Fenomena Ruwaibidhoh : politikus aljazair serukan tidak puasa ramadhan karena covid-19

politikus aljazair serukan tidak puasa ramadhan karena covid-19

Diantara fenomena akhir zaman, yaitu maraknya ruwaibidhoh bermunculan ke permuka’an ditengah-tengah umat.

Seorang Sahabat bertanya,

وَمَا الرُّوَيْبِضَةُ ؟
“Apakah Ar-Ruwaibidhoh ?”

Kemudian dijelaskan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam,
Ruwaibidhoh adalah :
” الرَّجُلُ التَّافِهُ فِي أَمْرِ الْعَامَّةِ ”
“Seorang laki-laki yang bodoh tetapi sok mengurusi urusan orang banyak”.

(Hr. Ibnu Majah No. 4036. Ahmad No. 7912).

Yang dimaksudkan bodoh dalam hadits diatas ialah orang yang tidak memiliki kapasitas, namun melibatkan diri kepada urusan orang banyak, tampil kepermuka’an kemudian mengeluarkan pendapat-pendapat atau penafsiran-penafsiran menurut pribadinya seolah-olah dirinya pakar atau ahlinya.

Ruwaibidhoh berbicara menurut hawa nafsunya. Menafsirkan Al-Qur’an menurut pendapatnya sendiri seolah-olah dia ahli tafsir, memaknai hadits seolah-olah dirinya ahli hadits, bicara sejarah seolah-olah dirinya pakar sejarah, bicara permasalahan fiqih, seolah-olah dirinya ahli fiqih.

Para ruwaibidhoh bisa muncul ke permuka’an ditengah-tengah umat karena mereka memiliki kemampuan bicara dan sederet gelar akademik yang disandangnya, semacam sarjana, magister, doktor bahkan profesor. Sehingga orang awam menyebut mereka cendikiawan. Mereka juga terkadang memiliki posisi di organisi masa, lembaga atau ke partaian.

Tentang ruwaibidhoh disebutkan dalam sebuah hadits sebagai berikut, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :
سَيَأْتِي عَلَى النَّاسِ سَنَوَاتٌ خَدَّاعَاتُ، يُصَدَّقُ فِيهَا الْكَاذِبُ، وَيُكَذَّبُ فِيهَا الصَّادِقُ، وَيُؤْتَمَنُ فِيهَا الْخَائِنُ، وَيُخَوَّنُ فِيهَا الْأَمِينُ، وَيَنْطِقُ فِيهَا الرُّوَيْبِضَةُ، قِيلَ: وَمَا الرُّوَيْبِضَةُ؟ قَالَ: «الرَّجُلُ التَّافِهُ فِي أَمْرِ الْعَامَّةِ»
“Akan datang kepada manusia tahun-tahun penuh kebohongan, sa’at itu pendusta dibenarkan, orang yang benar justru didustakan, pengkhianat diberikan amanah, orang yang dipercaya justru dikhianati, dan Ar-Ruwaibidhoh berbicara”. Ditanyakan : “Apakah Ar-Ruwaibidhoh ?”. Beliau bersabda : “Seorang laki-laki yang bodoh tetapi sok mengurusi urusan orang banyak”. (Hr. Ibnu Majah No. 4036. Ahmad No. 7912).

Hadits tentang ruwaibidhoh diatas sebagai nubuwat kenabian Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Dan merupakan cela’an kepada ruwaibidhoh juga sebagai peringatan dari Rasulullah kepada umatnya, supaya waspada dari sepak terjang mereka.

Sifat buruk dari ruwaibidhoh adalah berani membuat penafsiran-penafsiran terhadap ayat-ayat Al-Qur’an atau memaknai hadits atau berfatwa atau berpendapat dalam permasalahan agama menurut logikanya. Hal ini sangat berbeda dengan para Shalafus Shalih.

Dalam taarikh Dimasyq Ibnu Asakir meriwayatkan bahwa Atho Ibnu Rabah rahimahullah pernah ditanya tentang sesuatu. Atho Ibnu Rabah menjawab : “Aku tidak tahu”. Penanya kembali berkata : “Tidakkah engkau mau mengutarakan pendapat pribadimu dalam masalah ini ?” Atho Ibnu Rabah menjawab :
إني أستحي من اللَّه أن يدان فِي الأرض برأيي
“Aku malu pada Allah, jika orang-orang dimuka bumi ini beragama dengan pendapatku”.

Abu Bakar Ash-Shiddiq radhiyallaahu ‘anhu pernah berkata : ‘Bumi mana yang akan ku pijak, dan langit mana yang akan sanggup menaungiku, jika aku berkata tentang ayat dari kitab Allah dengan ra’yu-ku (pendapatku) atau dengan apa yang aku tidak tahu.’

Itulah sikap para Shalafus Shalih teladan umat. Mereka sangat khawatir mengelurkan pendapat dalam permasalahan agama menurut ra’yu-nya (logikanya). Padahal mereka paling faham tentang Islam.

● Ruwaibidhoh Sumber Perselisihan Umat.
.
Dalam sebuah kisah disebutkan. Pada satu hari, Umar bin Khatab radhiyallahu ‘anhu menyendiri. Dia berkata dalam hatinya, mengapakah umat ini saling berselisih, sementara Nabi mereka satu ? Lalu ia memanggil Abdullah bin Abbas Radhiyallahu anhu. Umar bertanya kepadanya : “Mengapa umat ini saling berselisih, sementara Nabi mereka satu. Kiblat mereka juga satu dan Kitab suci mereka juga satu ?” Ibnu Abbas Radhiyallahu ‘anhu menjawab, “Wahai Amirul Mukminin, sesungguhnya Al Qur’an itu diturunkan kepada kita. Kita membacanya dan mengetahui maksudnya. Lalu datanglah sejumlah kaum yang membaca Al Qur’an, namun mereka tidak mengerti maksudnya. Maka setiap kaum punya pendapat masing-masing. Jika demikian realitanya, maka wajarlah mereka saling berselisih. Dan jika telah saling berselisih, mereka akan saling menumpahkan darah”. (kitab Al I’tisham, karya Asy Syathibi, II/691).

Tidak ada komentar: