Setiap sore menjelang gelap, Mohammad Asif pulang ke rumah orang tuanya setelah seharian bekerja mengangkut penumpang dengan becak listriknya. Namun pada 20 Desember, 2019, malam telah tiba, Asif belum juga pulang, dan orang tuanya sangat khawatir.
Hari itu di Meerut, salah satu kota di bagian selatan India, di mana mereka tinggal, ratusan rekan Muslim mereka telah melakukan protes terhadap Undang-Undang Amendemen Kewarganegaraan baru India (The Citizenship Amendment Act (Bill) atau disingkat CAA)– yang membatasi akses Muslim terhadap kewarganegaraan – dan terjadi bentrokan dengan polisi. Sekitar pukul 10 malam itu, seseorang memforward kepada orang tua Asif foto dari anak laki-laki mereka yang telah beredar di WhatsApp.
Asif meninggal, dengan wajah mengadah, dan mulut terbuka, dengan lubanga merah di dadanya. Dia telah ditembak dan tewas di tempat itu.
“Seorang pria yang membawanya ke rumah sakit mengatakan dia melihat seorang polisi menembak putra saya,” kata ayah Asif pada Foreign Policy.
Aseelm Ansari merupakan tetangga Asif. Ketika dia tidak sedang merawat kedua orang tuanya, Ansari bekerja di sebuah restoran, memanggang chapatis di dalam oven tandoori. Ketika aksi protes meningkat hari itu, pemilik restoran menutup restoran lebih awal dan menyuruh Ansari pulang. Namun takdir menjemputnya. Dalam perjalanan pulangnya, dia ditembak tepat di kepala.
“Peluru menembus tengkoraknya dan keluar di sisi lain,” kata saudara laki-lakinya Sallauddin. Dalam sebuah video yang dia tunjukkan pada Foreign Policy, seorang saksi berjaket kulit hitam mengangkat tangan Ansari dan mengatakan, “Polisi membunuh pria ini, dia baru saja meninggal.”
Dalam sebuah video lain yang dilihat Foreign Policy, otak Ansari nampak tercecer di trotoar. Ansari baru berumur 21 dan baru saja menikah.
Asif dan Ansari di antara lebih dari 20 Muslim yang keluarganya mengatakan telah dibunuh oleh sebagian besar petugas polisi Hindu pada hari itu, di negara bagian Uttar Pradesh, tempat Meerut berada. Ribuan lainnya ditangkap. Sejak itu, protes terhadap UU CAA terus berlanjut di seluruh India. Aksi juga ditentang tidak hanya Muslim, tetapi juga orang India dari berbagai latar belakang.
Umumnya menentang undang-undang yang memberlakukan batasan pada hak-hak sipil yang semata-mata didasarkan pada agama. Namun belakangan ini, aksi protes telah berubah menjadi bentrokan sektarian yang mematikan.
Pekan lalu di New Delhi, 46 orang terbunuh karena gerombolan besar Hindu menyapu kota itu. Jika keterangan para saksi dan aktivis hak sipil benar, maka kepolisian di Meerut dan kota Uttar Pradesh lain telah memainkan peran penting dalam menghasut dan menyulut kekerasan.
Kekerasan telah menarik semakin banyak warga India untuk turun ke jalan, serta membuat Muslim dan Hindu saling berhadap-hadapan.
Sejak itu, para aktivis hak sipil mengatakan, polisi di tempat lain sering berdiri diam selama ada kekerasan. Atau bahkan secara aktif memihak warga Hindu.
Kekerasan awal polisi yang terjadi di Uttar Pradesh membawa arti khusus bagi warga India. Sebagai negara bagian terpadat di India, negara bagian ini adalah benteng kekuatan politik yang urusannya bergema jauh melampaui perbatasannya. Ini juga menjadi rumah bagi populasi terbesar Muslim India – sekitar satu per lima dari 200 juta penduduknya – di luar Jammu dan Kashmir yang disengketakan.
Di Meerut, hampir 40 persen dari 1,2 juta penduduknya adalah Muslim, termasuk banyak Muslim Dalit, yang nenek moyangnya pindah dari Hindu ke Islam untuk menghindari penindasan yang tidak tersentuh di bawah sistem kasta Hindu. Sebagai bagian dari struktur etnis dan agama yang rumit India, komunitas-komunitas tersebut sebagian besar telah hidup damai sejak Partisi 1947.
Sementara perdamaian itu kadang-kadang diselingi oleh kekerasan komunal, peristiwa-peristiwa di Meerut pada 20 Desember memiliki kualitas yang berbeda, karena mereka tidak melibatkan bentrokan dengan mayoritas Hindu. Jika tuduhan itu benar, Muslim dengan sengaja dijadikan sasaran oleh polisi.
Kekerasan dimulai pada 23 Februari dan berlangsung selama beberapa hari, menewaskan sedikitnya 46 orang di Delhi, mayoritas dari mereka adalah Muslim/TIME
Undang-undang Diskriminatif
Protes dan bentrokan telah terjadi sejak bulan Desember. Ketika parlemen India mensahkan Undang-Undang Amendemen Kewarganegaraan (CAA) baru yang dirasakan kaum Muslim sebagai ancaman terhadap status mereka yang seharunsya memiliki hak kewarganegaraaan yang setara.
Undang-undang itu memberikan jalur khusus kewarganegaraan kepada imigran dari negara sekitar – tetapi hanya jika pelamarnya adalah Hindu, Sikh, Buddha, Parsi, Jain atau Kristen. Para kritikus mengatakan UU CAA adalah upaya terang-terangan Perdana Menteri Narendra Modi untuk mengimplementasikan visinya tentang negara yang didominasi Hindu. Menopang dukungan di kalangan mayoritas non-Muslim, dan meningkatkan ketegangan sektarian.
Selain itu juga dikatakan bahwa Modi menggunakan UU itu – dan konflik yang diakibatkannya – untuk mengalihkan perhatian dari masalah lain. Termasuk ekonomi yang memburuk, yang tumbuh pada laju paling lambat dalam lebih dari enam tahun selama kuartal tahun 2019.
Muslim India selalu dibuat ketakutan oleh politik Modi. Dia berkuasa di negara bagian Gujarat pada 2022, ketika sekitar 1.000 Muslim terbunuh dalam sebuah pogrom, pembantaian terorganisir dari sebuah etnis tertentu. Dia dituduh membenarkan pembantaian dan tidak melakukan cukup banyak tindakan untuk menghentikan pembunuhan.
Pada tahun 2005, pemerintah AS menolaknya untuk mendapatkan visa diplomatik karena diduga perannya dalam kerusuhan tersebut. Beberapa politisi Hindu di Bharatiya Janata Party (BJP) telah secara terbuka menyetujui kematian di Uttar Pradesh.
Dilip Ghosh, pemimpin BJP di negara bagia Bengal Timur, mengatakan para korban telah “ditembak seperti anjing” – dan jika “diberi kesempatan, kami akan melakukan hal yang sama.” Politisi BJP lain yang menghasut di Delhi, Kapil Mishra, menyerukan para pendukungnya untuk “menembak para pengkhianat.”
Ketua Menteri Uttar Pradesh, Yogi Adityanath, biksu nasionalis Hindu, bersumpah akan “balas dendam” jika ada pengunjuk rasa yang melanggar hukum. Pesan ini, yang oleh kebanyakan pendengarnya diterapkan kepada Muslim.
Kritik menyalahkan para politisi BJP karena membenarkan dan bahkan mendorong kekerasan polisi terhadap Muslim. Komentar-komentar mereka “menunjukkan kekuasaan penuh mutlak yang diberikan kepada polisi untuk membungkam pemrotes dengan menembak mati orang-orang di sekitarnya,” kata Sanjay Hegde, seorang pengacara hak sipil terkemuka yang membawa kasus-kasus ke Mahkamah Agung India. “Pesan menampakkan bahwa petugas polisi tidak akan diminta pertanggungjawaban,” lanjutnya.
Kavita Krishnan, sekretaris di All India Progressive Women’s Association dan anggota politburo Partai Komunis India, mengatakan pada Foreign Policy bahwa kebanyakan korban ditembak di atas dada. Menurutnya, ini menunjukkan niat bahwa para pelaku bukan untuk menghentikan kerumunan, namun untuk membunuh.
Umat Islam sadar bahwa jalan menuju keadilan akan membosankan di India. Sallauddin, saudara laki-laki dari salah satu korban Meerut, mengatakan ada lebih dari 10 saksi mata atas kematian saudaranya. Namun tidak ada satupun yang mau maju karena mereka takut aksi pembalasan.
Dia mengatakan keluarga telah mencari saksi mata yang berbicara dalam video. Tetapi mereka telah diberitahu bahwa saksi di video itu telah meninggalkan kota.
Polisi telah menangkap ratusan orang karena melemparkan batu dan bentuk kekerasan lainnya. Polisi bahkan terus menambahkan nama mereka dalam daftar tersangka.
Banyak pria muda telah meninggalkan rumah mereka di lingkungan yang didominasi Muslim di Meerut dan kota-kota lain di Uttar Pradesh — bukan karena kesalahan, tetapi karena mereka khawatir mereka mungkin menjadi target penangkapan berikutnya.
Pihak berwenang Uttar Pradesh mengatakan polisi hanya bertanggung jawab atas dua kematian pada 20 Desember — dua pemrotes di Kota Bijnor. Polisi menyebut, penembakan ini untuk membela diri.
Di Meerut, polisi mengatakan para pengunjuk rasa secara tidak sengaja saling menembak atau bahwa para korban terbunuh di tempat lain. Namun video-video bentrokan itu memperlihatkan polisi menembaki para pengunjuk rasa di depan mata.
Ali Zaidi, seorang pengacara yang berbasis di Delhi yang mewakili keluarga Ansari, mengatakan polisi mengklaim bahwa Ansari meninggal di tempat lain. Dalam sebuah video yang ia bagikan kepada Foreign Policy, terlihat bahwa polisi membawa tubuh Ansari ke mobil hitam. “Polisi berusaha menutupi jejak mereka,” kata Zaidi.
Banyak Muslim di India mencurigai pemerintah mereka telah berupaya menyangkal tempat mereka dalam masyarakat India — dan bahwa undang-undang baru itu hanyalah langkah pertama. Aktivis hak-hak sipil menuduh pemerintah Modi sengaja menanamkan rasa takut di kalangan umat Islam, dan menekan mereka agar mulai meninggalkan negara itu.
Di Uttar Pradesh, polisi Hindu menggeledah beberapa rumah Muslim dan mengatakan bahwa “properti mereka dan rumah mereka akan segera menjadi milik [umat Hindu],” kata Krishnan.
Peristiwa ini telah membuat keluarga para korban sangat hancur. Mereka mengatakan bahwa mereka telah berdamai dengan status mereka di negara mayoritas Hindu. Tetapi tidak dapat memahami mengapa India tidak lagi menjadi rumah bagi mereka.
“Mengapa mereka terus meminta kita untuk pergi ke Pakistan, apakah Pakistan paman kita?” Saudara laki-laki Ansari, Sallauddin, berkata. “Kami adalah orang India, kami mencintai India, leluhur kami memilih untuk tinggal di India. Ini tanah air kami juga.” hidayatullah.com
Tidak ada komentar: