Ada Apa Di Bulan Sya’ban ? | ustadz Abu Ghozie

Ada Apa Di Bulan Sya’ban ? | ustadz Abu Ghozie

Alhamdulillah kita sudah di pertemukan kembali dengan bulan Sya'ban, maka ada baiknya jika kita mengkaji hukum syari'at yang berkaitan dengan bulan Sya'ban.

Bulan sya’ban (bulan ke-8 dalam kalender hijriyah) yang jatuh sebelum bulan ramadhan adalah bulan yang memiliki kekhususan, diantara kekhususan tersebut adalah sebagai berikut :

[1] Bulan dilaporkannya amalan tahunan kepada Allah.

Dari Usamah bin Zaid radhiyallahu anhu berkata, “Aku bertanya, wahai Rasulullah , aku tidak pernah melihat engkau berpuasa pada suatu bulan sebagaimana engkau berpuasa pada bulan sya’ban. Rasulullah shalallahu alaihi wasallam menjawab :

ذَلِكَ شَهْرٌ يَغْفُلُ النَّاسُ عَنْهُ بَيْنَ رَجَبٍ وَرَمَضَانَ، وَهُوَ شَهْرٌ تُرْفَعُ فِيهِ الْأَعْمَالُ إِلَى رَبِّ الْعَالَمِينَ، فَأُحِبُّ أَنْ يُرْفَعَ عَمَلِي وَأَنَا صَائِمٌ
Sya’ban adalah bulan yang terlupakan oleh manusia, terletak antara bulan rajab dan ramadhan. Ia adalah bulan yang didalamnya amal perbuatan akan diangkat (dilaporkan) ke sisi Rabb semesta Alam, maka aku lebih suka kalau amalanku dilaporkan sementara akau sedang berpuasa” (HR Ahmad 5/201 no 21753, di shahihkan oleh syaikh Al Albani didalam As Shohihah 4/1898).

Yang dilaporkan dibulan sya’ban ini adalah amalan tahuan, karena amalan amalan hamba itu dilaporkan oleh malaikat kepada Allah dalam tiga waktu :

[a] Amalan tahunan yang dilaporkan di bulan sya’ban, sebagaimana didalam hadits Usamah diatas bahwa Rasulullah shalallahu alaihi wasallam bersabda :

وَهُوَ شَهْرٌ تُرْفَعُ فِيهِ الْأَعْمَالُ إِلَى رَبِّ الْعَالَمِينَ
“Ia adalah bulan yang didalamnya amal perbuatan akan diangkat (dilaporkan) ke sisi Rabb semesta Alam” (HR An Nasa-I, shahih sunan Nasaa-I no : 2221)

[b] Amalan mingguan yang dilaporkan disetiap hari senin dan kamis. Oleh karena itu Rasulullah shalallahu alaihi wasallam banyak melakukan puasa pada hari senin dan kamis.

Dari Abu Hurairah radhiyallahu anhu ia berkata, Rasulullah shalallahu alaihi wasallam bersabda :

«تُعْرَضُ الأَعْمَالُ يَوْمَ الِاثْنَيْنِ وَالخَمِيسِ، فَأُحِبُّ أَنْ يُعْرَضَ عَمَلِي وَأَنَا صَائِمٌ»
“Dilaporkan amalan amalan itu setiap hari senin dan kamis, maka aku suka kalau amalanku dilaporkan dalam keadaan aku sedang berpuasa” (HR Tirmidzi : 747, shahih Targhib watarhib no. 1027, 1029).

[c] Amalan harian yang dilaporkan setiap pagi dan petang. Yaitu pagi pada waktu shalat subuh sedangkan petang pada waktu shalat ashar.

Hal ini didasarkan pada riwayat dari Abu Hurairah radhiyallahu anhu, Rasulullah shalallahu alaihi wasallam bersabda :

يَتَعَاقَبُونَ فِيكُمْ مَلاَئِكَةٌ بِاللَّيْلِ وَمَلاَئِكَةٌ بِالنَّهَارِ، وَيَجْتَمِعُونَ فِي صَلاَةِ الفَجْرِ وَصَلاَةِ العَصْرِ، ثُمَّ يَعْرُجُ الَّذِينَ بَاتُوا فِيكُمْ، فَيَسْأَلُهُمْ وَهُوَ أَعْلَمُ بِهِمْ: كَيْفَ تَرَكْتُمْ عِبَادِي؟ فَيَقُولُونَ: تَرَكْنَاهُمْ وَهُمْ يُصَلُّونَ، وَأَتَيْنَاهُمْ وَهُمْ يُصَلُّونَ
“Silih bergantian pada sisi kalian malikat malam dan malaikat siang, mereka berkumpul pada waktu shalat subuh dan shalat ashar, lalu naiklah malaikat yang semalam bersama kalian, maka Allah bertanya kepada mereka, dan Dia maha mengetahui terhadap mereka,”bagaimana kalian tinggalkan para hamba-Ku ? maka para malaikat menjawab, “kami datangi mereka dalam keadaan shalat (ashar) dan kami tinggalkan mereka dalam keadaan shalat (subuh)” (HR Bukhari : 555, Muslim : 632)

[2] Bulan yang dianjurkan padanya untuk memperbanyak ibadah khususnya ibadah puasa , karena bulan sya’ban adalah bulan yang banyak dilalaikan oleh manusia. Sementara beribadah pada saat saat yang dilalikan oleh manusia pahalanya sangat besar di sisi Allah.

As Syaukani rahimahullah berkata :

الظَّاهِرَ أَنَّ الْمُرَادَ أَنَّهُمْ يَغْفُلُونَ عَنْ تَعْظِيمِ شَعْبَانَ بِالصَّوْمِ كَمَا يُعَظِّمُونَ رَمَضَانَ وَرَجَبًا بِهِ .
Yang nampak bahwa maksud hadits adalah mereka melalaikan dari mengagungkan bulan sya’ban dengan berpuasa padanya, (tidak) sebagaimana mereka mengangungkan ramadhan dan rajab dengan berpuasa” (Nailul Authar 7/151)

Rasulullah shalallahu alaihi wasallam banyak melakukan puasa di bulan sya’ban.

Sebagaimana diriwayatkan dari Aisyah radhiyallahu anha ia berkata :

كَانَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَصُومُ حَتَّى نَقُولَ: لاَ يُفْطِرُ، وَيُفْطِرُ حَتَّى نَقُولَ: لاَ يَصُومُ، فَمَا رَأَيْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ اسْتَكْمَلَ صِيَامَ شَهْرٍ إِلَّا رَمَضَانَ، وَمَا رَأَيْتُهُ أَكْثَرَ صِيَامًا مِنْهُ فِي شَعْبَانَ
Adalah rasulullah shalallahu alaihi wasallam selalu berpuasa sehingga kami mengatakan kalau beliau tidak pernah berbuka (tidak puasa), dan beliau pun berbuka (tidak berpuasa) sehingga kamipun mengatakan kalau beliau tidak pernah berpuasa, aku tidak pernah melihat beliau menyempurnakan puasa satu bulan penuh kecuali puasa bulan ramadhan, dan aku tidak pernah melihat beliau banyak berpuasa selain di bulan sya’ban” (HR Bukhari : 1969, Muslim : 175)

Bahkan saking seringnya Rasulullah shalallahu alaihi wasallam berpuasa di bulan sya’ban, Umu Salamah radhiyallahu anha ia mengungkapkannya dengan ungkapan puasa sebulan penuh :

مَا رَأَيْتُ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَصُومُ شَهْرَيْنِ مُتَتَابِعَيْنِ إِلَّا شَعْبَانَ وَرَمَضَانَ
“Aku tidak pernah melihat Nabi shalallahu alaihi wasallam berpuasa dua bulan berturut turut kecuali pada bulan sya’ban dan ramadhan” (HR Tirmidzi : 736)

Dalam lafadz lain di ungkapkan :

أَنَّهُ لَمْ يَكُنْ يَصُومُ مِنَ السَّنَةِ شَهْرًا تَامًّا إِلاَّ شَعْبَانَ يَصِلُهُ بِرَمَضَانَ.
“Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam setahun tidak berpuasa sebulan penuh selain pada bulan Sya’ban, lalu dilanjutkan dengan berpuasa di bulan Ramadhan.” (HR. Abu Daud : 2336, dan An Nasa’i, Al Kubra : 7966. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini shahih, lihat shahihul jaami’ no 4628)

Yang dimaksud puasa Nabi shalallahu alaihi wasallam di bulan sya’ban ini bukan puasa sebulan penuh tapi maksudnya banyak melakukan puasa tidak seperti bulan bulan lainnya.

Hal ini sebagaimana dijelaskan oleh Al hafidz Ibnu hajar rahimahullah beliau berkata ;

أَيْ كَانَ يَصُوم مُعْظَمَهُ وَنَقَلَ التِّرْمِذِيُّ عَنْ اِبْن الْمُبَارَك أَنَّهُ قَالَ : جَائِزٌ فِي كَلام الْعَرَب إِذَا صَامَ أَكْثَرَ الشَّهْرِ أَنْ يَقُولَ صَامَ الشَّهْرَ كُلَّهُ
“Maksudnya Nabi shalallahu alaihi wasallam banyak berpuasa di bulan sya’ban dan Tirmidzi telah menukil dari Ibnul Mubarak bahwasanya ia berkata, boleh saja dalam bahasa arab apabila seseorang banyak berpuasa di satu bulan untuk dikatakan telah berpuasa di satu bulan penuh” (Fathul bari, Ibnu hajar 4/214)

As Sindi rahimahullah berkata dalam menjelaskan hadits Umu Salamah :

( يَصِل شَعْبَان بِرَمَضَان ) أَيْ : فَيَصُومهُمَا جَمِيعًا ، ظَاهِره أَنَّهُ يَصُوم شَعْبَان كُلّه . . . لَكِنْ قَدْ جَاءَ مَا يَدُلّ عَلَى خِلافه ، فَلِذَلِكَ حُمِلَ عَلَى أَنَّهُ كَانَ يَصُوم غَالِبه فَكَأَنَّهُ يَصُوم كُلّه وَأَنَّهُ يَصِلهُ بِرَمَضَان
“Nabi shalallahu alaihi wasallam menyambung nya antara puasa Sya’ban dengan puasa Ramadhan, yakni beliau puasa kedua duanya (sya’ban dan Ramdhan) dzahirnya hadits menunjukan kalau beliau berpuasa penuh pada bulan sya’ban ..namun telah datang (riwayat) yang menunjukan sebaliknya, oleh karena itu hadits ini di bawa kepada makna bahwa beliau berpuasa hampir seluruhnya dibulan sya’ban seolah seolah dianggap telah berpuasa penuh dibulan sya’ban yang disambung dengan bulan Ramadhan” (Hasyiah As Sindi ‘Ala Sunan Ibni Majah 1/505)

Oleh karena itu Aisyah radhiyallahu anha berkata :

وَلا أَعْلَمُ نَبِيَّ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَرَأَ الْقُرْآنَ كُلَّهُ فِي لَيْلَةٍ ، وَلا صَلَّى لَيْلَةً إِلَى الصُّبْحِ ، وَلا صَامَ شَهْرًا كَامِلا غَيْرَ رَمَضَانَ
Aku tidak pernah tahu Nabi shalallahu alaihi wasallam membaca Al Quran seluruhnya dalam semalam, demikian juga aku tidak pernah tahu beliau shalat malam terus terusan sampai subuh, demikian juga aku tidak pernah tahu beliau puasa sebulan penuh selain puasa dibulan ramadhan” (HR Muslim : 139)

Ibnu Abbas radhiyallahu anhuma berkata ;

مَا صَامَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ شَهْرًا كَامِلا قَطُّ غَيْرَ رَمَضَانَ
Rasulullah shalallahu alaihi wasallam tidak pernah puasa satu bulan penuh selain puasa ramadhan” (HR Bukhari : 1971)

Intinya sebagaimana dzahirnya hadits hadits dan penjelasan para ulama diatas bahwa kita dianjurkan untuk berpuasa dibulan Sya’ban namun tidak seluruhnya selama satu bulan dibulan Sya’ban.

[3] Hikmah memperbanyak ibadah puasa di bulan sya’ban.

Dipilihnya ibadah puasa dibulan sya’ban menjadi ibadah yang utama dan ditekankan untuk melakukannya dan bukan ibadah lainnya adalah mengandung hikmah hikmah yang banyak diantaranya :

[a] Bulan sya’ban adalah bulan saat dilaporkannya amalan amalan hamba kepada Allah, dan pada saat amalan dilaporkan dianjurkan untuk memperbanyak ibadah puasa.

Hal ini didasarkan kepada sabda Nabi shalallahu alaihi wasallam :

….فَأُحِبُّ أَنْ يُعْرَضَ عَمَلِي وَأَنَا صَائِمٌ
“…Maka aku lebih suka kalau amalanku dilaporkan sementara akau sedang berpuasa” (HR Ahmad 5/201 no 21753, di shahihkan oleh syaikh Al Albani didalam As Shohihah 4/1898).

[b] Sebagai ajang latihan untuk membiasakan puasa didalam rangka menyambut bulan ramadhan. Sehingga ketika datang bulan ramadhan seorang muslim sudah terbiasa puasa dan melakukannya dengan penuh semangat. (lathoiful Ma’arif, Ibnu Rajab hal. 141)

[c] Sebagai bentuk ibadah qabliyah (sebelum ramadhan), demikian pula puasa 6 hari di bulan syawwal adalah sebagai bentuk ibadah ba’diyyah (setelah puasa ramadhan).

Rasulullah shalallahu alaihi wasallam bersabda :

مَنْ صَامَ رَمَضَانَ ثُمَّ أَتْبَعَهُ سِتًّا مِنْ شَوَّالٍ، كَانَ كَصِيَامِ الدَّهْرِ
“Barang siapa yang puasa ramadhan lalu diikuti dengan puasa enam hari di bulan syawwal maka ia seperti puasa setahun” (HR Muslim : 204).

[4] Larangan berpuasa pada pertengahan bulan Sya’ban.

Dari Abu Hurairah, bahwasanya Nabi shalallahu alihi wasallam bersabda :

إِذَا انْتَصَفَ شَعْبَانُ فَلا تَصُومُوا
“Apabila sudah masuk Nisfu Sya’ban maka janganlah kalian berpuasa” (HR Abu Dawud : 3237, Ibnu majah : 1651, Tirmidzi : 738, dishahihkan oleh Al Albani dalam shahih Tirmidzi : 590).

Hadits ini menunjukan larangan memulai berpuasa mutlak pada tanggal 16 bulan Sya’ban, sebagaimana yang dikatakan oleh Imam Al-Munawi rahimahullah :

(فَلاَ تَصُوْمُوْا) أَيْ يُحْرَمُ عَلَيْكُمْ ابْتَدَاءُ الصَّوْمِ بِلَا سَبَبٍ حَتَّى يَكُوْنَ رَمَضَان
“Maka janganlah kalian berpuasa, maksudnya haram bagi kalian untuk memulai puasa tanpa sebab, sampai masuk bulan Ramadhan” (Faidhul Qadir, 1/304).

Namun tentang derajat keabsahan hadits inipun diperselisihkan oleh para ulama. Sebagian Ulama seperti Imam Ibnu Qoyyim dan Syaikh Al Albani menshahihkan hadits ini namun Mayoritas dari mereka melemahkannya, sebagaimana di ungkapkan oleh Al hafidz Ibnu hajar :

وَقَالَ جُمْهُورُ الْعُلَمَاءِ يَجُوزُ الصَّوْمُ تَطَوُّعًا بَعْدَ النِّصْفِ مِنْ شَعْبَانَ وَضَعَّفُوا الْحَدِيثَ الْوَارِدَ فِيهِ, وَقَالَ أَحْمَدُ وَابْنُ مَعِينٍ إِنَّهُ مُنْكَرٌ اهـ من فتح الباري . وممن ضعفه كذلك البيهقي والطحاوي .
“Mayoritas para Ulama mengatakan, boleh berpuasa sunnah setelah lewat nishfu sya’ban karena para ulama melemahkan hadits yang datang tentang larangannya. Ahmad dan Ibnu Ma’in mengatakan haditsnya Munkar” (Fathul bari, Ibnu Hajar 4/129)

Bagi mereka yang menshahihkan hadits diatas, maka maksud larangan berpuasa disini adalah bagi yang mengawali berpuasa mutlak setelah masuk pertengahan Sya’ban, Larangan ini dikecualikan dari :
[a] Orang yang memiliki kebiasaan berpuasa, seperti seseorang yang terbiasa puasa Senin Kamis, maka dia (dibolehkan) berpuasa meskipun setelah pertengahan Sya’ban.

Dalil akan hal ini adalah sabda Nabi sallallahu alaihi wa sallam :

لا تَقَدَّمُوا رَمَضَانَ بِصَوْمِ يَوْمٍ وَلا يَوْمَيْنِ إِلا رَجُلٌ كَانَ يَصُومُ صَوْمًا فَلْيَصُمْهُ
“Jangan kalian mendahului Ramadhan dengan berpuasa sehari dan dua hari kecuali bagi seseorang yang terbiasa berpuasa, maka (tidak mengapa) dia berpuasa.” (HR. Bukhari, no. 1914, dan Muslim, 1082)

[b] Orang yang sudah mulai berpuasa sebelum pertengahan Sya’ban, lalu dia ingin melanjutkan puasa sebelumnya hingga setelah pertengahan (Sya'ban). Kondisi ini juga termasuk yang tidak dilarang.

Dalil akan hal ini adalah ungkapan Aisyah radhiallahu anha :

كَانَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَصُومُ شَعْبَانَ كُلَّهُ ، يَصُومُ شَعْبَانَ إِلا قَلِيلا
“Rasulullah sallallahu’alaihi wa sallam berpuasa pada bulan Sya’ban seluruhnya, beliau berpuasa bulan Sya’ban kecuali sedikit saja.” (HR. Bukhari, no. 1970, Muslim, no. 1156. Redaksi hadits dari Muslim)

An-Nawawi rahimahullah berkata:

قَوْلهَا : ( كَانَ يَصُوم شَعْبَان كُلّه , كَانَ يَصُومُهُ إِلا قَلِيلا ) الثَّانِي تَفْسِيرٌ لِلأَوَّلِ , وَبَيَان أَنَّ قَوْلهَا "كُلّه" أَيْ غَالِبُهُ
"Ungkapan;“Rasulullah sallallahu’alaihi wa sallam sering berpuasa pada bulan Sya’ban, beliau berpuasa bulan Sya’ban kecuali sedikit saja.” Kalimat kedua menjelaskan kalimat pertama. Kata ‘kullahu’ (seluruhnya), maksudnya adalah ‘sebagian besarnya".

Hadits ini menunjukkan dibolehkannya berpuasa setelah pertengahan Sya’bah, akan tetapi bagi yang meneruskan puasa sejak sebelum pertengahan (Sya’ban).

[c] Dikecualikan dari larangan ini juga orang yang mengqadha puasa Ramadhan. An-Nawawi rahimahullah berkata :

قَالَ أَصْحَابُنَا لا يَصِحُّ صَوْمُ يَوْمِ الشَّكِّ عَنْ رَمَضَانَ بِلا خِلافٍ . . . فَإِنْ صَامَهُ عَنْ قَضَاءٍ أَوْ نَذْرٍ أَوْ كَفَّارَةٍ أَجْزَأَهُ ، لأَنَّهُ إذَا جَازَ أَنْ يَصُومَ فِيهِ تَطَوُّعًا لَهُ سَبَبٌ فَالْفَرْضُ أَوْلَى . . وَلأَنَّهُ إذَا كَانَ عَلَيْهِ قَضَاءُ يَوْمٍ مِنْ رَمَضَانَ , فَقَدْ تَعَيَّنَ عَلَيْهِ ; لأَنَّ وَقْتَ قَضَائِهِ قَدْ ضَاقَ اهـ .
Para Ulama madzhab kami mengatakan, tidak sah berpuasa pada hari syak (ragu-ragu) menjelang Ramadhan tanpa ada perbedaan pendapat. Maka, kalau dia berpuasa untuk qadha, nazar atau kaffarat (tebusan) maka puasanya sah. Sebab kalau dibolehkan berpuasa sunnah karena suatu sebab, maka (puasa) wajib lebih utama. Karena kalau dia mempunyai tanggungan qadha sehari saja dari Ramadhan, maka hal itu merupakan suatu keharusan baginya, karena waktu qadhanya sudah sempit.” (Al-Majmu, 6/399)

Demikian pembahasan ringkas terkait bulan sya’ban, semoga memotivasi kita untuk selalu berusaha meningkatkan amalan ibadah khususnya dibulan Sya’ban demi menyambut keadatangan Ramadhan bulan yang penuh berkah . Wallahu a’lam.[]

Oleh : Abu Ghozie As Sundawie

Tidak ada komentar: