Adapun melakukan, seperti melakukan perbuatan-perbuatan yang tidak pernah disyari’atkan oleh Allah dan Rosul-Nya. Sebagai Taqorrub ia kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala.
Dan ini contohnya banyak, seperti contohnya merayakan perayaan-perayaan yang tidak pernah disyari’atkan oleh Allah dan Rosul-Nya. Contoh lagi, membuat sholat yang tidak pernah disyari’atkan oleh Allah dan Rosul-Nya, membuat tata cara suatu ibadah yang tidak pernah di lakukan oleh Allah dan Rosul-Nya.
Maka ini namanya BID’AH FI’LIYAH, artinya melakukan perbuatan bid’ah dengan cara mengada-ada sesuatu yang tidak disyari’atkan oleh Allah dan Rosul-Nya.
Adapun yang kedua yaitu BID’AH TARKIYAH, yaitu dengan cara meninggalkan sesuatu yang dihalalkan oleh syari’at. Dengan keyakinan bahwa itu adalah ibadah.
Sebuah contoh misalnya (yang dikeluarkan oleh Imam Bukhori dari Ibnu Abbas) ketika Nabi shollallahu ‘alayhi wasallam sedang berkhutbah tiba-tiba ada orang yang berdiri dibawah terik matahari. Lalu Nabi bertanya, “Siapa dia?”
Lalu mereka menjawab, “Ia Abu Isro’il, ia bernadzar untuk berdiri terus dan tidak akan duduk, tidak akan berteduh, tidak akan berbicara, dan berpuasa.”
Maka Nabi shollallahu ‘alayhi wasallam bersabda: “perintahkan ia untuk berbicara, berteduh dan duduk, dan hendaklah ia menyempurnakan puasanya.”
Lihat.. berbicara, berteduh, duduk adalah perkara yang mubah, tapi ia sengaja tinggalkan dalam rangka ibadah, tentu ini meninggalkan sesuatu yang mubah dalam rangka Taqorrub kepada Allah, tidak pernah disyari’atkan oleh Allah dan Rosul-Nya.
Namun ketika shaum (puasa) itu perkara yang disyari’atkan, Nabi shollallahu ‘alayhi wasallam menyuruh untuk melanjutkan shaum (puasa)nya.
Demikian pula melakukan sesuatu yang Nabi tidak pernah lakukan, ini disebut dengan BID’AH FI’LIYAH.
Atau misalnya Nabi shollallahu ‘alayhi wasallam tidak melakukan suatu perbuatan. Contohnya, Nabi shollallahu ‘alayhi wasallam tidak adzan dan qomat untuk sholat Idul Fitri dan Idul Adha. Lalu kemudian ada orang yang melakukannya, maka ini termasuk kebid’ahan.
Ini (pembahasan diatas) yang disebut dengan bid’ah fi’liyah dan bid’ah tarkiyah.
Kata beliau (penulis kitab) :
ويمكن ضبط المسكو ت عنه بما يلي
Adapun perkara yang didiamkan oleh syari’at, ada batasan-batasan yang harus kita perhatikan
أولاً : أنا لأصل في العبادات البطلان
Bahwa pada asalnya yang berhubungan dengan masalah ibadah itu bathil (tidak boleh)
حتى يقوم دليل على الأمر
Sampai ada dalil yang memerintahkan
والأصل في العقود و المعا ملات الصحة
Sedangkan yang berhubungan dengan akad dan muamalah pada asalnya boleh
حتى يقوم دليل على البطلان والتحريم
Sampai ada dalil yang menunjukkan akan keharamannya.
Jadi kita perhatikan, itu masalah apa ? Masalah ibadah apa masalah mu’amalah ?
Jadi kita perhatikan, itu masalah apa ? Masalah ibadah apa masalah mu’amalah ?
- Kalau masalah ibadah, wajib dia membawakan dalil.
- Kalau masalah mu’amalah, wajib dia mendatangkan dalil yang mendudukan akan keharamannya, karena pada asalnya ia boleh, sedangkan ibadah pada asalnya tidak boleh.
ثانيا: أن السنة كما أنها تكون – بفعله صلى اللّٰه عليه وسلم – وتقر يره، فإ نها تكون بسكوته كذلك
“Sesuatu yang disebut sunnah itu sebagaimana itu perkara yang dilakukan oleh Nabi shollallahu ‘alayhi wasallam dan disetujui, demikian pula perkara yang Nabi mendiamkannya”
وهذا ما يسمى بالسنة التر كية
“Maka yang seperti ini disebut dengan istilah sunnah tarkiyah”
yaitu Nabi shollallahu ‘alayhi wasallam mendiamkan suatu perbuatan, padahal perkara tersebut, kalau ternyata itu haram, tentu Nabi akan segera mengingkarinya. Tapi ketika Nabi shollallahu ‘alayhi wasallam mendiamkannya, maka itu menunjukkan akan kebolehannya.
فسكوته عليه السلام هو المعتبر
Maka diamnya Nabi shollallahu ‘alayhi wasallam itulah yang dianggap.
بشرط ألا يكون فعلا جبليا
Dengan syarat (kata Beliau) itu bukan perbuatan yang bersifat tabi’at.
فإن تر ك الفعل الجبلي لا يعتبر سنة تر كية
Tapi jika itu sesuatu yang sifatnya tabi’at dan Nabi tidak lakukan maka yaitu tidak dianggap sebagai sunnah tarkiyah, artinya kalau kita melakukannyapun tidak apa-apa.
Contoh, bahwa Nabi tidak suka daging dhob, itu tabi’at
Kalau kita makan daging dhob ya silakan saja, tidak apa-apa.
Tapi kalau Nabi shollallahu ‘alayhi wasallam meninggalkan suatu ibadah padahal itu adalah perkara yang merupakan perkara ibadah, Nabi tinggalkan padahal pendorongnya ada, penghalangnya tidak ada, itu menunjukkan bahwa itu tidak boleh kita lakukan.
Wallahu a’lam
Dari kitab yang berjudul “Haqiiqotul Bid’ah wa Ahkaamuhaa“, tentang Hakikat Bid’ah dan Hukum-Hukumnya, ditulis oleh Syaikh Sa’id bin Nashir Al Ghomidi hafizhahullahu ta'ala (14)
Ustadz Abu Yahya Badrusalam Lc, حفظه الله تعالى.
Sumber: bbg-alilmu.com
Contoh, bahwa Nabi tidak suka daging dhob, itu tabi’at
Kalau kita makan daging dhob ya silakan saja, tidak apa-apa.
Tapi kalau Nabi shollallahu ‘alayhi wasallam meninggalkan suatu ibadah padahal itu adalah perkara yang merupakan perkara ibadah, Nabi tinggalkan padahal pendorongnya ada, penghalangnya tidak ada, itu menunjukkan bahwa itu tidak boleh kita lakukan.
Wallahu a’lam
Dari kitab yang berjudul “Haqiiqotul Bid’ah wa Ahkaamuhaa“, tentang Hakikat Bid’ah dan Hukum-Hukumnya, ditulis oleh Syaikh Sa’id bin Nashir Al Ghomidi hafizhahullahu ta'ala (14)
Ustadz Abu Yahya Badrusalam Lc, حفظه الله تعالى.
Sumber: bbg-alilmu.com
Tidak ada komentar: