Jangan Tanyakan Lagi Dengan Apa Aku Berlayar | kisah perjuangan dai illallah

kisah perjuangan dai illallah

Saya tidak mengharuskan semua dai kudu jadi pedagang atau pegawai, tapi semua team atau murid khusus saya, saya tekankan untuk bisa berdagang, sekalipun online. Usahakan produktif. Team kami semuanya thullab al-ilm alhamdulillah. Di sisi lain, mereka bekerja untuk dakwah. Di sisi lain lagi, sebagian mereka pedagang atau pekerja. Ada yang berdagang cilok malah belakangan ini. Alhamdulillah saya dengar darinya dagangannya laris. Saya sangat bangga akan itu. Walau hatta ada yang dagang kayu bakar, saya bangga akannya.

Ada juga murid saya dagang ikan peliharaan, atau kain, atau jadi reseller ini itu. Semua sangat saya banggakan.

Sebagian ada yang fokus di mengajar sekolahan. Saya bangga akan mereka.

Sebagian ada yang mengajar tahfizh dan tahsin. Mereka adalah orang yang terbaik. Lebih baik dari saya (jika betul saya orang baik).

Sekiranya saya ingin punya mobil dan sewa supir pribadi, itu sudah termampu sejak lampau masa. Beberapa pihak mendesak saya untuk itu. Bahkan sebagian dari keluarga menghimbau agar begitu. Tapi saya katakan tidak dan tidak. Karena itu akan membuat saya berubah. Bahkan team saya bisa berubah. Saya tidak mau ada team yang keluar mobil di parkiran masjid dengan kejumawaan. Lalu kami keluar mobil disaksikan sesiapa laksana boyband bikin video klip.

Kecuali jika memang perjalanan terlalu jauh dan saya akan keletihan atau sudah letih, maka kita sewa mobil dan driver.

Di beberapa majelis (terutama kajian tematik), panitia tawarkan jemputan. Mereka baik sekali. Tapi saya tidak mau merepotkan mereka yang sudah berjuang. Sejujurnya, sampai kadang saya katakan ke panitia, "Afwan, khawatir merepotkan. Tugas antum belajar saja." Kecuali mungkin kajian luar kota nun jauh di sana. Ini beda cerita.

Saya tuturkan kenikmatan ini semua agar semua berkiblat ke cermin siapa kita semua dahulunya. Wong saya dulu pedagang pepes dan gorengan sembari belajar dan mengajar.

Sebagian panitia dan rekan menganjurkan agar saya ganti kendaraan, dari roda dua jadi roda empat. Mungkin karena mereka sangat mencintai saya yang lemah ini. Tapi sebagaimana yang saya tuturkan di atas.

Sebagiab panitia, rekan bahkan keluarga menganjurkan agar motor saya diganti jadi yang lebih bagus, sambil kadang menyebutkan nama-nama dai ternama dengan merek motor mereka. Tapi saya lebih taqlid kepada fatwa beberapa tukang bengkel yang sudah pernah service motor saya. Jangan diganti. Mesinnya bandel. Lagipula, tidak bagus juga membandingkan satu dai dengan lainnya hanya dari segi kendaraan, sendal, pakaian atau jumlah team. Tugas hadirin atau panitia kan belajar. Tugas dai mengajar dan mendidik. Mau pakai yang mewah silakan, tapi itu BUKAN TUJUAN. Jika aksesoris dijadikan tujuan, pastilah ada penyimpangan!

Lihatlah dai-dai di desa misalnya, kendaraan mereka mungkin terbelakang, tapi mungkin niat baik mereka terdepan dan nama mereka tersiar bertalu-talu di langit.

Lihatlah dai-dai di pondok pesantren, mereka apa adanya bahkan kadang dengan gaji pas-pasan. Tapi sebagian murid mereka lulus Madinah.

Lihatlah sebuah cerita yang saya pernah dengar dan juga saksikan. Seorang dai yang tak punya uang sama sekali dan tak bisa menjual apapun. Sampai petang berunding dengan istri beliau kepada siapa harus cari hutangan, karena malam itu tak ada apapun untuk dimakan. Sepulang shalat Isya, sumringah wajah sang dai di pintu rumah. Apa karena dapat hadiah parcel? Dapat motor? Mobil? Atau sarung BHS?

Tidak. Sumringah membawa kabar gembira karena akhirnya dapat uang 100.000, berhutang dari jema'ah shalat yang ia temui di masjid. Yang mungkin uang segitu bagi sebagian pihak hanya untuk beli jajanan buka puasa. Tapi ada sebagian di sana pihak yang jasanya seharusnya dimuliakan dengan feedback besar, namun bagi mereka 100.000 itu senilai dengan air mata.

Sementara besarnya tabungan kita, megahnya properti kita dan tingginya penghasilan kita, menjadi penghambat air mata. Entah kapan terakhir kita menangis karena melihat sebagian pihak termarjinalkan. Kadang hati yang keras harus dihajar dengan musibah, barulah ia memahami bahwa:

"Sesuatu itu baru ternilai betapa berharganya setelah hilangnya ia"

Tidak ada komentar: