Jurnal ilmiah "gerakan salafi di indonesia bukan aliran sesat dan radikal"

gerakan salafi di indonesia bukan aliran sesat dan radikal

Paham keagamaan Salafi di Indonesia tidak berbeda dengan gerakan keagamaan yang lain, dimana mereka mengusung dan memperjuangkan tegaknya nilai-nilai keislaman. Hal yang membedakan kaum Salafi dengan gerakan lain adalah bagaimana mereka memahami agama, fokus, dan strategi dakwahnya. Pemahaman agama kaum Salafi merujuk pada pemahaman Islam tiga generasi terbaik Islam, yakni para sabahat, tabiin, dan tabiin-at-tabiin.

Sementara fokus dakwahnya dengan menekankan pada ajaran tauhid. Adapun strategi yang dilakukan adalah mendidik kaum muslimin dengan ajaran agama yang telah mengalami taαΉ£fiyah dan tarbiyah. Artinya, kaum muslimin diajarkan dengan agama yang bersih dari berbagai anasir-anasir yang tidak bersumber dari Allah dan Rasul-Nya. Pola gerakan Salafi di Indonesia demikian masif dengan melakukan kajian, dan pendirian lembaga-lembaga pendidikan dan pesantren.

Berkembang pesatnya dakwah kaum Salafi tidak lepas dari tumbuh menjamurnya kajian-kajian secara intensif yang merambah di perkotaan maupun pedesaan. Kajian-kajian yang demikian intensif itu semakin berkembang secara masif ditopang oleh media sosial, baik radio, televisi, Facebook, What’sApps, maupun majalah atau buletin.

Kajian-kajian yang intensif itu benar-benar menumbuhkan spirit beragama yang kemudian mendorong mereka untuk membentuk komunitas-komunitas dan akhirnya mendirikan lembaga pendidikan dan pesantren. Tumbuh berkembangnya lembaga pendidikan dan pesantren itu mulai dari tingkat dasar, menengah hingga perguruan tinggi.

Perkembangan dakwah kaum Salafi yang demikian pesat inilah yang kemudian memperoleh respons negatif dari kelompok masyarakat yang merasa tersaingi atau terancam eksistensinya. Penekanan pada tauhid dan menolak budaya agama yang tercampuri oleh budaya lokal, yang bertentangan dengan Islam, membuat dakwah kaum Salafi ini mendapatkan tantangan dari mereka yang merasa tersaingi.

Tantangan itu, misalnya, mulai dari tuduhan, tekanan, ancaman, hingga pengusiran merupakan kenyataan yang sulit dihindari. Adapun tuduhan sesat dan radikal, larangan untuk mengadakan kajian, demonstrasi untuk menghentikan dakwah hingga pengusiran dari tempat tinggal tidak menyurutkan langkah untuk terus berdakwah.

Larangan membangun masjid atau lembaga pendidikan merupakan bagian yang tak terelakkan. Namun, hal ini tidak menyurutkan langkah mereka untuk terus bergerak menyebarkan dakwah tauhid. Kompatibilitas paham keagamaan mereka dalam konteks deradikalisasi Islam di Indonesia bisa dilihat dari dua sisi.

Pertama, kaum Salafi merupakan gerakan dakwah yang meneguhkan prinsip-prinsip beragama dengan menekankan pada tauhid.

Penyematan sebagai kelompok radikal tidak bisa dipungkiri karena kaum Salafi memiliki kesamaan ekspresi beragama melalui penampilan fisik mereka dengan gerakan-gerakan Islam lainnya, seperti berjenggot, celana cingkrang. Namun, faktanya, gerakan dakwah Salafi ini juga dianggap sebagai “musuh” oleh kelompok takfΔ«rΔ« yang menganggap gerakan Salafi sebagai gerakan yang lemah dalam menghadapi penguasa yang zalim.

Kedua, Pancasila merupakan ideologi negara yang tidak perlu dipertentangkan dengan Islam karena inti dari Pancasila banyak terinspirasi oleh nilai-nilai ajaran Islam.

Dengan kata lain, Pancasila merupakan hasil karya dan pemikiran umat Islam. Penafsiran yang salah terhadap butir-butir Pancasila, sebagaimana yang ditafsirkan oleh kelompok liberal dan sekuler, berpotensi besar untuk memunculkan penyimpangan terhadap nilai-nilai Islam.

Ketiga,
demokrasi merupakan fitnah bagi umat Islam. Dalam pandangan kaum Salafi, demokrasi merupakan sistem politik yang bersumber dari orang Barat dan kafir. Sementara Islam sendiri memiliki konsep tersendiri dalam memilih pemimpin, yang disebut dengan istilah shu‘arā. Dalam konsep ini, hanya orang-orang tertentu dengan kapasitas dan kemampuan, baik dalam hal agama maupun pemerintahan, yang dilibatkan dalam proses pemilihan pemimpin.

Sementara demokrasi melibatkan seluruh unsur masyarakat. Dalam pandangan pandangan kaum Salafi, demokrasi demikian “menuhankan” jumlah suara sehingga satu suara ulama disetarakan dengan satu suara orang awam yang tidak mengerti agama. Oleh karena itu, kaum Salafi tidak terlalu memfokuskan diri pada Pemilu yang merupakan bagian dari proses demokrasi.

Meskipun tidak mengikuti proses Pemilu, kaum Salafi tetap mengakui hasil pemilihan pemimpin dengan mengakui kepemimpinannya. Inilah yang membedakan kaum Salafi dengan gerakan Islam lainnya dalam merespons demokrasi. Meskipun seandainya mereka mengikut proses Pemilu dengan memilih figur seorang pemimpin, bagi mereka hal yang demikian bukan berarti mereka mengikuti proses berdemokrasi tetapi semata-mata memotivasi untuk merespons keadaan.

Artinya, keadaan harus memilih satu di antara dua pemimpin yang dipandang mampu membawa kemaslahatan bagi umat Islam. Pertumbuhan gerakan dakwah Salafi yang semakin pesat, mulai dari perkotaan hingga pelosok pedesaan, telah menimbulkan gesekan. Pertumbuhan ini dianggap bisa mengganggu eksistensi kelompok yang selama ini mapan.

Oleh karena itu, diperlukan kedewasaan dari kedua belah pihak, dan pihak ketiga sebagai jembatan–dalam hal ini pemerintah– untuk melakukan komunikasi guna meminimalisir terjadinya gesekan, menumbuhkan perasaan saling menghargai dan menghormati terhadap perbedaan yang ada. Maraknya persekusi terhadap kelompok yang dianggap radikal dan sesat semakin memperuncing konflik di tengah masyarakat.

Munculnya sebagian kelompok masyarakat yang membubarkan pengajian atau mengusir kelompok yang dianggap menyimpang seharusnya dapat dihindari. Oleh karena itu, diperlukan perangkat dan kepastian hukum, serta mendorong masyarakat untuk melaporkan pelaku tindakan yang meresahkan masyarakat kepada pihak yang berwajib. Perangkat hukum harus dipersiapkan guna mencegah dan menangani konflik berlatar belakang agama. Demikian pula, masyarakat perlu memiliki rasa percaya terhadap aparat penegak hukum dalam menangani kasus-kasus tersebut.

Hal ini diperlukan dalam rangka menjaga stabilitas sosial di masyarakat dan mencegah kegaduhan yang kontraproduktif. Oleh karena itu, penelitian ini mengharapkan terciptanya iklim bermasyarakat yang tidak mudah terprovokasi oleh klaim-klaim menyesatkan, sehingga melakukan tindakan-tindakan kontraproduktif atau mudah melakukan tindakan persekusi terhadap kelompok yang dianggap sesat dan radikal.

Di sisi lain, pemerintah juga diharapkan menjadi hakim yang bersifat netral dengan menegakkan aturan yang berlaku dan memberikan tindakan dengan tegas terhadap pihak-pihak yang terbukti menciptakan keonaran dan kegaduhan di masyarakat.

Lebih dari itu, tokoh agama dan pemuka masyarakat diharapkan turut pro-aktif dalam menghadapi berbagai kelompok yang dianggap menjadi pemicu persoalan di tengah komunitas masyarakat beragama. Mereka diharapkan mampu menjadi penengah dan pendengar yang baik ketika terjadi konflik antar kelompok agama, bukan justru ikut terprovokasi dan memihak pada salah satu kelompok.

judul asli jurnal GERAKAN SALAFI DAN DERADIKALISASI ISLAM DI INDONESIA

http://jurnalfuf.uinsby.ac.id/index.php/religio/article/view/1207

Tidak ada komentar: