Wamena seperti kota hantu penuh ketakutan

Wamena seperti kota hantu penuh ketakutan

Wamena, 13 Oktober 2019, Jam : 20.04 WIT

Resah bukanlah candaan, apalagi berpura-pura ketakutan, sama sekali tidak. Masih tersisa nyawa yang hidup di balik dinding rumah, gelisah tak menentu. Masih gamang, mau pulang atau tetap bertahan mencari penghidupan yang layak.

Pasca tragedi 23 September 2019 di Wamena yang melenyapkan banyak korban jiwa dan harta benda, fenomena eksodus membludak ribuan bahkan belasan ribu manusia berusaha keluar dari Wamena. Bukan berarti kalau tinggal di Wamena pasti mati. Dimana pun kita, meski keluar dari Wamena, jika sudah ajal pasti akan mati. Tapi ada rasa nyaman sudah hilang. Bukan hanya harta dan nyawa yang turut hilang.

Kepercayaan dan harapan masyarakat akan jaminan keamanan turut terbakar bersama aroma hangus manusia yang dibakar bersama gedung-gedung dan rumah. Pemerintah berupaya keras meyakinkan masyarakat bahwa Wamena aman dan akan tetap aman.

Tanggal 7 Oktober 2019 Wamena dinyatakan berangsur pulih, aman dan kondusif. Semua aktivitas wajib berjalan seperti sedia kala. Termasuk giat trauma healing. Dengan keadaan seperti itu, eksodus mulai dibatasi bahkan dilarang agar lembah itu tak disebut kota mati. Bahkan para eksodus dijemput gratis demi menghidupkan kota Wamena agar kelihatan aman.

Tinggallah para istri dan anak yang duluan dievakuasi dalam penantian panjang di tanah kelahiran.
Bagaimana tidak, eksodus yang kebanyakan laki-laki ini menanti dipulangkan demi menenangkan diri tertahan tak jelas. Kapal yang sedianya memulangkan ribuan eksodus, memijakkan kaki mencari tanah aman dilarang beroperasi. Ada apa?

Nikmat aman mulai dijejali. Beberapa hari, para pengungsi di polres dan kodim mulai kembali tidur di rumah masing-masing. Namun, hanya untuk sesaat. Beberapa hari saja. Semalam kembali mencekam. Lonceng panjang, dan riuh tiang listrik dipukul bersahutan. Tanggal. 12 Okt 2019, masih ada Saudara kita suku Toraja yang ditikam dan akhirnya meninggal dunia setelah koma menahan derita tusukan sepanjang 20 cm. Sebelumnya pun ada modus penjambretan yang meninggalkan jejak luka jahitan akibat sabetan parang di kepala korban.

Bisa jadi besok dan besoknya lagi masih ada masyarakat yang jadi tumbal bagi penguasa yang belum juga tergugah melihat bahwa di Wamena sedang ada masalah.

Harus berapa lama, berapa nyawa, berapa bukti, berapa cerita dan berapa kali derita yang bisa menggugah para penguasa menolong dan menyelamatkan Lembah Baliem yang terkenal kota aman dan damai????

Kota itu tak lagi sejuk. Seperti kota hantu yang penuh ketakutan. Yaa.. Disana tidak ada rasa aman. Keluar rumah sedikit saja, nyawa taruhannya. Di luar rumah dan dijalan, sewaktu-waktu ada penunggu nyawa yang siap membantai, menyicil menghabisi nyawa yang tersisa. Di dalam rumah pun sama. Apa nikmat nya tidur beratapkan lemparan batu? Berjaga disebelah parang? Tentu sangat mencekam.

Setiap keluhan, jeritan isi hati, ketakutan dan kecemasan masyarakat yang masih bertahan diisukan hoaks. Dianggap lebay. Alangkah miris. Masyarakat yang bertahan atau memilih pergi bukanlah aktor yang sedang melakonkan drama tragis nan pilu.

Butuh terjemahan yang nyata kata AMAN bagi semua warga, masyarakat pendatang juga pribumi atau OAP. Sebab, yang renggang kemarin mulai terjalin. Semua butuh rasa Aman.

Mohon bantu doakan, agar wamena kembali aman, damai, dan rukun. Apa pun keyakinan kita, apa pun bahasa kita, sebab Tuhan Maha mendengar dan Maha mengetahui.

#Copas dari Grup persatuan

sumber fanpage ustadz Zainal Abidin, Lc., M.M

Tidak ada komentar: