Nasehat Syaikh Ali Bin Hasan Al-Halabi hafizahullah tentang wabah corona

Nasehat Syaikh Ali Bin Hasan Al-Halabi hafizahullah tentang wabah corona

Yang ingin saya sampaikan adalah: apa yang berkaitan dengan pengumuman hari ini di media-media dan sudah tersebar di masyarakat; yaitu: terjadinya kasus pertama penyakit corona di negeri kita Urdun (Yordan).

Dan Sebagaimana telah kita sebutkan bahwa negeri Urdun merupakan bagian dari dunia ini. Dan penyakit ini bermula di Cina, kemudian berpindah ke sebagian negeri Eropa, Negeri Asia, dan sebagian negeri Arab; maka bukan hal yang mustahil bahwa penyakit tersebut berpindah juga ke negeri kita -karena kita bagian dari dunia ini-, maka apa yang menimpa dunia; akan menimpa kita juga. Dan Allah -‘Azza Wa Jalla- berfirman:

{قُلْ لَنْ يُصِيْبَنَا إِلَّا مَا كَتَبَ اللهُ لَنَا...}
“Katakanlah (Muhammad), “Tidak akan menimpa kami melainkan apa yang telah ditetapkan Allah bagi kami…” (QS. At-Taubah: 51)

Dari sini ini kita akan memulai sebuah kalimat ringkas, yang saya tidak ingin memperpanjang. Sebagaimana dikatakan: “Kewajiban sekarang mengharuskan adanya peringatan dan isyarat.” Maka kita senantiasa mengingat firman Allah:

{وَالْعَصْرِ * إِنَّ الْإِنْسَانَ لَفِيْ خُسْرٍ * إِلَّا الَّذِيْنَ آمَنُوْا وَعَمِلُوا الصَّالِحَاتِ وَتَوَاصَوْا بِالْحَقِّ وَتَوَاصَوْا بِالصَّبْرِ}
“Demi masa, sungguh, manusia berada dalam kerugian, kecuali orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal shalih serta saling menasihati untuk kebenaran dan saling menasihati untuk kesabaran.” (QS. Al-‘Ashr: 1-3)

Dikarenakan (kewajiban nasehat) inilah kita bicara tentang masalah ini.

Dalam musnad Imam Ahmad dan yang lainnya (Sunan Abu Dawud, An-Nasa-i, dan Shahih Ibnu Hibban), dari hadits Anas -radhiyallaahu ‘anhu-, bahwa Nabi -shallallaahu ‘alaihi wa sallam- biasa berdo’a:

اللَّهُمَّ إِنِّيْ أَعُوْذُ بِكَ مِنَ البَرَصِ، وَالْجُنُوْنِ، وَالْجُذَامِ، وَمِنْ سَيِّءِ الْأَسْقَامِ
“Ya Allah, sesungguhnya aku berlindung kepada-Mu dari penyakit belang, gila, lepra, dan segala penyakit yang buruk.”

Yakni: Rasul yang mulia -‘alaihish shalaatu was salaam- berlindung dari penyakit atau wabah wabah tertentu (penyakit belang, gila, & lepra) secara khusus, kemudian beliau berlindung secara umum dari seluruh penyakit-penyakit yang buruk.

Dalam hadits yang lain Rasulullah -shallallaahu ‘alaihi wa sallam- bersabda:

الطَّاعُوْنُ شَهَادَةٌ لِكُلِّ مُسْلِمٍ
“(Wabah) tha’un adalah mati syahid bagi setiap muslim.”

Inilah perbedaan antara seorang muslim muhtasib (yang mengharap pahala) dengan yang lainnya. Muslim muhtasib mengharap pahala di sisi Rabb-nya atas segala yang menimpanya, sampai duri yang mengenai seorang mukmin; maka dia mendapat pahala sebagaimana disabdakan oleh Nabi -shallallaahu ‘alaihi wa sallam-.

Dan di dalam Al-Qur-an yang mulia Allah firmankan:
{مَا أَصَابَ مِنْ مُصِيْبَةٍ إِلَّا بِإِذْنِ اللهِ...}
“Tidak ada sesuatu musibah yang menimpa (seseorang), kecuali dengan izin Allah;…” (QS. At-Taghabun: 11)

Maka, setiap perkara yang menimpamu adalah sesuatu yang telah tertulis (ditakdirkan) atasmu. Akan tetapi, bagaimana engkau menyikapinya? Engkau tidak mengetahui apa yang Allah tetapkan atasmu, karena ini termasuk perkara yang ghaib. Akan tetapi yang terpenting adalah: apa yang dituntut darimu? Yang dituntut darimu adalah mengambil sebab-sebab.

Dan mengambil sebab-sebab dalam kasus kita ini adalah terbangun di atas tiga asas.

Asas yang PERTAMA: semangat untuk mengikuti kaidah-kaidah syari’at yang telah dijelaskan oleh syari’at yang bijaksana ini kepada kita. Dan ilmu kedokteran baru seratus tahun kemudian mengisyaratkan dan menetapkan hal ini. Yaitu dalam masalah (wabah) tha’un yang Rasulullah -shallallaahu ‘alaihi wa sallam- bersabda:

إِذَا سَمِعْتُمْ بِهِ بِأَرْضٍ، فَلَا تَدْخُلُوْهَا عَلَيْهِ، وَإِذَا دَخَلَهَا عَلَيْكُمْ، فَلَا تَخْرُجُوْا مِنْهَا فِرَارًا
“Jika kalian mendengar (tha’un) ini menimpa suatu negeri; maka janganlah kalian memasuki (negeri) tersebut, dan janganlah kalian keluar dari negeri (yang terkena wabah) tersebut.”

Ini yang dinamakan “al-Hajr ash-Shihhi” (karantina) yang kita dengar sekarang siang dan malam.

Akan tetapi karantina ini berbeda antara:

- jika wabah menimpa suatu negeri secara keseluruhan, dengan
- negeri yang wabahnya hanya menimpa beberapa orang tertentu saja.

Jika wabah hanya menimpa beberapa orang tertentu saja; maka yang wajib dalam karantina adalah “al-‘Azl” (karantina terbatas), yang ini lebih sempit dari karantina secara umum.
Dan jika terjadi kesamaran (terindikasi tapi belum positif -pent); maka karantina terbatasnya harus lebih jelas; dimana yang samar (terindikasi) dipisahkan dari yang lain (yang sehat).

Dan kita sekarang dalam fase atau keadaan di mana yang positif terkena hanya satu, akan tetapi ada kesamaran. Maka yang samar ini hendaknya tidak dicampur (dengan yang sehat -pent).

Jadi, hal ini memang berkaitan dengan ilmu kedokteran, akan tetapi syari’at telah menjelaskan kepada kita tentang hal ini. Oleh karena itulah di antara kaidah para fuqaha’ (ahli fikih) adalah:

“Mencegah lebih mudah daripada mengangkat.”

Artinya: mencegah sesuatu dengan cara menjaga diri darinya; itu lebih mudah daripada sesuatu tersebut menimpa kita, kemudian baru kita mulai berusaha menghilangkan dan mengangkat serta membebaskan diri darinya.

Mana yang lebih utama? Mana lebih mudah? Dan mana yang lebih bagus? Tidak diragukan bahwa: mencegah lebih utama.

Ada ungkapan yang tersebar dan dikenal oleh anak kecil maupun dewasa: “Satu dirham (yang dikeluarkan) untuk mencegah lebih baik daripada harta yang banyak (yang dikeluarkan) untuk mengobati.”

Ini adalah perkataan yang masuk akal dan diterima secara syari’at dan sesuai dengan realita.

Adapun point yang KEDUA; adalah: berobat.

Umpama ada seseorang yang terkena penyakit ini -dan kita minta kepada Allah agar memberikan kesehatan kepada kita, kepada kalian, dan kepada seluruh kaum muslimin-; maka tidak ada suatu penyakit pun melainkan ada obatnya.

Sampai di negeri barat yang memang ada kabar yang sampai kepada kita tentang meninggalnya banyak orang. Akan tetapi ada juga kabar tentang adanya keberhasilan dan kesembuhan. Maka kita jangan hanya melihat suatu perkara dari sisi gelapnya saja; karena hal ini akan menyebabkan munculnya rasa takut dan pesimis di antara kita, dan ini semuanya tidak boleh.

Memang ada rasa takut yang tabi’at dan ini bagian dari tabi’at manusia. Akan tetapi terkadang jika perkaranya keluar dari batasan secara tabi’at (menjadi paranoid -pent); maka ini musibah, dan tidak boleh bagi seorang muslim untuk melakukannya.

Point yang KETIGA: bahwa Nabi -shallallaahu ‘alaihi wa sallam- telah mengajarkan kepada kita do’a yang kalau seorang muslim membacanya tiga kali di waktu pagi dan petang; maka tidak akan ada sesuatu yang bisa membahayakan dirinya. Yaitu do’a:

“Dengan menyebut nama Allah yang dengan nama-Nya: tidak ada sesuatu pun yang membahayakan, baik di bumi maupun di langit. Dialah Yang Maha Mendengar dan Yang Maha Mengetahui.”

Ini merupakan benteng di antara benteng-benteng penjaga yang sangat banyak.

Kenapa tidak kita jadikan pada lisan dan hati kita, senantiasa pagi dan petang: untuk membaca ayat kursi, surat-surat “al-Mu’awwidzaat” (Al-Ikhlash, Al-Falaq, dan An-Nas), dan Al-Fatihah yang merupakan Ummul Kitab. Ini semua -Insya Allah- bisa menjadi lebih besar (manfaatnya) bagi seorang mukmin yang yakin terhadap Rab-Nya; dibandingkan makanan (obat-obatan), karantina ataupun yang lainnya.

Kita tidak menafikan karantina dan semisalnya, kita menetapkan dan kita mengusahakannya; akan tetapi: sekedarnya.

Jangan kita besar-besarkan perkara!
Dan jangan pula meremehkannya!

Hendaknya kita bersikap pertengahan dalam hal tersebut. Hendaknya kita bersikap pertengahan dalam memahami dan mengatasi permasalahan.

Dan Nabi -shallallaahu ‘alaihi wa sallam- ketika bersabda:

احْفَظِ اللهَ؛ يَحْفَظْكَ
“Jagalah Allah; niscaya Allah akan menjagamu.”

Maka kalimat “niscaya Allah akan menjagamu” ini mencakup bukan hanya satu jenis penjagaan saja (hanya dalam urusan agama -pent) sebagaimana disangka sebagian orang; akan tetapi ini adalah penjagaan yang mencakup (urusan dunia -pent).

Oleh karena itulah dikatakan kepada seorang ulama yang umurnya sudah sangat tua: Bagaimana anda -masya Allah- masih gagah dan semangat padahal umur anda sudah sangat tua. Ulama itu berkata: “Anggota tubuhku telah aku jaga ketika masih muda; maka Allah menjaga anggota tubuh tersebut ketika aku sudah tua.”

“Jagalah Allah; niscaya Allah akan menjagamu.”

Kemudian, di antara kaidah dari ‘aqidah kita (dalam masalah takdir -pent): adalah seperti yang disabdakan oleh Nabi -shallallaahu ‘alaihi wa sallam-:

وَاعْلَمْ أَنَّ الْأُمَّةَ لَوِ اجْتَمَعَتْ عَلَى أَنْ يَضُرُّوْكَ بِشَيْءٍ؛ لَمْ يَضُرُّوْكَ إِلَّا بِشَيْءٍ قَدْ كَتَبَهُ اللهُ عَلَيْكَ، رُفِعَتِ الْأَقْلَامُ، وَجَفَّتِ الصُّحُفُ
“Ketahuilah, seandainya semua umat berkumpul untuk membahayakanmu; maka mereka tidak dapat membahayakanmu kecuali dari apa yang telah Allah takdirkan untuk menimpamu. Pena (pencatat takdir) telah diangkat dan lembaran-lembaran (catatan takdir) telah kering.”

Maka saya katakan sebagai penguat apa yang telah saya sampaikan sebelumnya: kita harus bersemanagat, berhati-hati, menjaga diri dan memperhatikan karantina sesuai dengan tempat, waktu dan syarat-syaratnya. Di lain segi, barangsiapa yang tertimpa musibah penyakit ini: maka hendaknya dia bersabar dan berdo’a kepada Allah dan berobat, karena “tidak ada suatu penyakit pun kecuali ada obatnya” sebagaimana disabdakan oleh Nabi -shallallaahu ‘alaihi wa sallam-.

Dan saya tidak ingin memperpanjang pembicaraan ini. Yang saya sampaikan hanyalah sebagai peringatan bagi diriku dan bagi saudara-saudaraku.

Saya minta kepada Allah -Subhaanahu Wa Ta’aalaa- agar menyelamatkan kita, kalian dan kaum muslimin semuanya, dan agar menghilangkan dari kita dan dari kalian: musibah, wabah, dan segala penyakit. Sungguh, Rabb-ku Maha Mendengarkan do’a. Dan penutup do’a kita adalah: “Alhamdu Lillaahi Rabbil ‘Aalamiin” (segala puji bagi Allah Rab seuruh alam).

-ditulis oleh: Ahmad Hendrix

https://drive.google.com/file/d/14Is2_sAs4DR6lCq7zz1SmjVtEQiuiWcc/view?usp=drivesdk

Tidak ada komentar: