Darah Nifas Tidak Berhenti Selama 40 Hari

Darah Nifas Tidak Berhenti Selama 40 Hari
Bagaimana jika darah nifas pada wanita tidak berhenti setelah 40 hari, apakah tetap dihukumi darah nifas atau dihukumi darah kotor (istihadhoh)? Jika darahnya nifas, tentu saja masih tidak boleh shalat dan puasa. Sedangkan darah istihadhoh sebaliknya.

BATASAN LAMA DARAH NIFAS

Batasan minimal lamanya nifas tidak ada. Jika seorang wanita melihat dirinya telah suci, maka ia segera mandi lalu mengerjakan shalat. Demikian pendapat jumhur atau mayoritas ulama. Lihat Al Mawsu’ah Al Fiqhiyyah, 41: 6.

Untuk batasan maksimalnya para ulama berselisih pendapat. Ulama Syafi’iyah berpendapat darah nifas maksimalnya adalah 60 hari. Ada juga yang berpendapat 40 hari. Mereka beralasan dengan hadits Ummu Salamah, di mana ia berkata,

كَانَتِ النُّفَسَاءُ عَلَى عَهْدِ رَسُولِ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- تَقْعُدُ بَعْدَ نِفَاسِهَا أَرْبَعِينَ يَوْمًا أَوْ أَرْبَعِينَ لَيْلَةً
“Dahulu di masa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, wanita menunggu masa nifasnya selesai hingga 40 hari atau 40 malam.” (HR. Abu Daud no. 311, Tirmidzi no. 139, Ibnu Majah no. 648. Hadits ini dishahihkan Al Hakim dan disepakati oleh Adz Dzahabi. Al Hafizh Abu Thohir mengatakan bahwa hadits ini hasan, sedangkan Syaikh Al Albani mengatakan shahih).
Darah Nifas Tidak Berhenti Setelah 40 Hari

Dalil di atas sebenarnya bukan menunjukkan batasan bahwa darah nifas maksimal keluar selama 40 hari, namun menunjukkan umumnya darah nifas adalah keluar selama waktu itu. Artinya, jika lebih dari 40 hari darah terus keluar, TETAP MASIH BERLAKU DARAH NIFAS .

Syaikh ‘Abdurrahman bin Nashir As Sa’di berkata, “Yang tepat, MASA NIFAS TIDAK ADA BATASAN MINIMAL dan JUGA MAKSIMALNYA. Pembicaraan lamanya nifas sama dengan pembicaraan lamanya haidh (artinya, tidak ada batasan minimal ataupun maksimalnya).” (Al Mukhtarot Al Jaliyah minal Masa-il Al Fiqhiyyah, hal. 39).

Dalam kitab lainnya Syaikh As Sa’di mengatakan, “Ketika darah kebiasaan itu ada, maka berlakulah hukum. Inilah yang ditunjukkan oleh dalil dan diamalkan oleh kaum muslimin. Adapun menetapkan umur tertentu di mana minimal wanita mendapati haidh atau menetapkan usia berapa berakhirnya haidh, juga menetapkan batasan minimal atau maksimalnya, maka seperti itu tidaklah terdapat dalil. (Lihat Al Qowa’id wal Furuq, hal. 169, dinukil dari catatan kaki kitab Manhajus Salikin karya Syaikh As Sa’di, hal. 52)

Lihat juga penjelasan Syaikh Kholid Mushlih -murid sekaligus menantu Syaikh Muhammad bin Sholeh Al ‘Utsaimin-.

Semoga menjadi ilmu yang bermanfaat.


Wallahu'alam bishawab

Tidak ada komentar: