Di tengah penindasan yang diterima oleh etnis Uighur, di Xinjiang, China, terdapat fakta yang dibeberkan oleh pakar media sosial, Ismail Fahmi. Pendiri Drone Emprit itu membeberkan, jika media daring serta pengguna media sosial di Indonesia, menjadi pembela Uighur nomor satu.
Fakta-fakta tersebut menjadi temuan menarik, dalam percakapan di media sosial, melalui berbagai tagar berbentuk dukungan untuk Uighur.
Ismail pun menangkap tren pemberitaan Uighur dalam setahun terakhir.
Selama 12 bulan terakhir, kata Ismail, berita tentang penindasan etnis Uighur, terus menjadi perhatian, dan tak hentinya diberitakan oleh media daring, di Indonesia.
Seperti data per 21 Desember 2018, setidaknya ada 1.030 berita soal tindakan diskriminatif ke Uighur.
Antara lain berupa kewajiban belajar bahasa mandarin, mengubah kepercayaan spiritual, hingga penyiksaan fisik dan psikologi, di kamp penahanan.
Meskipun berita soal diskriminasi terhadap etnis Uighur sempat menurun, selepas Desember 2018, tetapi pada Juli 2019 dan Oktober 2019, berita penyiksaan etnis Uighur kembali ramai dibicarakan.
Terutama pada Desember 2019 ini, usai laporan Wall Street Journal, mengatakan jika pemerintah China, ‘merayu’ ormas Islam Indonesia, agar bungkam.
Ismail mengatakan, ramainya perbincangan Uighur di media sosial dalam setahun terakhir, berhasil membentuk kluster.
Kluster internasional yang dimotori oleh seorang ahli hukum dan HAM, lewat akun Khaled Beydoun; serta kolumnis Timur Tengah, CJ Weleman; dan aktivis yang berjuang melawan Islamofobia.
Namun, Indonesia juga turut serta, sebab warganet Tanah Air, juga ramai memperbincangkan Uighur, hingga menciptakan kluster khusus.
Ismail mencatat, kluster Indonesia dimotori oleh cuitan dari Politisi PKS, Hidayat Nur Wahid; dan CEO dan Founder of AMI Group and AMI Foundation, Azzam Izzulhaq.
Kluster Indonesia, menjadi kluster kedua yang terbesar di media sosial, dan paling ramai membicarakan Uighur.
“Jadi, di level internasional, netizen Indonesia termasuk yang paling besar membangun cluster tersendiri dalam membahas isu Uyghur. Tidak ada negara lain yang netizen-nya bisa membuat cluster sendiri, yang signifikan, seperti di atas,” tulis @ismailfahmi.
Isu Uighur yang digaungkan warganet dunia dalam setahun terakhir adalah kekejaman dalam kamp konsentrasi.
Diamnya dunia atas pelanggaran HAM serta kebebasan beragama di sana pun terus menuai kritik.
Tetapi dalam sepekan terakhir, Indonesia telah menjadi pionir, dalam menyuarakan dukungan untuk Uighur.
Dalam tujuh hari belakangan, kluster Indonesia, telah mengalahkan suara dukungan dari kluster internasional, yang kini mengekor kluster Indonesia.
Menariknya, suara dukungan terhadap Uighur yang telah membentuk kluster Indonesia itu, banyak didukung oleh akun-akun pro-oposisi di Indonesia.
Sementara kluster pro-pemerintah, yang juga mengangkat isu Uighur, lebih memilih menggunakan tagar #MediaWSJPropaganda, sebagai narasi tandingan.
Ada beberapa top influencer yang menggaungkan soal Uighur selama sepekan terakhir, dan didominasi akun Indonesia.
Dari lima top influencer, empat di antaranya merupakan akun Indonesia, yakni @liem_id, @arsian_hidayat, @Ace117115a, dan @IlmFeed.
Indonesia, terbutkti menjadi negara paling ‘bersuara’ dalam membahas soal Uighur, dalam sepekan terakhir.
Ismail bahkan menunjukkan, cuitan dari Indonesia, mencapai hampir 20 ribu, disusul oleh Inggris, di posisi kedua dengan kisaran ribuan cuitan saja.
Sementara negara tetangga, Malaysia, suaranya pun kecil, dan menempati urutan ketiga, baru disusul Amerika Serikat di nomor empat.
Semoga, suara media daring dan masyarakat melalui media sosial, bisa sebanding dengan upaya pemerintah Indonesia, dalam menyuarakan keadilan untuk etnis Uighur.
Fakta-fakta tersebut menjadi temuan menarik, dalam percakapan di media sosial, melalui berbagai tagar berbentuk dukungan untuk Uighur.
Ismail pun menangkap tren pemberitaan Uighur dalam setahun terakhir.
Selama 12 bulan terakhir, kata Ismail, berita tentang penindasan etnis Uighur, terus menjadi perhatian, dan tak hentinya diberitakan oleh media daring, di Indonesia.
Seperti data per 21 Desember 2018, setidaknya ada 1.030 berita soal tindakan diskriminatif ke Uighur.
Antara lain berupa kewajiban belajar bahasa mandarin, mengubah kepercayaan spiritual, hingga penyiksaan fisik dan psikologi, di kamp penahanan.
Meskipun berita soal diskriminasi terhadap etnis Uighur sempat menurun, selepas Desember 2018, tetapi pada Juli 2019 dan Oktober 2019, berita penyiksaan etnis Uighur kembali ramai dibicarakan.
Terutama pada Desember 2019 ini, usai laporan Wall Street Journal, mengatakan jika pemerintah China, ‘merayu’ ormas Islam Indonesia, agar bungkam.
Ismail mengatakan, ramainya perbincangan Uighur di media sosial dalam setahun terakhir, berhasil membentuk kluster.
Kluster internasional yang dimotori oleh seorang ahli hukum dan HAM, lewat akun Khaled Beydoun; serta kolumnis Timur Tengah, CJ Weleman; dan aktivis yang berjuang melawan Islamofobia.
Namun, Indonesia juga turut serta, sebab warganet Tanah Air, juga ramai memperbincangkan Uighur, hingga menciptakan kluster khusus.
Ismail mencatat, kluster Indonesia dimotori oleh cuitan dari Politisi PKS, Hidayat Nur Wahid; dan CEO dan Founder of AMI Group and AMI Foundation, Azzam Izzulhaq.
Kluster Indonesia, menjadi kluster kedua yang terbesar di media sosial, dan paling ramai membicarakan Uighur.
“Jadi, di level internasional, netizen Indonesia termasuk yang paling besar membangun cluster tersendiri dalam membahas isu Uyghur. Tidak ada negara lain yang netizen-nya bisa membuat cluster sendiri, yang signifikan, seperti di atas,” tulis @ismailfahmi.
Isu Uighur yang digaungkan warganet dunia dalam setahun terakhir adalah kekejaman dalam kamp konsentrasi.
Diamnya dunia atas pelanggaran HAM serta kebebasan beragama di sana pun terus menuai kritik.
Tetapi dalam sepekan terakhir, Indonesia telah menjadi pionir, dalam menyuarakan dukungan untuk Uighur.
Dalam tujuh hari belakangan, kluster Indonesia, telah mengalahkan suara dukungan dari kluster internasional, yang kini mengekor kluster Indonesia.
Menariknya, suara dukungan terhadap Uighur yang telah membentuk kluster Indonesia itu, banyak didukung oleh akun-akun pro-oposisi di Indonesia.
Sementara kluster pro-pemerintah, yang juga mengangkat isu Uighur, lebih memilih menggunakan tagar #MediaWSJPropaganda, sebagai narasi tandingan.
Ada beberapa top influencer yang menggaungkan soal Uighur selama sepekan terakhir, dan didominasi akun Indonesia.
Dari lima top influencer, empat di antaranya merupakan akun Indonesia, yakni @liem_id, @arsian_hidayat, @Ace117115a, dan @IlmFeed.
Indonesia, terbutkti menjadi negara paling ‘bersuara’ dalam membahas soal Uighur, dalam sepekan terakhir.
Ismail bahkan menunjukkan, cuitan dari Indonesia, mencapai hampir 20 ribu, disusul oleh Inggris, di posisi kedua dengan kisaran ribuan cuitan saja.
Sementara negara tetangga, Malaysia, suaranya pun kecil, dan menempati urutan ketiga, baru disusul Amerika Serikat di nomor empat.
Semoga, suara media daring dan masyarakat melalui media sosial, bisa sebanding dengan upaya pemerintah Indonesia, dalam menyuarakan keadilan untuk etnis Uighur.
sumber ngelmu.co
Tidak ada komentar: