Sebelum reformasi ekonomi thn 80an, rezim Maoist di China membatasi migrasi penduduk desa ke kota; mereka dipaksa tinggal di desa untuk memenuhi kebutuhan pangan akibat ledakan jumlah penduduk antara 1950-1970. Akan tetapi hal itu berubah sejak thn 1978, dimana sampai 2014 terjadi migrasi 200jt manusia dari desa ke kota, yg merupakan migrasi terbesar dalam sejarah peradaban manusia.
Tapi tahukah anda? Migrasi inilah yg menjadi satu faktor penentu kemajuan ekonomi China seperti yg kita lihat saat ini. Migrasi ini menyediakan tenaga kerja murah bagi industri yg terkonsentrasi di kota2 pesisir. Inilah yg menyebabkan China mampu menjual produk2 dengan harga murah. Di sisi lain, tenaga kerja murah juga menarik manufacturer asing (eropa) bekerjasama memproduksi barang2 berlabel 'made in europe' di China. Jaman sekarang hampir tak ada perusahaan terkemuka di dunia yg tak memiliki workshop ataupun keterkaitan dengan produsen di China. Ini pulalah yg mendorong alih teknologi dan pada gilirannya mempercepat pertumbuhan industri di China secara keseluruhan.
Namun demikian, migrasi atau urbanisasi bukan satu2nya faktor penguat ekonomi China. Faktor lain yg tak kalah pentingnya adalah kualitas infrastruktur. Dan China memberi perhatian sangat serius untuk urusan satu ini. Menurut World Bank, di tahun 1993 nilai investasi infrastruktur China sebesar 6.5% dari total GDP-nya. Ini saja sudah diatas rerata di negara berkembang yg cuma 4% GDP. Tahun 2009, investasi infrastruktur di sektor energi, transportasi, telkom, sanitasi dan manajemen air mencapai 15-20% GDP.
Hasilnya? China yg terkategori negara miskin selevel Zambia di Afrika thn 80an, menjelma menjadi raksasa dunia; GDP growth-nya 10% sd thn 2014. GDP-nya naik 49 kali lipat: 155 dollars (1978) sd 7590 dollars (2014). 800 juta orang keluar dari kemiskinan dan bisa dikatakan tak ada lagi kemiskinan ditemui di kota utama di China. China lifted more people out of poverty than any other country.
Apa hikmah dari 'success story' china itu? Lihatlah fakta di sekitar kita, (salah satunya selepas lebaran) terjadi migrasi pergerakan manusia yg cukup signifikan dari desa atau seluruh pelosok di indonesia. Migrasi ini seperti yg dulu terjadi di China juga dimotivasi kemiskinan dan tentunya kesenjangan ekonomi desa-kota. Karenanya pembangunan infrastruktur yg gencar dilakukan saat ini harus dilihat sebagai upaya positif pemerintah untuk mendorong tumbuhnya investasi dan industri, yg pada gilirannya akan menyerap banyak tenaga kerja.
Sederhana saja logikanya, infrastuktur yg baik akan membangkitkan minat siapa saja untuk memulai usaha; industri, perdagangan, jasa dll. Ingat! Dulu sebelum ada jaringan internet, tak ada yg namanya bakulan online, tak ada bisnis kurir, tak ada semisal gofood dll. Ini adalah contoh sederhana, infrastruktur menjadi 'precursor' pertumbuhan ekonomi.
Memang tak mudah mewujudkannya di Indonesia ... Why? Karena berbeda dengan China yg tak mengenal demokrasi, di Indonesia yg sudah kadung mabok demokrasi, ruang gerak pemerintah akan terbelenggu oleh dua kepentingan, yaitu 'hutang budi pada yg pro' dan yg paling berat adalah 'menjinakkan celathu yg kontra'. Alih-alih untuk membangun, energi habis untuk berdebat bahkan tawuran yg berujung kerusakan.
Memang tak mudah mewujudkannya di Indonesia ... Why? Karena berbeda dengan China yg tak mengenal demokrasi, di Indonesia yg sudah kadung mabok demokrasi, ruang gerak pemerintah akan terbelenggu oleh dua kepentingan, yaitu 'hutang budi pada yg pro' dan yg paling berat adalah 'menjinakkan celathu yg kontra'. Alih-alih untuk membangun, energi habis untuk berdebat bahkan tawuran yg berujung kerusakan.
Pembangunan juga kadang terbelenggu politik balas budi, terkendala masalah HAM, demo dll. Inilah bukti lain keburukan demokrasi, yg sangat tidak cocok diterapkan di negara berkembang seperti indonesia; setidaknya sampai orang berhenti rasa-rasaan ... enol satu keq, enol dua keq. Sanggup?
katon kurniawan
katon kurniawan
Tidak ada komentar: