Pelajaran dari kisah Dawud bin Ali Azh Zhahiri, jangan remehkan orang lain

Pelajaran dari kisah Dawud bin Ali Azh Zhahiri

Sering kali kisah inspiratif islami lebih menyentuh iman dan berkesan daripada ribuan nasehat yang panjang dan lebar. Jiwa manusia sangat menyukai kisah yang menakjubkan sehingga dia termotivasi dan terinspirasi untuk menjadi sosok yang lebih baik dari sebelumnya. Inilah kisah Dawud bin Ali Azh Zhahiri yang menguasai fiqih, alim dalam Al-Qur’an, hafal banyak hadits. Ia seorang imam terkemuka wafat pada bulan Ramadhan tahun 270 H.

Suatu hari, Dawud sang imam ini pernah mengalami sebuah kisah yang menohok. Kisah ini pun kemudian mengubah cara berpandangannya secara total. Dahulu, sebagaimana rutinitas harian beliau, ketika itu Dawud duduk di atas kursinya sebagai guru yang menyampaikan berbagai materi ilmu untuk murid-muridnya. Di tengah-tengah pelajaran, seorang yang terlihat masih asing turut duduk bergabung di dalam majelisnya.

Dawud rupanya menganggap remeh orang baru tersebut. Sebuah pertanyaan lalu dilemparkan untuk orang itu. Sebuah pertanyaan, menurut Dawud, pertanyaan yang mudah dan ringan, “Apa yang anda ketahui tentang berbekam?”.

Tak disangka, Orang itu dengan lancarnya menyebutkan beberapa dalil tentang berbekam. Kata-katanya mengalir deras ketika menukilkan pendapat dan keterangan para tabib terkenal mengenai berbekam. Rupanya orang itu memiliki wawasan yang luas. Bahkan di akhir penjelasan, orang itu menutupnya dengan kata-kata menohok, “asal usul berbekam itu justru dari negeri kalian, dari negri Al-Ashbahan!” (At Tajul Mukallal, hal 246).

Demikianlah momen mengesankan seorang imam yang mendapat ibrah berharga bahwasanya Islam melarang umatnya meremehkan orang lain. Sikap tawadhu’ justru akan meninggalkan jejak-jejak kemuliaan, seberapapun hebat atau shalihnya seorang hamba. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
مَا نَقَصَتْ صَدَقَةٌ مِنْ مَالٍ وَمَا زَادَ اللَّهُ عَبْدًا بِعَفْوٍ إِلَّا عِزًّا وَمَا تَوَاضَعَ أَحَدٌ لِلَّهِ إِلَّا رَفَعَهُ اللَّهُ
“Sedekah tidak akan mengurangi harta seseorang. Allah akan menambahkan kewibawaan seseorang hamba yang pemaaf. Tidaklah seorang hamba itu bersikap tawadhu kecuali Allah akan tinggikan ia.” (HR. Muslim, no.2588).

Kemuliaan insan terletak pada keimanan dan kadar ketaqwaannya, bukan sekedar dari penampakan lahiriyah semata yang kadang membuat orang tertipu.

Kita tidak boleh merasa lebih hebat dan lebih baik dari saudara muslim yang lain. Setiap insan memiliki kelebihan sebagaimana kita pun mempunyai banyak kekurangan seperti dalam hal jasmani ataupun akhlak. Dan kesempurnaan hanya milik Allah ‘

Pepatan Arab mengatakan, “La tahtaqir man dunaka fainna likulli syaiin maiyyah”. Maksudnya, janganlah kalian meremehkan siapapun yang ada di bawah kalian, karena sesungguhnya setiap hal memiliki maiyyah (kelebihan)” (Dikutib dari Majalah Tasfiyah edisi 19 1433H hal 104-105)

Sungguh luhur akhlak Dawud Adz Dzahiri yang tak malu menceritakan momen “pahit”nya ketika bermajlis dengan sesama saudara muslim. Sebuah pelajaran indah bahwa Allah menganugerahi hamba-hamba-Nya sebagai kelebihan yang sepantasnya kita menghargai orang lain. Mengikis habis kesombongan dan merasa besar diri dengan kelebihan yang dimilikinya.

Setan selalu memprovokasi orang beriman dan meniupkan api permusuhan dengan sesama mukmin. Jangan merasa bangga dengan amal shalih kita. Jangan merasa aman dari dosa. Karena kita tak tahu apakah Allah ta’ala akan mengampuninya!

Dari Uthbah bin Abd rahimahullah, Rasulullah shalallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda :
لَوْ أنَّ رَجُلًا يُجَرُّ عَلَى وَجْهِهِ مِنْ يَومِ وُلِدَ إِلَى يَوْمِ يَمُوْتُ هَرَمًا فِيْ مَرْضَاةِ اللهِ عَزَّ وَ جَلَّ لَحَقَرَهُ يَوْمَ الْقِيَامَةِ
“Jika seorang semenjak hari dilahirkannya sampai tua dan hingga kematiannya ia selalu berada dalam keridhaan Allah ‘azza wa jalla, niscaya di hari kiamat ia akan meremehkan semua amalnya itu.” (Diriwayatkan oleh Imam Ahmad: 21/246, Ath Thabrani dalam Al Kabir 19/249 dan dishahihkan oleh Al Albani).

Wallahu a’lam.

Referensi :
1. Majalah Qudwah edisi 14,1435 H
2. Majalah Tashfiyah edisi 19 1433H
3. Panjang usia banyak pahala mau? (terjemah), Dr. Ibrahim An Nu’aim, Wafa Press, Solo, 2008

Penulis: Isuwanti Ummu Nashifa

Artikel Muslimah.or.id

Tidak ada komentar: