Kisah Syaikh Ibnu Baz Dengan Seorang Pelajar Yaman
Muhammad Syabibah menuturkan :
Seorang pelajar asal Provinsi al-Juf, Yaman, yang bernama ‘Ali pindah ke Kerajaan Arab Saudi untuk menuntut ilmu. Suatu hari, al-Akh Ali ini bercerita kepadaku :
Saya pernah bertemu dengan Syaikh Ibnu Bâz di depan halaman Universitas, lalu saya segera menyalami beliau dan mengatakan : “Wahai Syaikh, saya benar-benar ingin sekali sekiranya Anda sudi makan malam denganku malam ini.”
Tak kusangka, Syaikh pun menjawab : “Baik, insya Allah!”
Syaikh lalu menambahkan : “Tapi dengan satu syarat, wahai anakku!”
Saya pun menimpali : “Dengan senang hati, Ya syaikh…”
Syaikh mengatakan : “Kita makan malam bareng tapi dengan syarat, jangan sampai kamu terbebani dan repot. Kita makan seadanya. Ingat, orang Islam wajib menjaga persyaratan yang ia sepakati.”
Saya menjawab : “Baiklah wahai syaikh. Saya akan menyiapkan makanan seadanya dan tidak repot.”
Syaikh Ibnu Bâz berkata : “Semoga Allâh memberkahimu! Bisakah kita makan malamnya selepas Isya’ namun agak terlambat sedikit ya? Karena saya ada janji sebentar setelah Isya’ untuk memberikan pelajaran.”
Saya : “Baik, syaikh”
Saya terperangan mendengar jawaban Syaikh. Jawaban yang sangat langka sekali dan tidak biasanya. Karena pada umumnya, saat kita mengundang orang sedangkan orang tersebut sudah memiliki acara lain, maka dia akan meminta maaf tidak bisa memenuhi undangan kita, apalagi orang selevel Syaikh Ibnu Bâz yang sangat sibuk. Terlebih lagi yang mengundang adalah mahasiswa asing yang tidak dikenal dan tidak memiliki apa-apa.
Setelah itu, rasa khawatir beberapa kali menghampirku, karena Syaikh memiliki murid yang banyak. Beliau selalu dikerumuni banyak orang, belum lagi keluarga beliau yang selalu mendampinginya. Bagaimana jika mereka semua turut serta makan di rumahku? Ya Allâh, Saya pun sempat resah karena hal ini…
Esok harinya, selepas sholat Isya, Syaikh memanggilku untuk menyertainya masuk ke dalam mobil. Saya pun naik mobil berdua saja dengan beliau bersama seorang lagi, yaitu sopir beliau. Saya berusaha melihat sekeliling, namun tidak kudapati ada orang lain lagi. Saya juga menengok ke luar mobil untuk melihat apakah ada mobil lain yang ikut dengan kita. Ternyata tidak ada.
Saya pun bersyukur dan bergumam dalam hati : “alhamdulillah, ternyata hanya Syaikh saja dan sopir beliau”.
Sang sopir lalu menyetir mobil mengantarkan kami hingga kami memasuki sebuah istana yang besar dan luas. Saya berbisik di dalam hati, “jangan-jangan ini rumah pedagang besar atau Menteri kerajaan.”
Saya pun terkejut ketika mobil berhenti, dan kami masuk ke istana yang sangat besar sedangkan di dalamnya telah menanti Raja Fahd berikut putera mahkota beliau, Raja Abdullah dan Amir Sulthan. Ada pula Amir Nayif rahimahullahu dan para bangsawan keluarga kerajaan. Mereka semua menyalami dan menyambut Syaikh dengan gembira, sembari mencium kening Syaikh Ibnu Bâz.
Semua wajah yang biasa kulihat di televisi, kini kulihat semuanya di malam itu secara langsung di dalam Istana!! Saya pun semakin berdebar-debar tidak karuan.
Lalu syaikh Ibnu Bâz duduk di atas kursi beliau di samping Raja dan putera mahkota. Mereka saling menyapa dan menanyakan kabar satu dengan lainnya, menawarkan kopi dan membakar gaharu yang wangi.
Syaikh lalu bertahmid dan memuji Allah, kemudian beliau memberikan taushiyah selama kurang lebih 20 menit. Majlis beliau diikuti dengan penuh ketundukan dan konsentrasi, semuanya diam mendengarkan seakan-akan mereka semua adalah murid Syaikh Ibnu Bâz.
Kecuali diriku yang saat itu tidak bisa konsen karena grogi, saya memandangi Raja, lalu pindah memandangi putera mahkota dan pangeran, lalu pindah memandangi para Menteri. Mata saya selalu berputar-putar memandangi Raja Nayif, Raja Salman dan bangsawan lainnya. Saya merasa seakan-akan saya sedang mimpi!
Mungkin, sayalah satu-satunya di sana yang hadir dengan memakai pakaian ala kadarnya, padahal saya saat itu sedang bertemu dengan tiga kabilah besar dari kaum bangsawan dan kerajaan. Ya, Saya sekarang sedang bermajelis, duduk di depan bersama dengan raja, pangeran, para menteri dan pembesar kerajaan?!
Setelah selesai menyampaikan taushiyah, Syaikh pun bangkit dan minta izin untuk mohon diri. Raja Fahd pun menahan beliau agar turut serta santap malam yang telah disediakan… Namun, Syaikh Ibnu Bâz memohon maaf dan mohon izin. Raja tetap bersikeras memaksa agar Syaikh mau turut serta makan malam.
Syaikh sama sekali tidak menyinggung dan menginformasikan ke Raja bahwa saya lah yang mengundang beliau. Sekiranya beliau menyampaikan bahwa saya yang mengundang, niscaya Raja akan menjawab. “yang mengundang anda ada di sini bersama anda. Karena itu marilah anda dan tamu anda ini makan bersama kami.” Sehingga udzur Syaikh pun gugur, dan kita bisa bersama-sama menyantap makanan yang lezat dan nikmat.
Namun Syaikh tidak melakukan itu. Beliau tetap meminta izin untuk pamit. Lalu raja dan pembesar kerajaan mengantarkan Syaikh berpamitan, mereka melakukannya dengan penghormatan sama persis sebagaimana mereka menyambutnya. Akhirnya kami bertiga pun bertolak pulang menuju ke rumahku. Lalu kita makan malam bersama secara sederhana.
Saya berbicara apa adanya di sini, bahwa Syaikh Ibnu Bâz sudi memberikan waktunya untukku. Beliau lebih memilih undangan makanku yang sangat sederhana dibandingkan hidangan kerajaan yang jauh lebih nikmat dan lezat. Beliau lebih memilih memenuhi janjinya, padahal beliau sudah ada janji dengan keluarga kerajaan. Namun beliau lebih memilih undangan makan malamku, padahal siapa saya ini? Orang asing yang tidak dikenal! Orang biasa yang berasal dari desa al-Juf di Yaman sana.
Duhai, betapa agungnya tawadhu’nya orang-orang yang besar (senior).
Semoga Allah merahmati ‘allamah dunia, imamnya para ulama dan syaikhnya umat. Seorang ustadz yang betapa tawadhu’ dan zuhudnya…
________
Disadur secara bebas dari tulisan yang berjudul قصة الشيخ بن باز في ضيافة الرجل اليمني صاحب الجوف!!
Yang ditulis oleh Muhammad Syabibah.
Artikel asli dishare oleh Syaikh Walid Saifun Nashr di dalam grup beliau : Nashâ’ih asy-Syaikh al-Walîd
abinyasalma
Muhammad Syabibah menuturkan :
Seorang pelajar asal Provinsi al-Juf, Yaman, yang bernama ‘Ali pindah ke Kerajaan Arab Saudi untuk menuntut ilmu. Suatu hari, al-Akh Ali ini bercerita kepadaku :
Saya pernah bertemu dengan Syaikh Ibnu Bâz di depan halaman Universitas, lalu saya segera menyalami beliau dan mengatakan : “Wahai Syaikh, saya benar-benar ingin sekali sekiranya Anda sudi makan malam denganku malam ini.”
Tak kusangka, Syaikh pun menjawab : “Baik, insya Allah!”
Syaikh lalu menambahkan : “Tapi dengan satu syarat, wahai anakku!”
Saya pun menimpali : “Dengan senang hati, Ya syaikh…”
Syaikh mengatakan : “Kita makan malam bareng tapi dengan syarat, jangan sampai kamu terbebani dan repot. Kita makan seadanya. Ingat, orang Islam wajib menjaga persyaratan yang ia sepakati.”
Saya menjawab : “Baiklah wahai syaikh. Saya akan menyiapkan makanan seadanya dan tidak repot.”
Syaikh Ibnu Bâz berkata : “Semoga Allâh memberkahimu! Bisakah kita makan malamnya selepas Isya’ namun agak terlambat sedikit ya? Karena saya ada janji sebentar setelah Isya’ untuk memberikan pelajaran.”
Saya : “Baik, syaikh”
Saya terperangan mendengar jawaban Syaikh. Jawaban yang sangat langka sekali dan tidak biasanya. Karena pada umumnya, saat kita mengundang orang sedangkan orang tersebut sudah memiliki acara lain, maka dia akan meminta maaf tidak bisa memenuhi undangan kita, apalagi orang selevel Syaikh Ibnu Bâz yang sangat sibuk. Terlebih lagi yang mengundang adalah mahasiswa asing yang tidak dikenal dan tidak memiliki apa-apa.
Setelah itu, rasa khawatir beberapa kali menghampirku, karena Syaikh memiliki murid yang banyak. Beliau selalu dikerumuni banyak orang, belum lagi keluarga beliau yang selalu mendampinginya. Bagaimana jika mereka semua turut serta makan di rumahku? Ya Allâh, Saya pun sempat resah karena hal ini…
Esok harinya, selepas sholat Isya, Syaikh memanggilku untuk menyertainya masuk ke dalam mobil. Saya pun naik mobil berdua saja dengan beliau bersama seorang lagi, yaitu sopir beliau. Saya berusaha melihat sekeliling, namun tidak kudapati ada orang lain lagi. Saya juga menengok ke luar mobil untuk melihat apakah ada mobil lain yang ikut dengan kita. Ternyata tidak ada.
Saya pun bersyukur dan bergumam dalam hati : “alhamdulillah, ternyata hanya Syaikh saja dan sopir beliau”.
Sang sopir lalu menyetir mobil mengantarkan kami hingga kami memasuki sebuah istana yang besar dan luas. Saya berbisik di dalam hati, “jangan-jangan ini rumah pedagang besar atau Menteri kerajaan.”
Saya pun terkejut ketika mobil berhenti, dan kami masuk ke istana yang sangat besar sedangkan di dalamnya telah menanti Raja Fahd berikut putera mahkota beliau, Raja Abdullah dan Amir Sulthan. Ada pula Amir Nayif rahimahullahu dan para bangsawan keluarga kerajaan. Mereka semua menyalami dan menyambut Syaikh dengan gembira, sembari mencium kening Syaikh Ibnu Bâz.
Semua wajah yang biasa kulihat di televisi, kini kulihat semuanya di malam itu secara langsung di dalam Istana!! Saya pun semakin berdebar-debar tidak karuan.
Lalu syaikh Ibnu Bâz duduk di atas kursi beliau di samping Raja dan putera mahkota. Mereka saling menyapa dan menanyakan kabar satu dengan lainnya, menawarkan kopi dan membakar gaharu yang wangi.
Syaikh lalu bertahmid dan memuji Allah, kemudian beliau memberikan taushiyah selama kurang lebih 20 menit. Majlis beliau diikuti dengan penuh ketundukan dan konsentrasi, semuanya diam mendengarkan seakan-akan mereka semua adalah murid Syaikh Ibnu Bâz.
Kecuali diriku yang saat itu tidak bisa konsen karena grogi, saya memandangi Raja, lalu pindah memandangi putera mahkota dan pangeran, lalu pindah memandangi para Menteri. Mata saya selalu berputar-putar memandangi Raja Nayif, Raja Salman dan bangsawan lainnya. Saya merasa seakan-akan saya sedang mimpi!
Mungkin, sayalah satu-satunya di sana yang hadir dengan memakai pakaian ala kadarnya, padahal saya saat itu sedang bertemu dengan tiga kabilah besar dari kaum bangsawan dan kerajaan. Ya, Saya sekarang sedang bermajelis, duduk di depan bersama dengan raja, pangeran, para menteri dan pembesar kerajaan?!
Setelah selesai menyampaikan taushiyah, Syaikh pun bangkit dan minta izin untuk mohon diri. Raja Fahd pun menahan beliau agar turut serta santap malam yang telah disediakan… Namun, Syaikh Ibnu Bâz memohon maaf dan mohon izin. Raja tetap bersikeras memaksa agar Syaikh mau turut serta makan malam.
Syaikh Ibnu Bâz pun berkata : “Mohon maaf, saya telah diundang makan malam oleh salah seorang ikhwah. Sunnah Nabi adalah apabila ada dua undangan atau lebih saling bertabrakan, maka dahulukan untuk memenuhi yang pertama kali mengundang. Saya sudah berjanji dengan ikhwah tersebut untuk makan malam di rumahnya. Jadi, saya mohon maaf tidak dapat ikut makan malam bersama.”
Syaikh sama sekali tidak menyinggung dan menginformasikan ke Raja bahwa saya lah yang mengundang beliau. Sekiranya beliau menyampaikan bahwa saya yang mengundang, niscaya Raja akan menjawab. “yang mengundang anda ada di sini bersama anda. Karena itu marilah anda dan tamu anda ini makan bersama kami.” Sehingga udzur Syaikh pun gugur, dan kita bisa bersama-sama menyantap makanan yang lezat dan nikmat.
Namun Syaikh tidak melakukan itu. Beliau tetap meminta izin untuk pamit. Lalu raja dan pembesar kerajaan mengantarkan Syaikh berpamitan, mereka melakukannya dengan penghormatan sama persis sebagaimana mereka menyambutnya. Akhirnya kami bertiga pun bertolak pulang menuju ke rumahku. Lalu kita makan malam bersama secara sederhana.
Selesai makan malam, Syaikh mendoakanku dan keluargaku, lalu beliau pamit setelah beliau memenuhi janjinya.
Saya berbicara apa adanya di sini, bahwa Syaikh Ibnu Bâz sudi memberikan waktunya untukku. Beliau lebih memilih undangan makanku yang sangat sederhana dibandingkan hidangan kerajaan yang jauh lebih nikmat dan lezat. Beliau lebih memilih memenuhi janjinya, padahal beliau sudah ada janji dengan keluarga kerajaan. Namun beliau lebih memilih undangan makan malamku, padahal siapa saya ini? Orang asing yang tidak dikenal! Orang biasa yang berasal dari desa al-Juf di Yaman sana.
Duhai, betapa agungnya tawadhu’nya orang-orang yang besar (senior).
Semoga Allah merahmati ‘allamah dunia, imamnya para ulama dan syaikhnya umat. Seorang ustadz yang betapa tawadhu’ dan zuhudnya…
________
Disadur secara bebas dari tulisan yang berjudul قصة الشيخ بن باز في ضيافة الرجل اليمني صاحب الجوف!!
Yang ditulis oleh Muhammad Syabibah.
Artikel asli dishare oleh Syaikh Walid Saifun Nashr di dalam grup beliau : Nashâ’ih asy-Syaikh al-Walîd
abinyasalma
Tidak ada komentar: