Wahabi Menurut Pandangan Buya Hamka

Wahabi Menurut Pandangan Buya Hamka

Berikut ini kutipan tulisan Buya pada buku ‘Dari Perbendaharaan Lama’ bagian kelima dengan judul ‘Gerakan Wahabi di Indonesia’ halaman 213-216.


Ketika terjadi pemilihan umum , orang telah menyebut kembali yang baru, lalu untuk alat kampanye, nama Wahabi. Ada juga yang mengatakan bahwa Masyumi itu adalah Wahabi, sebab itu jangan pilih orang masyumi.

Pihak komunis pernah turut pula menyebut Wahabi dan mengatakan bahwa Wahabi itu dahulu telah datang ke Sumatera, dan orang-orang Sumatera yang memperjuangkan Islam di tanah Jawa ini adalah dari keturunan Wahabi.

Memang sejak abad ke-18, sejak gerakan Wahabi itu telah menggegerkan dunia. Kerajaan Turki yang sedang sangat berkuasa takut kepada Wahabi.

Karena Wahabi adalah permulaan kebangkitan umat Arab, sesudah jatuh pamornya karena serangan bangsa Mongol dan Tartar ke Baghdad. Wahabi pun ditakuti oleh bangsa-bangsa penjajah, karena apabila ia masuk ke suatu negeri, ia akan mengembangkan mata penduduknya menantang penjajahan. Sebab paham Wahabi adalah mengukuhkan kembali ajaran tauhid yang murni, menghapus segala sesuatu yang akan membawa kepada syirik.

Sebab iti timbulah perasaan tidak ada tempat takut melainkan kepada Allah Subhanahu wa ta'ala. Wahabi adalah penantang keras kepada jumud, yaitu memahani agama dengan beku.

Ajaran ini telah timbul bersamaan dengan timbulnya kebangkitan Revolusi Prancis di Eropa.

Pada masa itu juga infiltrasi dari gerakan ini telah masuk ke tanah Jawa. Pada tahun 1788 M, di zaman pemerintahan Paku Buwono IV, yang lebih dikenal dengan gelaran Sunan Bagus. Beberapa orang penganut paham Wahabi telah datang ke tanah Jawa dan menyiarkan ajarannya di negeri ini. Bukan saja mereka itu masuk ke Solo dan Yogya tapi mereka meneruskan juga penyiaran pahamnya di Cirebon, Bantam (Banten) dan Madura. Mereka mendapat sambutan baik, jelas sangat anti penjajahan.

* * *

Sunan Bagus sendiri juga tertarik dengan ajaran kaum Wahabi. Pemerintah Belanda mendesak agar orang-orang Wahabi diserahkan kepadanya. Pemerintah Belanda cukup tahu, apa akibat bagi penjajahan kalau pah Wahabi dikenalkan oleh rakyat.

Padahal ketika itu perjuangan memperkukuh penjajahan belum lagi selesai. Mulanya Sunan tidak mau menyerahkan mereka. Akan tetapi mengingat akbibat-akibatnya bagi Kerajaan-Kerajaan Jawa, ahli-ahli kerajaan memberikan advis kepada Sunan supaya orang-orang Wahabi itu diserahkan saja kepada pemerintahan Belanda. Lantaran desakan itu mereka pun ditangkapi dan diserahkan kepada Belanda. Oleh Belanda orang-orang itupun diusir kembali ke tanah Arab.

* * *

Akan tetapi, di tahun 1801 M, artinya 12 tahun di belakabg, kaum Wahabi datang lagi. Sekarang, bukan lagi orang Arab, melainkan anak Indonesia sendiri, yaitu anak Minangkabau. Haji Miskin, Pandai Sikek(Luhak Agam), Haji Abdurahman Piobang, (Luhak-Limapuluh Kota) dan Haji Muhammad Haris Tuanku Lintau (Luhak Tanah Datar).

Mereka menyiarkan ajaran itu di Luhak Agam (Bukittinggi) dan banyak memperoleh pengikut. Diantara murid-murid mereka adalah Tuanku Nan Renceh (Kamang) dan Tuanku Sami’ (Ampek Angkek). Akhirnya gerakan ini meluas dan melebar hingga terbentuklah Kaum Paderi yang terkenal. Diantara mereka ialah Tuanku Imam Bonjol. Terjadilah Perang Paderi yang terkenal itu selama 37 tahun melawan penjajahan Belanda.

Bilamana pada abad ke-18 dan 19 gerakan Wahabi dapat dipatahkan, pertama orang-orang Wahabi dapat diusir dari tanah Jawa. Kedua dapat dikalahkan dengan kekuatan senjata, namun di awal abad ke-20 mereka muncul lagi.

Di Minangkabau muncullah gerakan yang dinamai Kaum Mudo. Di Jawa datanglah K.H. Ahmad Dahlan dan Syekh Ahmad Soorkati. K.H. Ahmad Dahlan mendirikan Muhammadiyah, Syekh Ahmad Soorkati dapat membangun semangat baru dalam kalangan orang-orang Arab. Ketika ia mulai datang, orang-orang Arab belum pecah menjadi dua, yaitu Ar-rabithah Alawiyah dan Al Irsad. Bahkan yang mendatangkan Syekh itu ke mari adalah kalangan yang kemudiannya membentuk Ar-rabithah Alawiyah.

Musuhnya dalam kalangan Islam sendiri, pertama ialah Kerajaan Turki. Kedua Kerajaan Syarif di Makkah, Ketiga Kerajaan Mesir. Ulama-ulama mengambil muka untuk mengkafirkan Wahabi. Bahkan ada di kalangan ulama itu yang sampai hati mengarang buku mengatakan bahwa Muhammad bin Abdul Wahab pendiri paham ini adalah keturunan Musailamah al-Kadzdzab.

Pembangunan Wahabi pada umumnya adalah bermahzab Hambali, tapi paham ini juga dianut oleh pengikut Mahzab Syafi’i, sebagaimana kaum Wahabi di Minangkabau, dan juga penganut Mahzab Hanafi sebagaimana kaum Wahabi di India.

Sekarang, Wahabi dijadikan kembali sebagai alat, untuk menekan semangat kesadaran Islam oleh beberapa golongan tertentu, yang bukan surut ke belakang di indonesia ini, melainkan kian maju dan tersiar. Kebanyakan orang Islam yang tidak tahu di waktu ini, yang benci bukan lagi ajaran Wahabi, melainkan nama Wahabi.

Ir. Soekarno dalam surat-suratnya dari Ende kelihatan bahwa pahamnya dalam agama Islam adalah banyak mengandung anasir Wahabi.

Kaum Komunis Indonesia mencoba menimbulkan sentimen umat Islam dengan membangkit-bangkitkan nama Wahabi.

* * *

Padahal seketika terdengar kemenangaj gilang-gemilang yang dicapai oleh Raja Wahabi, Ibnu Saud, yang dapat mengusir kekuasaan keluarga Syarif dari Mekkah. Umat Islam mengadakan Kongres besar di Surabaya dan mengetok kawat mengucapkan selamat atas kemenangan itu (1925 M). Sampai mengutus dua orang pimpinan umat Islam dari Jawa ke Mekkah, yaitu H.O.S Cokroaminoto dan K.H. Mas Mansur dan Haji Agus Salim datang ke Mekkah tahun 1927 M.

Karenaa tahun 1925 M dan tahun 1926 M itu belum lama, baru lima puluh tahun lebih saja, masih banyak orang yang dapat mengenangkan, bagaimana hebatnya reaksi pada waktu itu, baik dari pemerintah penjajahan, atau dari umat islam sendiri yang ikutan benci kepada Wahabi karena hebatnya propagada Kerajaan Turki dan ulama pengikut Syarif.

Sekarang pemilihan umum yang pertama sudah selesai. Mungkin menyebut-nyebut nama Wahabi dan membusuk-busukannya ini akan disimpan dahulu untuk pemilihan yang akan datang. Mungkin juga propaganda ini masuk ke dalam hati orang sehingga gambar-gambar figur Nasional, Tuanku Imam Bonjol dan K.H. Ahmad Dahlan diturunkan dari dinding, dan mungkin perkumpulan-perkumpulan yang memang nyata kemasukan paham Wahabi sebagaimana Muhammadiyah, Al-Irsyad, Persis dan lain-lain supaya dibubarkan saja.

Kepada orang-orang yang membangkit-bangkit bahwa pemuka-pemuka Islam dari Sumatera, yang datang memperjuangkan Islam di tanah Jawa ini adalah penganut atau keturunan Kaum Wahabi, kepada mereka orang-orang dari Sumatera itu mengucapkan banyak-banyak terima kasih sebab kepada mereka telah diberikan kehormatan yang begitu besar.

Sungguh pun demikian, paham Wahabi bukanlah paham yang dipaksakan oleh muslimin, baik karena Wahabi atau tidak. Masih banyak yang tidak menganut paham Wahabi dalam kalangan Masyumi. Tetapi pokok perjuangan Islam, yaitu hanya takut semata-mata kepada Allah S.W.T dan anti kepada segala macam penjajahan.

artikel alwialbana

Tidak ada komentar: