Karya-karnya menginspirasi Roger Garaudy sang Muallaf membuat Zionis berang

Karya-karnya menginspirasi Roger Garaudy sang Muallaf membuat Zionis berang
Roger Garaudy merupakan seorang pakar dari Prancis yang mendedikasikan hidupnya untuk Islam setelah mengikrarkan syahadat pada 1982. 

Karya-karnya menginspirasi, bahkan terdapat buku yang membuat Zionis berang, yaitu The Founding Myths of Israel Policy (edisi Inggris 1997) bahwa banyak wilayah-wilayah Israel yang steril dari bangsa Arab, yaitu wilayah seperti kota-kota Carmiel, Nazareth, Illith, Hatzor, Arad, Mitzpehn-Ramen, dan lain-lainnya. 

Hal ini bukan karena bangsa Arab takut untuk berdomisili di sana, melainkan karena memang undang-undang tidak membolehkan mereka (hlm. 95). Dengan diskriminasi telanjang Israel seperti ini, wajar bila Koran Davar (8/10/1991) mengatakan bahwa 46 persen keluarga Arab di Israel hidup di bawah garis kemiskinan dan dengan perbandingan hanya delapan persen keluarga Yahudi mengalami hal serupa.

Hal ini, menurut harian Yahudi itu, bukan terjadi secara alami, melainkan karena ulah politik dan kebijaksanaan Zionis dalam menghancurkan fondasi material dan ekonomi Arab di Palestina. Bahkan, ini merupakan bagian dari upaya melenyapkan eksistensi mereka secara keseluruhan.

Dasar rasisme Zionis Mencermati fenomena rasisme di tubuh entitas Israel tidaklah terlalu aneh bila hal itu kita rujukan pada hal-hal yang mendasarinya. Apalagi, negara ini memang berdiri di atas fondasi mitos bahwa "Suatu negeri tanah tanpa warga untuk warga tanpa negeri."

Mitos ini tidak berada di dunia periferal, tapi berdasarkan pada postulasi yang ditulis di dalam kitab Genesis mereka (15:18-21) yang mengatakan, "Tuhan telah bersekutu dengan Abraham dalam kalimatnya.

Hal ini teruntuk keturunanmu bahwa Aku berikan negeri ini, dari sungai Mesir (Nil) hingga ke sungai besar, sungai Eufrat." (R Garaudy hlm. 91). Hal ini berarti bahwa satu juta lebih bangsa Palestina, Kristen, dan Yahudi yang sama-sama hidup bersama sebelum terjadi eksodus kaum Zionis ke bumi Palestina dianggap tidak ada.

Menurut hemat Omer bin Abdullah, ini berarti bahwa Zionis hanya mengakui bangsa Yahudi yang dikualifikasi sebagai human, sementara non-Yahudi tidak. Kalau tidak demikian, mengapa Palestina disebut dengan a land without people? Hal ini dipertegas lagi oleh Perdana Menteri Zionis pertama Israel, Mrs Golda Meir, dalam pernyataannya di The Sunday Times (June 15, 1969) bawha "Tidak ada bangsa yang disebut warga Palestina... Ini bukan berarti kedatangan kami yang telah mengusir mereka. Tapi memang mereka tidak ada."

(Roger Garaudy, p. 91) Pasal 4 b undang-undang dasar negara Israel mendefinisikan bahwa "Seseorang dianggap sebagai Yahudi bila ia lahir dari seorang ibu Yahudi atau telah murtad." Yang paling ditakuti dan dimusuhi oleh para pimpinan Zionis adalah asimilasi. (R Garaudy, hlm. 25 dan 36). Hal ini dianggap sebagai kesuksesan Theodore Herzl, sang god-father Zionis, yang telah berhasil mengubah definisi Yahudi dari status agama menjadi suatu trademark ras unggulan.

Dengan demikian, kendati perjalanan PBB dan yang paling mutakhir dengan konferensinya di Durban gagal untuk mengutuk rasisme Israel, tapi kita layak untuk bertanya, salahkah bila kita berkesimpulan bahwa Zionism is a form of racism and racial discrimination? Hanya Tuhan yang lebih tahu.

https://m.republika.co.id/amp/qjwtdq320

Tidak ada komentar: