Ketika Wabah: Cukup Shalat Jama’ah; Jangan Ditambah Dengan Bid’ah

Ketika Wabah: Cukup Shalat Jama’ah;

Al-Hafizh Ibnu Hajar Al-‘Asqalani -rahimahullaah- berkata dalam “Badzlul Maa’uun Fii Fadhli ath-Tha’uun” (hlm. 366):

“(Wabah tha’un) terjadi di Samarqand dan Balkh; maka yang mati setiap hari seribu atau lebih. Siang malam manusia sibuk untuk memandikan, mengkafani dan menguburkan. Maka di antara mereka ada yang jantungnya terpecah karena darah dari jantung, sehingga muncul tetesan dari mulutnya, maka langsung mati tersungkur. Terkadang muncul ulat dari mulutnya yang tidak diketahui apa itu, maka dia pun mati. 

Dan ditutup lebih dari seribu rumah yang ada di negeri tersebut, tidak tersisa seorang pun. MAKA MANUSIA BERTAUBAT, BERSEDEKAH, MENETAPI MASJID, MEMBACA (AL-QUR-AN) MENUMPAHKAN KHAMR-KHAMR (minuman yang memabukkan), DAN MENGHANCURKAN BERBAGAI MACAM ALAT (musik). Dan terjadi kebetulan bahwa sebuah rumah yang ada khamr-nya; penghuninya mati dalam semalam, ada juga seorang yang memasukkan seorang wanita yang haram (ke dalam rumahnya); maka keduanya mati. 

Sekelompok orang masuk ke dalam suatu rumah dan mendapati seorang laki-laki sedang sekarat, ia mengisyaratkan kepada mereka ke arah sebuah lemari yang di dalamnya ada tempat air berisi khamr, maka mereka membuangnya dan ia pun langsung sehat saat itu juga. Ada seorang pengajar anak-anak ia punya sembilan ratus murid dan tidak tersisa satu pun.”

Dan sebelumnya Al-Hafizh berkata (hlm. 328-330):

“Berdo’a untuk mengangkat bala’ tidaklah terlarang dan tidak menentang takdir -secara asal dari do’a itu sendiri-. Adapun berkumpul dalam berdo’a layaknya shalat istisqa’; maka bid’ah yang terjadi dengan sebab wabah tha’un besar yang terjadi pada tahun 749 H di Dimasyq. Aku baca pada juz milik Al-Manbiji setelah pengingkarannya terhadap orang yang mengumpulkan manusia pada satu tempat, kemudian mereka berdo’a dan berteriak dengan teriakan yang tinggi, dan hal itu terjadi pada tahun 764 H tatkala terjadi wabah tha’un di Dimasyq, beliau menyebutkan bahwa (wabah) itu terjadi mulai tahun 749 H. Manusia keluar ke tanah lapang dan umumnya mereka adalah para pembesar negeri, mereka berdo’a dan beristighatsah, sehingga tha’un menjadi besar dan banyak, padahal sebelum do’a mereka itu: wabahnya ringan.

Saya (Al-Hafizh) berkata: dan hal itu juga terjadi di zaman kami, ketika pertama kali terjadi tha’un di Kairo pada tanggal 27 Rabi’ul Awwal 833 H. Jumlah yang meninggal awalnya di bawah empat puluh. Kemudian manusia keluar ke tanah lapang pada tanggal 4 Jumadal Ula dan mereka berkumpul, berdo’a dan tinggal selama satu jam, kemudian mereka kembali. Tidaklah berlalu bulan itu sampai jumlah yang meninggal pada setiap harinya di Kairo menjadi di atas seribu, kemudian terus bertambah. Kemudian ada permintaan fatwa tentang hal itu, maka sebagian orang memfatwakan: disyari’atkannya hal tersebut. Mereka bersandar kepada keumuman dalil tentang do’a, dan yang lainnya bersandar bahwa pernah terjadi pada zaman raja Al-Mu-ayyad dan hal itu membantu. Dan (waktu itu) hadir sekelompok ulama dan mereka tidak mengingkari.

Sekelompok ulama memfatwakan bahwa meninggalkan hal itu lebih utama, dikarenakan khawatir dari fitnah dengannya membantu atau tidak (untuk hilangnya wabah). Karena kalau hal itu membantu; maka tidak akan merasa aman dengan adanya pengakuan (bahwa bid’ah itu membantu -pent), dan kalau tidak membantu; maka tidak akan aman dari prasangka buruk terhadap para ulama, orang shalih, dan do’a. Dan saya menempuh cara seperti ini dalam jawabanku. Dan aku tambahkan: bahwa kalaulah cara itu disyari’atkan; tentunya tidak akan tersamar atas para Salaf, kemudian atas para Fuqaha’ berbagai kota dan para pengikut mereka pada zaman-zaman sebelum itu. Tidak sampai kepada kami kabar tentang hal itu atau atsar dari para muhaddits, tidak juga tertulis cabang (fiqih) dari seorang Fuqaha’ pun. Lafazh-lafazh do’a dan sifat-sifat orang yang berdo’a: memiliki kekhususan dan berbagai rahasia, tiap-tiap kejadian dikhususkan dengan yang selayaknya. Dan yang mu’tamad (yang dijadikan sandaran) dalam masalah tersbut adalah: ittiba’ (mengikuti dalil) dan tidak ada jalan untuk mengqiyaskan dalam hal itu.”

KESIMPULAN:

1- Bahwa Musibah Tho’un (penyakit menular) dan wabah lainnya adalah karena dosa-dosa dan maksiat.

2- Semua yang terjadi adalah berjalan dengan kehendak dan takdir Allah.

3- Adanya wabah adalah sebagai ujian dan cobaan bagi orang-orang yang beriman.

4- Soal kematian ribuan manusia akibat wabah: sudah ada sejak zaman dahulu.

5- Obat dari wabah tersebut adalah dengan:

a. Bertaubat kepada Allah dengan Taubat Nashuha; taubat yg benar, ikhlas dan jujur, serta tidak mengulangi dosa lagi.
b. Banyak bersedekah.
c. Shalat berjama'ah di Masjid.
d. Membaca Al-Qur-an.
e. Menjauhkan minum-minuman keras.
f. Menghancurkan alat-alat musik, jangan main musik lagi, dan jangan dengarkan musik-musik lagi.

6- Jangan membuat do'a-do'a dan acara-acara yang bid’ah ketika terjadi wabah.

7- Dalam beragama: wajib berpegang kepada dalil-dalil yg shahih dari Rasulullah -shallallaqhu 'alaihi wa sallam-.

8- Wajib berpegang teguh kepada Al-Qur-an dan As-Sunnah menurut pemahan Salaf dan mengikuti perbuatan mereka ketika terjadi wabah dan bencana.

Mudah-mudahan Allah selamatkan kita dari pemahaman yg sesat dan menyesatkan. Dan mudah-mudahan Allah selamatkan kita dan keluarga kita dan kaum muslimin dari Wabah Corona dan berbagai macam penyakit yg buruk.

Aamiin.
-Ahmad Hendrix-

Tidak ada komentar: