Penjelasan Ustadz Dzulqornain M Sunusi terkait seputar masalah takfir mu’ayyan

Penjelasan Ustadz Dzulqornain M Sunusi

Penjelasan Ustadz Dzulqornain M Sunusi حفظه الله  mengenai Tulisan Ustadz Jakfar Soleh.

"Telah berulang kali ditanyakan kepada Saya tentang pemilik berbagai status seputar masalah takfir mu’ayyan. Juga, telah lama Saya mengamati berbagai pemikiran keliru dan pemahaman pribadi yang dia nisbahkan kepada para ulama. Oleh karena itu, Saya menasihatkan agar tidak membaca igauan-igauan pemilik status di atas.

Telah berulang kali orang-orang memberi perhatian kepadanya, dari kalangan masyaikh Ahlus Sunnah dan para asatidzah, agar tidak masuk ke dalam masalah-masalah yang memicu keributan sebagai bentuk nasihat dan cinta kebaikan untuk si pemilik status, tetapi sikap “sok paling tahu” dan “berbangga dengan pendapat sendiri” lebih mendominasinya.

Alhamdulillah, Saya tidak memiliki keraguan sedikit pun akan kekeliruan pemikiran-pemikiran miring pemilik status di atas. Namun, dalam sebagian kesempatan yang Allah ‘Azza wa Jalla anugerahkan kepada Saya, yaitu beberapa majelis bersama guru kami, Syaikh Shalih Al-Fauzan hafizhahullah, Saya menanyakan beberapa pertanyaan berkaitan dengan beberapa pernyataan pemilik status di atas.

Walaupun, sebenarnya majelis-majelis Saya bersama Syaikh Al-Fauzan adalah untuk sejumlah urusan dakwah, membaca beberapa pembahasan aqidah Salaf, dan berbagai pertanyaan ilmiah.

Berikut beberapa hal yang Saya tanyakan kepada Syaikh Al-Fauzan berkaitan dengan “fatwa-fatwa” si pemilik status di atas. Semoga keterangan tersebut bisa menyadarkannya dan mengembalikannya ke jalan yang lurus.

Si pemilik status berkata, “Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab menukil ijma' dalam perkara ini dalam kitab beliau Mufidul Mustafid. Dan menukil bahwa ini pendapat Syaikhul lslam Ibnu Taimiyah dan IbnulQayyim.

Yaitu muslim yang melakukan syirik besar batal islamnya secara personal / ta'yin. Sehingga lebel baginya musyrik kafir.”

Syaikh Shalih Al-Fauzan berkomentar, “Orang ini tidak memahami maksud dari (keterangan) yang disebutkan di dalam kitab tersebut. Takfir mu'ayyan itu ada, tetapi penetapannya terhadap orang tertentu kembali kepada para ulama.”

Dalam beberapa status, si pemilik status juga menetapkan bahwa siapa saja yang terjatuh ke dalam syirik akbar yang zhahir, dia langsung dilabeli sebagai kafir atau musyrik.

Syaikh Al-Fauzan berkomentar, “Seseorang dikatakan sebagai kafir atau musyrik jika dia bukan jahil atau jika dia tidak terpaksa.”

Kaidah batil si pemilik status, “Tawaffurus syurut wantifa'ul mawani' merupakan kaidah yang agung namun pemberlakuannya hanya dalam masalah khafiyah bukan dalam masalah dhahirah.”

Syaikh berkomentar, “Para ulama tidak membedakan kaidah tawaffurusy syuruth wa intifa`ul mawani’ dalam persyaratan takfir dalam perkara zhahirah maupun khafiyah.”

Pemilik status berkata, “UDIN anaknya pak Lurah kampung antum kalo sujud kepada kuburan dengan sadar ia kafir.”

Syaikh berkomentar, “Tidakkah dia bertanya bahwa dengan alasan apa (Si Udin) melakukan sujud tersebut?”

Saya berkata, “Orang ini (pemilik status di atas) memandang bahwa tidak diberi udzur berupa kejahilan dalam hal yang seperti ini.”

Syaikh berkata, “Sebenarnya orang itulah yang jahil.”

Termasuk kelancangan si pemilik status dalam berfatwa adalah bahwa dia berkata, “Termasuk pembatal keislaman adalah:

Membela orang-orang musyrik dalam memerangi muslimin. Seperti apabila terjadi peperangan antara muslimin dgn kafirin. Kemudian ada seorang muslim menolong si kafir.

Dan menolong disini apakah dengan harta, pikiran atau tenaga dan persenjataan. Apakah musyrik ini orang Kristen, Yahudi atau non muslim lainnya.

Barangsiapa melakukan perbuatan ini maka jika dia muslim, batal islamnya. 

Karena perbuatan ini tidak lahir melainkan dari seseorang yang hatinya membenci Islam dan kemenangannya atas kaum kafirin. Meskipun lisannya menampakkan kecintaan tapi perbuatannya ekspresi dari keadaan hati dia yang sesungguhnya.

Wabillahit-taufiq.”

Syaikh Shalih Al-Fauzan berkomentar, “Dari mana dia memastikan kekafiran terhadap orang tersebut? Mungkin saja orang tersebut terpaksa atau memiliki udzur lain.”

Di sela-sela penjelasan beliau, Syaikh Al-Fauzan menyebut orang-orang yang memiliki paham di atas dengan beberapa sifat:

1- Muta‘alim “sok pintar”.
2- Jahil murakkab “jahil kuadrat”, yang lebih parah daripada jahil basith “sama sekali tidak tahu”. 

Mungkin Saya perlu menerangkan bahwa jahil murakkab adalah kondisi seseorang yang memahami sesuatu dengan menyelisihi hal yang sebenarnya. Contohnya adalah seseorang yang ditanya tentang hewan luwak maka dia menjawab, “Luwak itu adalah kucing.” Adapun jahil basith, contohnya adalah seseorang yang ditanya tentang luwak maka dia menjawab, “Saya tidak tahu.”

Syaikh juga mengingatkan tentang sebagian orang yang pada dirinya berjalan paham takfiry, sedang orang tersebut tidak menyadari hal itu.

Syaikh menyebutkan pula bahwa dasar kekeliruan dari pemahaman-pemahaman di atas adalah hanya membaca buku tanpa mengambil dan memahami kandungan buku dari seorang guru yang ahli.
Sebagaimana juga Syaikh menasihatkan berulang kali agar Saya menasihati kawan-kawan dan murid-murid untuk tidak masuk ke dalam pembahasan-pembahasan seputar pengafiran secara individu (takfir mu‘ayyan) dan tidak menyibukkan mereka dalam hal tersebut. Sebab, urusan pengafiran adalah perkara yang berbahaya sebagaimana yang dimaklumi dan memiliki keterkaitan dengan banyak konsekuensi, seperti tidak dishalatkan ketika meninggal, tidak bisa mewarisi, dan konsekuensi lainnya.

Pada hari Ahad, 27 Rabi’ul Awal 1436 H, bertepatan dengan 18 Januari 2015 M, beberapa mahasiswa yang baik dari Universitas Islamiyah Madinah –waffaqahumullah li kulli khair- berkunjung kepada Syaikh Shalih Al-Fauzan di kantor Al-Lajnah Ad-Da`imah. Di antara pertanyaan mereka adalah tentang masalah udzur berupa kejahilan. Syaikh pun menasihatkan, “Hendaknya Kalian belajar dengan baik dan, insya Allah, setelah belajar nanti Kalian akan tahu tentang udzur berupa kejahilan itu.”

Jika terhadap para mahasiswa jurusan agama saja Syaikh Shalih Al-Fauzan menganjurkan sedemikian rupa, kira-kira bagaimana dengan orang-orang awam, bahkan orang-orang yang tidak dikenal dari kalangan pengikut pemilik status di atas?

Akhirnya, Saya menutup tulisan ini dengan beberapa nasihat ringkas:

Pertama, hendaknya setiap orang menyibukkan dirinya dengan hal yang bermanfaat dan jangan menyibukkan manusia dengan perkara yang memicu keributan dan kerancuan pemikiran.

Kedua, hendaknya Kita menjaga diri dari membuat kaidah-kaidah pribadi yang tidak pernah diajarkan oleh para ulama. Pemilik status di atas telah terjatuh ke dalam hal ini sebagaimana Luqman Baabduh, Muhammad Sewed, dkk. juga terjatuh ke dalam hal yang sama.

Ketiga, dalam sebagian pembahasan, kadang sebagian orang menganggap bahwa dirinya berpegang dengan fatwa ulama dan mengikuti keterangan para ulama dalam buku-buku mereka. Namun, ketika hal tersebut diajukan kepada para ulama, tampak kebatilan pemahaman sebagian orang tersebut.
Hal ini tampak pada pemilik status di atas, tetapi lebih tampak pada Luqman Baabduh cs. Insya Allah, Saya akan menguraikan “obat” yang cocok untuk kerusakan-kerusakan yang diperbuat oleh Luqman Baabduh cs. dalam sebuah tulisan. Semoga Allah memberkahi dan memudahkan penulisan tersebut.

Keempat, hendaknya seorang dai mengedepankan sikap memaafkan dan bersikap tenang dalam segala masalah yang dihadapi. Bukan dengan mengikuti kebiasaan diri yang gampang emosi dan sering lepas kontrol. Bukan pula dengan kebiasaan mengancam, ingin memenjarakan, dan yang semisalnya yang hanya berasal dari sikap orang-orang kurang memiliki pengetahuan dan ketakwaan.

Kelima, jika seseorang lebih memandang bahwa mencari nafkah untuk keluarganya adalah lebih wajib daripada berdakwah di jalan Allah, hendaknya dia fokus mencari nafkah –semoga Allah mencukupinya dan menjaganya dari segala fitnah dunia-, tetapi jangan menyibukkan para dai lain, yang fokus berdakwah, berupa hal-hal yang memberatkan dan membahayakan mereka.

Sebagaimana, jika seseorang sering gagal dalam berdakwah dan memiliki banyak program dakwah yang kandas, jangan menyibukkan para dai lain dengan membanggakan “keberhasilan dakwah sebagian orang” guna menyudutkan kawan-kawannya sendiri.

Bersikaplah lebih inshaf dan adil kepada kawan-kawan sendiri yang memiliki berbagai kebaikan dakwah dan kemajuan di perbagai belahan tanah air. Mungkin, banyak pengaruh positif dari dakwah mereka yang telah memberi manfaat kepada banyak manusia, yang sebelumnya gambaran positif itu tidak pernah Anda kenal dan dengar.

Selain itu juga, di antara sikap inshaf dan adil adalah, jika memang ingin memaksakan agar orang lain mengikuti pendapatnya dalam takfir mu’ayyan, hendaknya dia menerapkan kaidah dan keyakinannya kepada semua orang. Jangan hanya fokus kepada kawan-kawan sendiri. 

Hal ini tampak ketika ada seseorang yang berkomentar dengan menukil tulisan orang lain yang berjudul “Menurutnya.. " Allah Sang Pendongeng.." (Perspektif Ulil Sang Liberal)”, si pemilik status hanya memberi judul, “Apakah Mas Ulis muslim?!” Seharusnya “Sang Liberal” tersebut langsung diberi label kafir menurut kaidah si pemilik status. 

Oleh karena itu, seharusnya dia menasihati pemilik tulisan yang dia nukil beserta kawan-kawannya yang dia banggakan “keberhasilan dakwahnya” untuk bersikap benar tentang masalah takfir mu’ayyan.

Semoga Allah memberi taufiq kepada kita semua menuju kepada jalan yang lurus. Amin.
Copas St akhi Rais Hamka HafidhahulLah..
repost from Abu Naayif Iqbal

Tidak ada komentar: