QURBAN UNTUK ORANG YANG SUDAH MENINGGAL

QURBAN UNTUK ORANG YANG SUDAH MENINGGAL

Apakah boleh seseorang berkurban kemudian pahalanya dihadiahkan kepada mayit atau orang yang sudah meninggal?

Dalam hal ini ada 3 perincian utama:

1. Berkurban untuk si mayit atau orang yang sudah meninggal dikarenakan wasiat atau nadzar si mayit

Contoh:

Seseorang berwasiat kepada anaknya jika mati nanti agar disisipkan sebagian dari harta warisannya untuk beli sapi kurban....

Maka berqurban seperti ini sah, dan pahalanya sampai ke mayit...insya Allah.

Tidak ada perselisihan di antara para ulama ttg keabsahannya.

2. Seseorang berqurban atas namanya sendiri kemudian pahalanya disertakan untuk keluarganya baik yang hidup atau orang tuanya yang sudah wafat.

Maka hal ini dibolehkan dan pernah dilakukan oleh nabi, Hal ini seperti yang difatwakan syekh utsaimin rahimahullah:

أن يضحي الرجل عنه وعن أهل بيته وينوي بهم الأحياء والأموات ، ( وهذا جائز) وأصل هذا تضحية النبي صلى الله عليه وسلّم عنه وعن أهل بيته وفيهم من قد مات من قبل.
Seseorang berkurban untuk dirinya dan disertakan pahalanya untuk keluarganya baik hidup maupun yang sudah mati maka hal ini dibolehkan dan ini dasarnya adalah kurbannya nabi untuk dirinya dan untuk keluarganya baik yg hidup maupun yang sudah mati.

Allâh Subhanahu wa Ta’ala berfirman:

وَأَنْ لَيْسَ لِلْإِنْسَانِ إِلَّا مَا سَعَىٰ
Dan bahwa manusia hanya memperoleh apa yang telah diusahakannya. [an-Najm/53:39].

Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

وَإِنَّ وَلَـدَهُ مِنْ كَسْبِـهِ.
dan sesungguhnya anaknya adalah hasil usahanya. (HR. Ahmad dan Abu Dawud)

Jadi berdasarkan hadits di atas jika ada anak berbuat amal shalih maka secara otomatis orang tuanya dapat pahala meski tidak diniatkan untuk dikirimkan pahalanya.


3. Seorang berqurban dan diatasnamakan orang tuanya, qurban khusus diniatkan oleh anak bahwa yang berqurban ini adalah orang tuanya yang sudah meninggal.

Dalam hal ini terjadi perselisihan di kalangan para ulama:

a. Pendapat pertama: boleh karena diqiyaskan dengan sedekah. Sebagaimana sedekah boleh untuk orang yang sudah wafat maka begitu juga Qurban.

Dari ‘Aisyah Radhiyallahu anhuma :

أَنَّ رَجُلًا قَالَ لِلنَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ : إِنَّ أُمّـِيْ افْـتُـلِـتَتْ نَـفْسُهَا (وَلَـمْ تُوْصِ) فَـأَظُنَّـهَا لَوْ تَـكَلَّمَتْ تَصَدَّقَتْ، فَـهَلْ لَـهَا أَجْـرٌ إِنْ تَـصَدَّقْتُ عَنْهَا (وَلِـيْ أَجْـرٌ)؟ قَالَ: «نَعَمْ» (فَـتَـصَدَّقَ عَـنْـهَا).
Bahwasanya ada seorang laki-laki berkata kepada Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam , “Sesungguhnya ibuku meninggal dunia secara tiba-tiba (dan tidak memberikan wasiat), dan aku mengira jika ia bisa berbicara maka ia akan bersedekah, maka apakah ia memperoleh pahala jika aku bersedekah atas namanya ? Beliau menjawab, “Ya, (maka bersedekahlah untuknya) (HR. Bukhari Dan Muslim)

Pendapat pertama mengatakan jika sedekah boleh atas nama si mayyit maka begitu juga dengan Qurban.

Ini pendapat Imam Ahmad bin Hanbal rahimahullah dan yang dirajihkan " MUI"nya Arab Saudi dan juga syekh utsaimin.

b. Pendapat kedua: tidak boleh

Kelompok yang kedua ini mengatakan bahwa Qurban atas nama mayit ini tidak dibolehkan karena tidak pernah dilakukan oleh rasul dan para sahabat.

Adapun Qiyas qurban dengan sedekah ini Qiyas yang rusak karena sedekah TDK sama dengan qurban...sedekah tidak terikat waktu khusus dan tidak terikat pula dengan jenis khusus yg disedekahkan .....hal ini berbeda dengan Qurban yg merupakan ibadah khusus..waktunya khusus..dan jenisnya juga khusus, sehingga tidak bisa disamakan.

Ini pendapatannya imam Syafi'i: bahwa Qurban atas nama si mayyit tidak sah kecuali berdasarkan wasiatnya.

Imam Nawawi berkata dalam al-minhaj:

Tidak boleh kurban atas nama orang lain kecuali atas izinnya dan tak boleh atas nama si mayit kecuali berdasarkan wasiatnya.

، قال الإمام النووي رحمه الله في المنهاج: ولا تضحية عن الغير بغير إذنه، ولا عن ميت إن لم يوص بها. انتهى
(Imam Nawawi, al-Minhaj (Beirut: Dar el-Fikr, 2005 M/1425 H), hal. 321.

Wallahu a'lam

Dalam hal ini saya lebih condong dengan pendapat imam Syafi'i rahimahullah. Karena pendapat pertama TDK didukung adanya dalil yang sharih.

Sehingga lebih baik atas nama diri sendiri saja akan tetapi pahalanya disertakan untuk keluarga baik yg hidup maupun sudah wafat.

Wallahu a'lam bishahowab.

Ini masalaha khilafiyah dan kita harus saling berlapang dada.
Ust. Fadlan Fahamsyah, Lc -dosen STAI Ali bin Abi Thalib Surabaya

Tidak ada komentar: