anak suriah berusaha bertahan hidup di musim dingin yang ekstrim ditambah serangan udara rezim bashar assad

anak suriah di tenda pada musim dingin

Di tempat terbuka dengan cuaca membeku, Mustafa Hamadi dan keluarganya menetap di tenda darurat mereka di desa Killi, di Provinsi barat daya Suriah, Idlib – pengungsian kedua mereka dalam waktu kurang dari setahun. Suhu di bawah nol pada malam 11 Februari membuat mereka terjaga, tepat sebelum tengah malam, Mustafa memindahkan pemanas ruangan gas ke dalam tenda.

Pada pagi hari, Mustafa, istrinya Amoun, anak perempuan mereka berumur 12 tahun Huda dan cucu mereka Hoor, yang baru berumur tiga tahun, ditemukan meninggal dunia karena keracunan karbon monoksida.

Menurut Nizar Hamadi, saudara laki-laki Mustafa yang pada malam hari saling berkirim sms dengannya, tenda mereka – yang terbuat dari pipa logam dan lembaran nilon – tidak memiliki ventilasi yang baik dan tidak banyak melindungi keluarga Mustafa dari dingin.

“Suhu pada malam itu pasti minus sembilan derajat Celcius,” Nizar mengatakan pada Al Jazeera, Selasa, (18/2). “Saudaraku lebih tahu bahaya memasukkan pemanas gas ke dalam ruangan tertutup tanpa ventilasi udara, tapi pilihan apa yang dia miliki?”

Keluarga Hamadi, berasal dari desa Kafrouma di pedesaan Maarat al-Numan, dipaksa meninggalkan rumah mereka pada musim panas lalu dan bergerak lebih jauh ke utara di tengah-tengah pemboman udara pemerintah Suriah yang semakin intensif di Idlib, kubu besar terakhir oposisi di Suriah.

Mustafa dan Nizar menetap di sebuah bangunan sekolah yang belum jadi di kota Binnish, sekitar 8 kilometer timur kota Idlib, sebelum Mustafa pindah ke Killi ketika pemboman semakin banyak.

“Sekolah itu tidak layak untuk ditempati,” kata Nizar. “Tetapi tidak ada satu rumahpun yang tidak ditempati oleh orang-orang telah mengungsi lebih dulu. Beberapa ruangan diisi tiga atau empat keluarga yang tinggal di dalamnya. Orang-orang yang mengungsi seperti bola salju bergulung, semakin besar tiap harinya.”

Para keluarga tidur tanpa tempat bernaung

Didukung oleh kekuatan udara Rusia, tentara Presiden Bashar al-Assad pada April tahun lalu melancarkan kampanye militer besar di Idlib, rumah bagi lebih dari satu juta orang, sebagian besar dari mereka adalah pengungsi dari wilayah lain yang direbut pasukan rezim. Dorongan militer itu mengganggu kerja sama yang rapuh antara Turki dan Rusia – mendukung pihak berlawanan di konflik Suriah – yang menetapkan Idlib sebagai zona de-eskalasi.

Kampanye militer terus berlangsung karena beberapa genjatan senjata gagal bertahan. Pada Desember, pemerintah Suriah mengintensifkan serangannya ke kawasan itu dalam upaya merebut jalan raya M5, yang membentang melalui Provinsi Aleppo dan Idlib dan dulunya merupakan rute komersial penting.

Serangan itu, juga memaksa para penduduk Aleppo barat untuk pindah ke Idlib, telah menewaskan ratusan warga sipil dan menyebabkan perpindahan manusia terbesar sejak perang dimulai pada 2011, setidaknya 900.000 orang terpaksa mengungsi sejak Desember, menurut laporan PBB.

Selain pemboman tak pandang bulu terhadap warga sipil, kurangnya tempat penampungan yang memadai menyebabkan 82.000 orang tinggal di tempat terbuka dengan udara yang membeku, menetap di bawah pepohonan atau lapangan bersalju, PBB mengatakan.

Menurut angka dari badan kemanusiaan PBB, OCHA, 36 persen dari keluarga pengungsi baru ditampung oleh kerabat atau mencari akomodasi sewa, sementara 17 persen mengungsi di kamp-kamp yang telah penuh sesak. Sekitar 15 persen berlindung di bangunan yang belum jadi dan 12 persen masih “mencari tempat berlindung”.

Nizar Hamadi, yang masih tinggal di bangunan sekolah yang belum jadi di Binnish, mengatakan kenyataan bagi banyak orang di kamp pengungsian adalah “pada dasarnya hidup di bawah pepohonan di musim panas, menyiapkan selimut dan kain nilon di musim dingin”.

“Terlepas dari nasib yang dihadapi saudara laki-laki saya dan keluarganya, belum ada satupun organisasi kemanusiaan yang menanggapi tragedy ini dengan memberikan kami perlengkapan hidup atau tenda,” katanya. “Keadaan ini sudah berlangsung hampir dua bulan sekarang. Kami butuh bantuan tetapi simpati tampaknya hanya diperuntukkan bagi berita-berita utama.”

Bayi-bayi mati membeku

Perempuan dan anak-anak – yang merupakan 80 persen dari gelombang pengungsi baru – sekali lagi merupakan yang paling menderita.

Menggambarkan situasi di Suriah telah mencapai “tingkat baru yang mengerikan”, Mark Lowcock, kepala urusan kemanusiaan dan bantuan darurat PBB, mengatakan dalam sebuah pernyataan pada Senin bahwa para pengungsi itu “trauma” dan “dipaksa tidur di luar dengan suhu yang sangat dingin” karena kamp-kamp bantuan telah penuh.

“Para ibu membakar plastik untuk menghangatkan anak mereka. Bayi dan anak kecil sedang sekarat karena kedinginan.”

Di kamp Kalbeet beberapa hari yang lalu, seorang bayi berumur lima bulan, Areej Majid al-Hmeidi, mati membeku, menurut Abu Anwar, seorang penduduk dan petugas fasilitas kamp di dekat perbatasan Suriah-Turki.

Berbicara pada Al Jazeera, Anwar mengatakan keluarga Areej tidak ingin berbicara kepada media karena “mereka menyalahkan diri mereka sendiri karena tidak membuatnya cukup hangat untuk tetap hidup”.

Kondisi di sini “tidak tertahankan”, katanya.

“Orang-orang membakar sampah agar tetap hangat,” tambah Anwar. “Ada 800 keluarga di sini, atau sekitar 5.500 orang, dan hanya ada satu organisasi yang membantu kami dengan menyediakan air.”

‘Kesunyian mutlak, tidak adanya tindakan’

Sara Kayyali, seorang peneliti Human Rights Watch di Suriah, mengatakan wilayah barat laut Suriah sedang menghadapi “krisis kemanusiaan yang belum pernah terjadi sebelumnya”.

Salah satu masalah, dia mengatakan pada Al Jazeera, adalah “skala perpindahan melampaui apa yang mampu ditanggapi oleh para aktivis kemanusiaan.”

“Masalah lain adalah kekerasan – serangan mortir dan serangan udara – tidak hanya mengakibatkan perpindahan besar-besaran, tetapi juga berdampak pada kemampuan untuk menyediakan tempat berlindung dan makanan secara berkelanjutan,” lanjutnya.

Mayada Qabalan, seorang pekerja kesehatan dengan Union of Medical Care and Relief Organizations (UOSSM) yang bekerja di rumah sakit di Sarmada Idlib, mengatakan kondisi para pengungsi telah mencapai “titik puncak”.

“Apa yang saya lihat dengan mata saya sendiri sangat memilukan,” dia mengatakan pada Al Jazeera. “Para keluarga tidur di bawah pohon tanpa penutup. Hanya beberapa hari lalu kami menemukan sebuah keluarga dari Taftanaz, sekitar 17 kilometer barat laut Idlib, yang tinggal di luar dengan cuaca dingin.

Satu tenda berharga 150 AS Dolar, kata Qabalan, tetapi kelompok-kelompok kemanusiaan sangat kekurangan sumber daya dan tenaga untuk menawarkan bantuan.

“Organisasi kemanusiaan tidak memiliki kapasitas untuk membantu pengungsi baru ini dan situasi bencana yang mereka hadapi,” katanya.

Kayyali mengatakan sementara kisah-kisah yang keluar dari Idlib dan Aleppo barat bukanlah hal baru dalam konflik Suriah, mereka “terkejut dengan keheningan mutlak dan kurangnya tindakan yang terjadi”.

“Seolah-olah orang menonton dan menunggu ketika mereka bisa bertindak untuk menyelamatkan jutaan warga sipil yang secara efektif terperangkap,” katanya. hidayatullah.com

Tidak ada komentar: