11 RANGKUMAN TENTANG QADHA PUASA

11 RANGKUMAN TENTANG QADHA PUASA

Dibawah ini beberapa rangkuman berkaitan dengan Qadha puasa :

PERTAMA :

كُلُّ مَنْ لَزِمَهُ الْقَضَاءُ مِمَّنْ أَفْطَرَ فِيْ الصَّوْمِ الْوَاجِبِ فَإِنَّهُ يَلْزَمُهُ الْقَضَاءُ بِعَدَدِ الْأَيَّامِ الَّتِيْ أَفْطَرَ
Setiap yang harus mengqadha atas puasa wajib maka ia harus mengqadha sesuai dengan jumlah puasa yang ditinggalkannya.

Allah Ta’ala berfirman :

وَمَنْ كَانَ مَرِيضًا أَوْ عَلَى سَفَرٍ فَعِدَّةٌ مِنْ أَيَّامٍ أُخَر
“Dan barangsiapa sakit atau dalam perjalanan (lalu ia berbuka), maka (wajiblah baginya berpuasa), sebanyak hari yang ditinggalkannya itu, pada hari-hari yang lain. (QS Al Baqarah : 185)

KEDUA :

مَنْ أَفْطَرَ يَوْماً أَوْ أَكْثَرَ مِنْ شَهْرِ رَمَضَانَ بِغَيْرِ عُذْرٍ وَجَبَ عَلَيْهِ أَنْ يَتُوْبَ إِلَى اللَّهِ تَعَالَى وَيَسْتَغْفِرَهُ لِأَنَّ إِفْطَارَ يَوْمٍ مِنْ رَمَضَانَ بِغَيْرِ عُذْرٍ يُرَخِّصُ لَهُ فِيْ الْإِفْطَارِ جُرْمٌ عَظِيْمٌ وَذَنْبٌ كَبِيْرٌ
Barang siapa yang berbuka puasa ramadhan sehari atau lebih tanpa udzur, maka wajib atasnya bertaubat kepada Allah , memohon ampun karena berbuka sehari saja di bulan romadhan tanpa udzur yang di bolehkan untuk berbuka adalah kejahatan dan dosa besar.

Dari Abu Umamah -radhiyallahu anhu- ia berkata, Aku mendengar Rasulullah -shalallahu alaihi wasallam- bersabda :

بَيْنَا أَنَا نَائِمٌ إِذْ أَتَانِي رَجُلَانِ فَأَخَذَا بِضَبْعِيَّ فَأَتَيَا بِي جَبَلًا وَعْرًا ، فَقَالَا لِي: اصْعَدْ فَقُلْتُ: «إِنِّي لَا أُطِيقُهُ» فَقَالَا: إِنَّا سَنُسَهِّلُهُ لَكَ، فَصَعِدْتُ حَتَّى إِذَا كُنْتُ فِي سَوَاءِ الْجَبَلِ، إِذَا أَنَا بِأَصْوَاتٍ شَدِيدَةٍ، فَقُلْتُ: «مَا هَذِهِ الْأَصْوَاتُ؟ قَالُوا: هَذَا عُوَاءُ أَهْلِ النَّارِ ثُمَّ انْطُلِقَ بِي فَإِذَا أَنَا بِقَوْمٍ مُعَلَّقِينَ بِعَرَاقِيبِهِمْ مُشَقَّقَةً أَشْدَاقُهُمْ تَسِيلُ أَشْدَاقُهُمْ دَمًا، قَالَ: قُلْتُ: مَنْ هَؤُلَاءِ؟ " قَالَ: هَؤُلَاءِ الَّذِينَ يُفْطِرُونَ قَبْلَ تَحِلَّةِ صَوْمِهِمْ
Ketika aku tidur, datanglah dua orang laki laki kemudian memegang kedua lenganku membawaku kesatu gunung yang kasar (tidak rata), keduanya berkata : “Naik lah”, aku mengatakan, “aku tidak mampu”, keduanya berkata, “kami akan memudahkanmu”, akupun naik hingga ketika aku sampai ke puncak gunung ketika itulah aku mendenganr suara yang keras. Akupun bertanya, “Suara apakah ini ? Mereka berkata: “Ini adalah teriakan penghuni neraka kemudian keduanya membawaku, ketika aku melihat orang-orang yang digantung dengan kaki diatas, mulut mereka robek, darah mengalir dari mulut mereka. Aku bertanya: “Siapakah mereka ?”, keduanya menjawab, “mereka adalah orang-orang yang berbuka puasa sebelum halal waktu buka puasa mereka” (HR An Nasai, Al Kubro : 3286, Tabrani, Al kabir : 7667, Ibnu Khuzaimah : 1986, disahihkan oleh Al Albani pada As Shihah : 3951, shahih At targhib wat tarhib : 2393).

Selain bertaubat dengan taubatan nasuha juga wajib mengqadha puasanya dengan segera, dan jika batalnya puasa karena jima’ maka selain qadha’ juga harus membayar kafarat mugholadzah (kafarat yang berat), sesuai urutan berikut : memerdekakan budak jika tidak mampu maka berpuasa dua bulan berturut turut dan jika tidak mampu maka memberi makan kepada 60 orang fakir miskin. (HR Bukhari : 1937 dan Muslim : 1111)

KETIGA :

يَجُوْزُ التَّفْرِيْقُ فِيْ قَضَاءِ رَمَضَانَ
Boleh diselang seling (tidak berturut turut) dalam mengqadha puasa romadhan.

Syaikh Ali Hasan Al Halabi dan Syaikh Salim bin 'Ied Al Hilali -hafidzahumallah-berkata :

Tidak wajib berturut-turut dalam mengqadha' karena alasan ingin menyamakan dengan sifat penunaiannya.

Dasarnya adalah Firman Allah Ta’ala :

{وَمَنْ كَانَ مَرِيضًا أَوْ عَلَى سَفَرٍ فَعِدَّةٌ مِنْ أَيَّامٍ أُخَرَ}
“Dan barangsiapa sakit atau dalam perjalanan (lalu ia berbuka), maka (wajiblah baginya berpuasa), sebanyak hari yang ditinggalkannya itu, pada hari-hari yang lain. (QS Al Baqarah : 185).

Ibnu Abbas radhiyallahu 'anhuma berkata :

لاَ بَأْسَ أَنْ يُفَرَّقَ
"Tidak mengapa dipisah-pisah (tidak berturut-turut)" (Mukhtashar Shahih Bukhari 1/58)

Abu Hurairah radhiyallahu 'anhu berkata :

«يُوَاتِرُهُ إِنْ شَاءَ»
"Diselang-selingi kalau mau" (Irwaul Ghalil 4/95)

Adapun yang diriwayatkan Al-Baihaqi 4/259, Daruquthni 2/191-192 dari jalan Abdurrahman bin Ibrahim dari Al'Ala bin Abdurrahman dari bapaknya dan Abu Hurairah secara marfu'.

«مَنْ كَانَ عَلَيْهِ صَوْمٌ مِنْ رَمَضَانَ فَلْيَسْرُدْهُ وَلَا يَقْطَعْهُ»
"Barangsiapa yang punya hutang puasa Ramadhan, hendaknya diqadha' secara berturut-turut tidak boleh memisahnya". Ini adalah riwayat yang Dhaif.

Daruquthni -rahimahullah-berkata : Abdurrahman bin Ibrahim Dhaif.

Al-Baihaqi berkata : Dia (Abdurrahman bin Ibrahim) di dhaifkan oleh Ma'in, Nasa'i dan Daruquthni".

Ibnu Hajar menukilkan dalam Talkhisul Habir 2/206 dari Abi Hatim bahwa beliau mengingkari hadits ini karena Abdurrahman.

Syaikh kami Al-Albany Rahimahullah telah membuat penjelasan dhaifnya hadits ini dalam Irwa'ul Ghalil no. 943. Adapun yang terdapat dalam Silsilah Hadits Dhaif 2/137 yang terkesan bahwa beliau menghasankannya dia ruju' dari pendapatnya.

Kesimpulannya :

Tidak ada satupun hadits yang marfu' dan shahih -menurut pengetahuan kami- yang mejelaskan keharusan memisahkan atau secara berturut-turut dalam mengqadha', namun yang lebih mendekati kebenaran dan mudah adalah dibolehkan kedua-duanya. Demikian pendapatnya Imam Ahlus Sunnah Ahmad bin Hanbal Rahimahullah. Abu Dawud berkata dalam Al-Masail-nya hal. 95 : "Aku mendengar Imam Ahmad ditanya tentang qadha' Ramadhan" Beliau menjawab : "Kalau mau boleh dipisah, kalau mau boleh juga berturut-turut". Wallahu 'alam. (Shifat Shaumin Nabi, hlm : 74-75)

KEEMPAT :

القَضَاءُ عَلَى الْفَوْرِ أَفْضَلُ وَلَكِنْ لَا يَجِبُ وَإِنَّمَا يَكُوْنُ أَفْضَلَ
Lebih utama menyegerakan qadha puasa namun tidak wajib, hanya keutamaan saja.

Karena hal ini lebih melepaskan tanggungan dan sebagai bentuk kehati hatian.

Syaikh Ali Hasan Al Halabi dan Syaikh Salim bin 'Ied Al Hilali -hafidzahumallah-berkata :

Ketahuilah wahai sauadaraku se-Islam -mudah-mudahan Allah memberikan pemahaman agama kepada kita- bahwasanya mengqdha' puasa Ramadhan tidak wajib dilakukan segera, kewajibannya dengan jangka waktu yang luas berdasarkan satu riwayat dari Sayyidah Aisyah Radhiyallahu 'anha.

كَانَ يَكُونُ عَلَيَّ الصَّوْمُ مِنْ رَمَضَانَ، فَمَا أَسْتَطِيعُ أَنْ أَقْضِيَهُ إِلَّا فِي شَعْبَانَ، الشُّغْلُ مِنْ رَسُولِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، أَوْ بِرَسُولِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
“Aku dahulu punya kewajiban puasa. Aku tidaklah bisa membayar utang puasa tersebut kecuali pada bulan Sya’ban karena kesibukan dengan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.” (HR Bukhari : 1950 dan Muslim : 1146)

Berkata Al-Hafidz Ibnu Hajar rahimahullah :

وَفِي الْحَدِيثِ دَلَالَةٌ عَلَى جَوَازِ تَأْخِيرِ قَضَاءِ رَمَضَانَ مُطْلَقًا سَوَاءٌ كَانَ لِعُذْرٍ أَوْ لِغَيْرِ عُذْرٍ
"Dalam hadits ini sebagai dalil atas bolehnya mengakhirkan qadha' Ramadhan secara mutlak, baik karena udzur ataupun tidak". (Fathul Bari 4/191)

Sudah diketahui dengan jelas bahwa bersegera dalam mengqadha' lebih baik daripada mengakhirkannya, karena masuk dalam keumuman dalil yang menunjukkan untuk bersegera dalam berbuat baik dan tidak menunda-nunda, hal ini didasarkan ayat dalam Al-Qur'an.

وَسَارِعُوا إِلَى مَغْفِرَةٍ مِنْ رَبِّكُمْ 
"Bersegeralah kalian untuk mendapatkan ampunan dari Rabb kalian" (QS Ali Imran : 133)

Allah Ta'ala berfirman :

أُولَئِكَ يُسَارِعُونَ فِي الْخَيْرَاتِ وَهُمْ لَهَا سَابِقُونَ
"Mereka itu bersegera untuk mendapat kebaikan-kebaikan, dan merekalah orang-orang yang segera memperolehnya" (QS Al-Mu'minuun : 61) (Lihat : Shifat Shaumin Nabi, hlm : 74)

KELIMA :

يَجُوْزُ تَأْخِيْرُ الْقَضَاءِ إِلَى شَعْبَانَ قَبْلَ رَمَضَانَ الْآخَرِ مَعَ وُجُوْبِ الْعَزْمِ عَلَى فِعْلِ الْقَضَاءِ
Boleh mengakhirkan qadha sampai bulan sya’ban sebelum ramadhan berikutnya, namun diiringi tekad kuat untuk mengqadha.

Aisyah radhiyallahu anha berkata :

كَانَ يَكُونُ عَلَيَّ الصَّوْمُ مِنْ رَمَضَانَ، فَمَا أَسْتَطِيعُ أَنْ أَقْضِيَهُ إِلَّا فِي شَعْبَانَ، الشُّغْلُ مِنْ رَسُولِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، أَوْ بِرَسُولِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
“Aku dahulu punya kewajiban puasa. Aku tidaklah bisa membayar utang puasa tersebut kecuali pada bulan Sya’ban karena kesibukan dengan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.” (HR Bukhari : 1950 dan Muslim : 1146)

KEENAM :

لاَ يَجُوْزُ تَأْخِيْرُ قَضَاءِ رَمَضَانَ إِلَى رَمَضَانَ الآخَرِ بِغَيْرِ عُذْرٍ
Tidak boleh mengakhirkan qadha romadhan sampai datang romadhan berikutnya tanpa udzur.

Jika mengakhirkan qadha puasa sampai datang ramadhan berikutnya maka sepakat para ulama wajib mengqadha namun ada khilaf terkait haruskah bayar fidyah disamping qadha? Ada dua pendapat :

Pendapat pertama :

Menurut madzhab Syfi'i, Maliki dan Hanbali wajib membayar fidyah, mereka berdalil dengan atsar dari sebagian para sahabat seperti Abu Hurairah, Ibnu Abbas.

Pendapat kedua :

Madzhab Hanafi tidak wajib Fidyah tapi cukup qadha. Mereka berdalil karena Allah Ta'ala (dalam al Quran) tidak memerintahkan bagi yang utang puasa kecuali hanya qadha saja dan tidak menyebut fidyah.

Allah Ta'ala berfirman :

{وَمَن كَانَ مَرِيضًا أَوْ عَلَىٰ سَفَرٍ فَعِدَّةٌ مِّنْ أَيَّامٍ أُخَرَ}
Dan barangsiapa sakit atau dalam perjalanan (lalu ia berbuka), maka (wajiblah baginya berpuasa), sebanyak hari yang ditinggalkannya itu, pada hari-hari yang lain. (QS Al Baqarah : 185)

Syaikh Utsaimin rahimahullah menguatkan pendapat kedua ini, walaupun tetap berdosa dengan sebab keterlambatan tanpa udzur, tapi tdak harus fudyah cukup qadha saja (lihat Syarah al Mumti' 6/461)

Pendapat Yang kuat wallhu a'lam sebagaimana kata syaikh Utsaimin rahimahullah, namun dalam rangka kehati hatian maka silahkan tambahkan kalau mau membayar fidyah, memberi makan setiap hari tidak puasa satu kali makan kepada faqir Miskin, dan tetap wajib bertaubat dg sebab terlambat qadha tanpa udzur. (Lihat juga rincian khilafiyah bahasan ini pada kitab As Shiyam Fil Islam , hal. 293).

KETUJUH :

تَأْخِيْرُ الْقَضَاءِ إِلَى رَمَضَانَ الآخَرِ لِعُذْرٍ
Mengakhirkan qadha romadhan sampai datang romadhan berikutnya karena udzur.

Keterlambatan mengqadha puasa sampai masuk bulan romadhan berikutnya tidak lepas dari dua keadaan :

Pertama :

Terlambat karena udzur, seperti sakit misalnya hingga sampai romadhan berikutnya, maka dalam hal ini tidak dosa baginya dengan sebab keterlambatannya karena dia punya udzur, sehingga baginya cukup mengqadha saja tanpa harus bayar kafarat.

Kedua :

Terlambatnya tanpa udzur, ia memiliki waktu luang dan sehat namun tidak mengqadha utang puasanya sampai datang romadhan berikutnya, maka hal ini dosa, melalaikan qadha tanpa udzur.

KEDELAPAN :

تَفْصِيْلُ قَضَاءِ الصِّيَامِ عَنِ الْمَيِّتِ
Rincian qadha puasa untuk mayyit.

Apabila seseorang mengakhirkan qadha puasa wajib baik puasa romadhan atau puasa lainnya seperti puasa kafarat atau puasa nadzar tanpa udzur sampai meninggal padahal ia punya kesempatan untuk mengqadhanya maka dalam kondisi seperti ini wajib bagi keluarga atau kerabat mayyit membayarkan atau mengqadhakan puasanya. (HR Bukhari : 1952 dan Muslim : 1147).

Namun apabila mayyit belum sempat mengqadhanya karena udzur seperti sakit belum pernah sembuh misalnya sampai meninggal maka kondisi seperti ini tidak di qadhakan oleh keluarganya.

KESEMBILAN :

قَضَاءُ صِيَامِ الْفَرْضِ قَبْلَ صِيَامِ التَّطَوُّعِ 
Mengqadha puasa wajib sebelum melaksanakan puasa sunnah.

Dalam masalah ini khilaf diantara para ulama kepada dua pendapat :

Pendapat pertama :

Boleh berpuasa sunnah bagi yang punya utang puasa romadhan, karena ibadah berkaitan dengan waktu muwassa’ (luas) maka boleh berpuasa sunnah walaupun belum mengqadha puasa romadhan karena waktu qadha itu luas.

Inilah salah satu pendapat dari Imam Ahmad. Syaikh Ibnu ‘Utsaimin condong dengan pendapat pertama ini , puasanya sah, ia tidak berdosa, walaupun lebih utama lakukan puasa qadha dulu, karena puasa qadha lebih afdhal dari puasa sunnah walaupun puasa arafah, atau 10 hari pertama dzulhijjah. (Syarah al Mumti’ 6/447-448)

Pendapat kedua :

Tidak boleh berpuasa sunnah bagi yang punya utang puasa wajib, tapi mulailah dengan yang wajib dulu. Ini diantara pendapat syaikh bin Baaz (Majmu’ al fatawa bin Baaz 15/388,392 dan 394).
Demikian juga bahwa Ibadah ibadah yang wajib lebih dicintai oleh Allah Ta’ala daripada ibadah ibadah yang nafilah (tambahan) (HR Bukhari : 6502)

Adapun puasa 6 hari di bulan syawwal maka bagi yang punya utang puasa ramadhan hendaklah dahulukan dulu puasa qadha romadhan karena puasa 6 hari ada kaitan dengan kesempurnaan puasa ramadhan (lihat Majmu’ Al Fatawa Bin Baaz 15/394)

"Barangsiapa yang berpuasa romadhan kemudian mengikutinya dengan puasa 6 hari dibulan syawwal" (HR Muslim : 1164), hal ini menunjukan harus menyempurnakan dulu puasa romadhannya barulah berpuasa 6 hari dibulan syawwal, karena tidaklah dianggap berpuasa romadhan kecuali setelah menyempurnakan puasanya (Fatwa lajnah ad Daaimah 10/392)

KESEPULUH :

قَضَاءُ مَنْ أَكَلَ أَوْ شَرِبَ يَظُنُّهُ لَيْلاً فَبَانَ نَهَاراً
Qadha bagi yang makan minum karena menyangka sudah magrib padahal belum.

Imam Al Kharaqi rahimahullah berkata :

وَإِنْ أَكَلَ يَظُنُّ أَنَّ الْفَجْرَ لَمْ يَطْلَعْ وَقَدْ كَانَ طَلَعَ أَوْ أَفْطَرَ يَظُنُّ أَنَّ الشَّمْسَ قَدْ غَابَتْ وَلَمْ تَغِبْ فَعَلَيْهِ الْقَضَاءُ
“Apabila seseorang makan karena mengira fajar belum terbit padahal sudah terbit, atau berbuka karena mengira matahari telah tenggelam, padahal belum tenggelam, maka wajib qadla puasanya” (Mukhtashar al Kharoqi, Al Mughni 4/389).

KESEBELAS :

مَنْ دَخَلَ فِيْ قَضَاءِ فَرْضٍ حَرُمَ قَطْعُهُ 
Barang siapa yang sedang mengqadha puasa wajib maka tidak boleh membatalkannya.

Hal ini berbeda dengan puasa sunnah maka boleh membatalkannya, sebagaimana riwayat dari Aisyah radhiyallahu naha ia berkata :

دَخَلَ عَلَيَّ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ذَاتَ يَوْمٍ فَقَالَ: «هَلْ عِنْدَكُمْ شَيْءٌ؟ فَقُلْنَا: لَا، قَالَ: فَإِنِّي إِذَنْ صَائِمٌ ثُمَّ أَتَانَا يَوْمًا آخَرَ فَقُلْنَا : يَا رَسُولَ اللهِ، أُهْدِيَ لَنَا حَيْسٌ فَقَالَ : أَرِينِيهِ، فَلَقَدْ أَصْبَحْتُ صَائِمًا فَأَكَلَ 
“Suatu hari (pagi) Rasulullah shalallahu alaihi wasallam masuk ke Rumah , lalu beliau bertanya, “Apakah kalian punya sesuatu (makanan)”, kami menjawab, “tidak ada”, lalu beliau berkata, “kalau begitu aku akan berpuasa”, lalu beliau datang pada hari yang lain, lalu kami mengatakan, “wahai Rasulullah ini ada orang yang menghadiyahkan makanan (sejenis roti dengan minyak samin campur kurma)”, beliau mengatakan, “mana makanan itu berikan kepadaku, sesungguhnya akau tadi sedang puasa”, Aisyah berkata, “lalu beliaupun makan” (HR Muslim : 1154). (Diringkas dari Ashiyam fil islam , hlm. 288-311, Sifat Shaumin Nabi, hal. 74-75). Semoga bermanfa'at, wallahu waliyyut Taufiq. []

Oleh : Abu Ghozie As Sundawie
Facebook : https://www.facebook.com/abughozie.assundawie
Telegram : https://t.me/abughozieassundawie

Tidak ada komentar: