Dulu, ketika saya masih kuliah sering sekali mendapati ayat-ayat dan hadits yang menyebutkan larangan berbangga-bangga dengan anak dalam kitab-kitab yang saya baca. Biasanya ayat-ayat tersebut satu paket dengan larangan membanggakan diri dengan harta.
Waktu itu saya berfikir, "Oh, ya, ya, mungkin memang orang Arab di masa itu sangat memperhatikan soal keturunan, mereka berlomba-lomba dengan banyaknya anak, makanya mungkin Allah banyak kasih warning tentang ini." Begitu fikirku polos saat itu sembari teringat bagaimana Rasulullah Shallallahu 'Alayhi wa Sallam pernah dihina sebagai Al-Abtar (orang yang terputus) gara-gara anak laki-laki Rasulullah tidak ada yang jadi penerusnya (karena Allah wafatkan semua di usia muda, dengan hikmahNya).
Tapi....
Rupanya saya salah!
Salah besar!
Larangan berbangga karena anak ini benar-benar nyata ditujukan untuk kita, ya kita!
Kita ini, para emak, tentunya juga para suami emak-emaknya juga.
Saya baru sadar, setelah punya anak. Dan tentunya teman-teman sepermainan 😀 alias sepantaran juga sama-sama punya anak. Dan kita sama-sama punya medsos.
Lalu saya sadar, dan terpekik, "Astagfirullah.. Inikah yang Allah tegurkan selama ini? Ayat-ayat tentang larangan tafakhur dan takatsur karena anak? Mengapa setelah punya anak dan melihat teman-teman yang juga punya anak, larangan itu baru benar-benar terasa nyata?"
Bagaimana tidak terasa nyata, saat rasa "kepemilikan" yang tidak pada tempatnya ini berkembang jadi rasa bangga yang salah, saat melihat hal-hal yang menakjubkan yang sejatinya Allah yang membuatnya hadir dalam sosok anak kita. Sejatinya bukan karya kita, bukan karena kehebatan kita, bukan karena ilmu parenting kita, tapi karena kehendakNya...lalu lantas tiba-tiba kita merasa bangga? Dan lupa bahwa semua itu karena memang Allah berkehendak?
Semua orang tua pasti pernah bangga pada anaknya. Itu wajar, halal, kok! 😉
Tapi berbangga-bangga, jangan!
Membandingkan, jangan!
Jumawa, apalagi!
- Kebagusan fisik,
- kebaikan,
- kebisaan,
- kemampuan,
- kecerdasan,
- kecemerlangan,
- prestasi,
- kebaikan akhlak,
- bahkan keshalihahn sekalipun..
yang ada pada tiap centimeter jiwa dan raga anak-anak kita..
jangan jumawa!
ternyata semua itu semata pemberian Allah..
semua itu terjadi atas kehendakNya,
yang jika Allah berkehendak, dalam sekejap mata, segala kelebihan itu bisa Allah cabut seketika!
Itu baru soal anak yang sudah ada.
Saya tercenung tatkla pasca keguguran, ternyata pernah waktu itu hampir satu tahun berusaha mau punya anak lagi, kok susah. Di situ saya merenung. Rupanya manusia ini jangankan untuk membanggakan diri soal kehebatan anak, untuk menciptakan anak sendiri saja manusia itu tidak mampu! Sungguh!
Hanya "tangan" Allah saja yang mampu membuatnya!
Maka sejak saat itu, saya selalu termenung tatkala membaca atau mendengar ibu2 berbicara begini,
"Senangnya di usia xx aku udh jadi ibu dari sekian anak.."
"Alhamdulillah anakku sudah sekian-sekian dong.."
"Ayo, dong, nambah lagi, aku sudah sekian..jangan mau ketinggalan nanti disalip si anu.."
Itu baru yang present tense (mudhari'),
belum lagi kalau sudah tambah pengalaman, sudah merasa senior di bidang anak-beranak,
biasanya ada lagi godaan pake ungkapan past tense (madhi') nya,
"Ealah, dulu umur segitu aku sudah punya anak sekian, terus aku tuh ya..dst"
"Loh, anakku dulu umur segitu udh bisa bla..bla..bla, loh padahal.."
Ooh, inikah tafakhur bil awlad? Takatsur?
Terasa sangat sangat halus..sampai nyaris tidak terasa..
Padahal pada setiap ruh yang ditiupkan sungguh bukan karena kehebatan sang ibu ataupun sang ayah, sungguh atas kehendakNya! Lalu, kita masih mau berbangga dengan bilangan-bilangan itu?
Membaca kembali ayat-ayat Allah tentang larangan tafakhur dan takatsur bil awlad ini..saya jadi merinding..
Saya, kamu, kita..ya kita ini..bisa jadi pernah jadi pelaku dosa ini! Astagfirullah..
Kita ini lemah,
sangat lemah,
bahkan untuk jumawa soal anak, apalagi jumlah anak..
kita ini siapa?
Jangan jauh-jauh kalau-lah -semisalnya dahulu- Allah menunda pemberian jatah jodoh kita di dunia, kita bisa apa? Tak bisa apa-apa, kan?
Bersyukur sebanyak-banyak nya atas pemberian Allah itu harus,
tapi..
merasa hebat jangan!
terbersit rasa keren jangan!
merasa agak unggul pun jangan!
apalagi jumawa, jangan!
Jika kita pernah merasakan rasa itu hadir, ayo kita sama-sama istigfar!
Kita minta sama Allah dijauhkan lagi dari rasa itu.
**
Ibnu Jarir menyebutkan tafsiran ayat “Ø£َÙ„ْÙ‡َاكُÙ…ُ التَّÙƒَاثُرُ” dari Qotadah. Maksud ayat tersebut adalah seperti menyatakan, “Kami lebih banyak dari keturunan si fulan, atau keturunan A lebih unggul dari keturunan B. Kebanggaan itu semua melalaikan hingga mereka mati dalam keadaan sesat.” (Tafsir Ath Thobari, 24: 598-599)
Ibnu Katsir berkata, “Kecintaan terhadap dunia, kenikmatan dan perhiasannya telah melalaikan kalian dari mencari akhirat. Hal itu pun berlanjut dan baru berhenti ketika datang maut dan ketika berada di alam kubur saat kalian menjadi penghuni alam tersebut.” (Tafsir ibnu katsir, 14: 442)
Al Hasan Al Bashri berkata mengenai ayat di atas, “Berbangga-bangga dengan anak dan harta benar-benar telah melalaikan kalian dari ketaatan.” (Tafsir ibnu katsir, 14: 442)
Ditulis oleh seorang musLimah yang pernah menuntut iLMu di arab
Tidak ada komentar: