan, maka seharusnya kita lebih tak sanggup lagi melihat atau mendengar ada manusia berbuat syirik kepada Allah. Sebab dosa syirik jauh lebih dahsyat dibanding dosa-dosa besar lainnya.

Jika kita menganggap zina dengan istri tetangga adalah perbuatan bejat tak bermoral, maka camkanlah bahwa syirik jauh lebih bejat dan tidak bermoral dibanding itu.

Allah berfirman mengisahkan keluh kesah Ibrahim ‘alaihissalam kepada-Nya:

وَإِذْ قَالَ إِبْرَاهِيمُ رَبِّ اجْعَلْ هَٰذَا الْبَلَدَ آمِنًا وَاجْنُبْنِي وَبَنِيَّ أَنْ نَعْبُدَ الْأَصْنَامَ
Dan (ingatlah), ketika Ibrahim berdoa, “Ya Tuhan, jadikanlah negeri ini (Mekah), negeri yang aman, dan jauhkanlah aku beserta anak cucuku agar tidak menyembah berhala.

رَبِّ إِنَّهُنَّ أَضْلَلْنَ كَثِيرًا مِنَ النَّاسِ ۖ فَمَنْ تَبِعَنِي فَإِنَّهُ مِنِّي ۖ وَمَنْ عَصَانِي فَإِنَّكَ غَفُورٌ رَحِيمٌ
Ya Tuhan, berhala-berhala itu telah menyesatkan banyak dari manusia. Barangsiapa mengikutiku, maka orang itu termasuk golonganku, dan barang-siapa mendurhakaiku, maka Engkau Maha Pengampun, Maha Penyayang. (QS. Ibrahim: 35-36)

Inilah rasa yang hilang dari kita. Rasa cemburu dan marah saat Allah disekutukan.

Kita tidak marah saat mendengar ada kuburan diagungkan, atau ada upacara sesaji kepala kerbau dilarungkan ke laut.

Kita tidak peduli jika di kampung kita masih ada praktek perdukunan. Kita tidak risau saat mengetahui ada keluarga kita yang masih bergantung kepada selain Allah. Sungguh ini tanda tidak bersyukur terhadap nikmat.

Kita dijadikan mengenal tauhid dan sunnah, adalah nikmat yang terbesar. Tidak mengkajinya terus menerus, tidak mendakwahkannya, adalah tanda kita belum mensyukuri nikmat Tauhid dan Sunnah.

Maka dikuatirkan Allah akan mencabut nikmat tauhid dan sunnah ini dari hati-hati kita semua. Bukan tidak mungkin.

Abu Thalib yang mengasuh dan membela Nabi saja dicegah dari tauhid, bukan tidak mungkin tauhid itu Allah cabut dari hati-hati kita.

ذَٰلِكَ بِأَنَّ اللَّهَ لَمْ يَكُ مُغَيِّرًا نِعْمَةً أَنْعَمَهَا عَلَىٰ قَوْمٍ حَتَّىٰ يُغَيِّرُوا مَا بِأَنْفُسِهِمْ ۙ وَأَنَّ اللَّهَ سَمِيعٌ عَلِيمٌ
“Yang demikian itu karena sesungguhnya Allah tidak akan mengubah suatu nikmat yang telah diberikan-Nya kepada suatu kaum, hingga kaum itu mengubah apa yang ada pada diri mereka sendiri (manakala mereka telah berubah, tidak mensyukuri nikmat tersebut, maka Allah akan mencabut nikmat tersebut dari mereka-pen). Sungguh, Allah Maha Mendengar, Maha Mengetahui,” (QS. Al-Anfal: 53)

Ustadz Johan Saputra Halim, M.H.I
www.alhujjah.com

Tidak ada komentar: