Mengapa Banyak Dosen Swasta lulusan S2 atau S3 Ditindas Oleh PT / Yayasan?

Banyak Dosen Swasta lulusan S2 atau S3 Ditindas Oleh PT / Yayasan
Ini 3 jawabannya

Perlu kita ketahui tentang isu masih banyak dosen terutama di swasta yang tertindas oleh yayasan/PT. Tidak semua tertindas, tapi tidak sedikit juga yang mengalami hal ini.

Misalnya, ditemukan masih banyak dosen di kampus swasta yang digaji kurang layak tapi kerjaannya banyak. Selain mengajar, dosen juga dituntut melakukan target ini itu, banyak sekali. Tapi di sisi lain, banyak muncul isu bahwa yayasan/PT pun yang tampaknya seolah tidak peduli soal kesejahteraan dosen. Mereka terksesan cuek bahkan makin mengeksploitasi, menindas dosen, dan mereka juga tidak takut kalau kehilangan dosen. 

Nah mengapa hal ini bisa terjadi? 

Berikut beberapa analisis, berdasarkan hasil pengamatan yang telah dilakukan selama bertahun-tahun. Baca pelan-pelan hingga selesai. Jangan salah menangkap intisari dari artikel. 

PERTAMA, Yayasan /PT sebagai pemegang modal dan pemberi kerja memiliki power yang lebih besar. Sementara dosen adalah pihak pencari kerja, powernya lebih kecil. Poin ini cukup jelas. 

KEDUA, Yayasan/PT sangat tahu bahwa banyak dosen itu TIDAK memiliki posisi 
tawar (bargaining position) yang kuat. Selain itu, mereka juga memahami kondisi psikologis banyak dosen (calon dosen) di Indonesia. Maksudnya bagaimana?

Begini. Penjelasan poin ini akan sedikit panjang. 

Yayasan / PT sangat memahami bahwa Dosen itu memang punya gelar pendidikan yang tinggi. Ada yang S2 bahkan S3. AKAN TETAPI, banyak dari mereka ini ternyata hanya tau soal belajar teori saja. Ketika di test bagaimana mengimplementasikan pengetahuan teorinya dalam kehidupan nyata, banyak yang keok. Banyak yang tidak paham. Wajar saja karena memang tidak pernah punya pengalaman langsung mengimplementasikan teori yang telah dipelajari. Beda dong antara punya pengalaman langsung, dengan belajar dari pengalaman orang lain. 

Hal ini menyebabkan banyak dosen (terutama yang lulusan S2 tanpa pengalaman kerja) tidak berani untuk terjun ke dunia nyata yang sesungguhnya. 

Mau berkarya mengimplementasikan pengetahuannya dimana, tidak tau. Mau mencoba membangun bisnis apa juga tidak tahu. 

Yang ada di pikirannya, yang paling aman dilakukan hanyalah mengajarkan kembali teori pada mahasiswa. Istilah kerennya science to science katanya. 

Untuk mengajar teori ini, maka harus bergabung di bawah Universitas/PT. Lha iya dong, masa mau ngajar sendiri. Kan bikin lembaga aja belum bisa.

Kondisi inilah yang lalu membuat ketergantungan sangat tinggi dari dosen (calon dosen) pada universitas/PT. 

Kalau mau jadi dosen di PTN maka harus ikut seleksi CPNS. Dan itu gak gampang meskipun sudah punya gelar yang tinggi. Saingannya juga banyak sedangkan kuota sedikit. Kalau ikut CPNS, maka gak ada bedanya dengan mereka yang hanya lulusan diploma atau sarjana. Karena harus sama-sama berjibaku, dan bersaing dengan banyak orang. 

Karena sadar untuk jadi dosen PNS sulit, alternatif lain yang dilirik adalah menjadi dosen PTS yang notabene banyak dimiliki oleh yayasan. 

Inilah kondisi yang sangat dipahami oleh yayasan atau para pemilik PT. Mereka sangat paham bahwa para dosen yang lulusan S2 atau S3 ini ternyata tidak punya bargaining position yang kuat. Mereka sangat butuh terhadap PT, dan PT ini banyak yang berada di bawah yayasan.

Setelah paham soal bargaining position yang rendah dari banyak lulusan S2 dan S3, pihak yayasan banyak juga sangat memahami kondisi psikologis lulusan S2 dan S3 di Indonesia ini. 

Secara psikologis, orang dengan lulusan pendidikan tinggi seperti S2 atau S3 itu idealismenya besar, gengsinya juga lebih besar, dan yang pasti beban psikologis yang dimiliki juga lebih besar. Iya dong!

Banyak lulusan S2 atau S3 yang takut untuk terjun mengimplementasikan ilmunya di dunia nyata seperti di bidang industri misalnya. Karena kalau nanti kerja terus yang jadi atasannya hanya lulusan S1, D3 atau bahkan mungkin hanya SMA jadinya gengsi dong. Banyak yang merasa martabatnya akan jatuh jika berada dalam posisi itu. Beda kalau orang sudah kerja duluan di industri, lalu lanjut sekolah S2 atau S3. Itu lain ceritanya. 

Kemudian, mau mulai wirausaha, juga takut. Tidak berani menghadapi cibiran orang sekitar. Kok lulusan S2 atau S3 kerjanya jualan sih. Itu akan jadi beban psikologis yang sangat besar. 

Akhirnya, untuk menyelamatkan gengsi ini banyak yang berupaya untuk menjadi dosen. 

Di banyak PTS di Indonesia, masih banyak yang memberikan gaji dosen belum layak. Tapi banyak yang mau jadi dosen demi menyelamatkan gengsi atau status dulu. Nanti kalau di tanya lulusan S2,S3 kerjanya apa? Gampang tinggal jawab : Dosen. Beres perkara. Pasti akan selamat dari cibiran orang. 

Kondisi psikologis dari para lulusan S2 atau S3 inilah, yang sangat dipahami oleh para pemilik yayasan atau PT. Jadi, kalau ada dosen di kampus yang mereka kelola itu protes atau melawan karena gajinya kurang, ya dipersilakan aja keluar. Toh di luar sana banyak orang lulusan S2, S3 yang punya kondisi psikologis serupa yang sudah diceritakan tadi, yang butuh status untuk jadi dosen. Pemilik yayasan jadinya berada di atas angin dan sangat berkuasa memberikan gaji pada dosen yang bekerja pada mereka (seringkali juga menggaji dengan semaunya). 

Di sisi lain para dosen pun sangat tahu kondisi ini. Mustahil mereka menjadi dosen tapi tidak tahu kondisi ini. Banyak yang berada dalam dilema. Di satu sisi, mereka membutuhkan status dosen agar dapat menyelamatkan beban psikologis seperti yang diceritakan tadi. Tapi di sisi lain, gaji yang didapat seringkali tidaklah sepadan dengan pekerjaan dan status gelar yang mereka miliki. 

Akhirnya banyak yang motivasinya menjadikan pekerjaan dosen itu hanya sebagai status, atau simbol belaka. Lalu mencari sampingan kanan kiri dan objekan lainnya. Sekilas, hal ini bisa diterima dan terlihat sangat wajar dan sangat umum dijumpai kan? 

Apalagi, jika ditambahkan dengan embel-embel : gak papa yang penting sampingan HALAL kok. Ini akan menjadi hal yang sangat mudah diterima.

Tapi, perlu diingat. Ini adalah POLA PIKIR SALAH untuk menjadi dosen. Sebuah pola pikir keliru yang bisa menjerumuskan dosen itu ke dalam dosa yang tidaklah sepele. Karena, akan ada tanggung jawab utama sebagai dosen yang terbengkalai atau 'terkurangi jatah timbangannya' atau dijalankan secara kurang adil. 

Belum paham maksudnya?
Kita ambil sedikit analogi. Kita berjualan jeruk. Harga sekilonya 10.000 misalnya. Ada orang beli 10 ribu. Berapa KG kita kasih jeruknya? Ya 1 KG kan? Harus pas. Kalau kita kurangin timbangannya jadi 0.5 KG atau 0.95 KG jadinya dosa. 

Lalu, lain waktu Harga jeruk turun jadi 5 ribu sekilo. Ada orang beli 5 ribu berapa kita kasih? Ya harus pas juga 1 Kg. 

Sama ketika harga jeruk sekilonya jadi 2 ribu, ada orang beli 2 ribu ya harus pas dikasih sekilo. Gak boleh dikurang-kurangin timbangannya. Nanti dosa. 

Mau harga jeruk tinggi, mau harganya murah, jika sudah ada kesepakatan dengan pembeli soal harga ya berarti harus pas timbangannya.

Begitu juga dengan menjadi dosen. Pada saat perjanjian dengan pihak yayasan atau PT kan dijelaskan gaji sekian dengan tanggung jawabnya utamanya bla bla bla. Sebetulnya itu juga mirip dengan perjanjian jual beli tadi. Dosen menjual dirinya dan PT ini yang membeli. 

Berarti itu kan sudah perjanjian. Mau dibayar mahal, mau dibayar murah tetap harus dilakukan tanggung jawabnya dengan kadar timbangan yang pas sebanyak apa pun itu. Kan sudah saling perjanjian. 

Nah seringkali terjadi, karena dosen merasa digaji murah, jadinya ia lebih mementingkan proyek di luar. Mahasiswa terbengkalai. Di WA gak dibalas, proposal skripsi berbulan-bulan gak dibaca. Berarti kan ini sudah mengurangi timbangan tanggung jawabnya sebagai dosen karena mengerjakan pekerjaan lain. Dosen sekedar status saja agar kalau ditanya kerjanya apa nih lulusan S2/S3 ? gampang tinggal jawab : dosen. Inilah POLA PIKIR dan MOTIVASI SALAH dalam menjadi dosen. 

KETIGA, alasan lain mengapa banyak dosen tertindas oleh yayasan/PT adalah bahwa yayasan/PT juga sangat memahami bahwa profesi dosen ini seringkali tidak solid/kompak. 

Bahkan ada ungkapan yang pernah saya dengar bahwa dosen itu biasanya bukan berasal dari mahasiswa-mahasiswa yang berjiwa perlawanan atau pemberontak. Tapi dilahirkan dari mahasiswa-mahasiswa yang kutu buku, hanya mementingkan pencapaian akademis, tertib dan tepat waktu dalam mengerjakan tugas, text book atau hanya di perpus saja. Lebih mementingkan pencapaian diri pribadi saja. 

Memang sih tidak semuanya begitu, tapi banyak kan yang begitu. 

Hingga kini ditemukan banyak asosiasi atau ikatan dosen. Tapi suaranya tidaklah selantang Sarikat pekerja misalnya. 

Berbeda dengan sarikat pekerja, Jika ada rekannya yang ditindas maka mereka akan bersuara menuntut. Bahkan akan mogok kerja. Jika perusahaannya dituntut sampai bangkrut, gampang para pekerja ini tinggal jadi ojek online aja. Lah para dosen agak susah kalau mau begitu. Mau bersuara, takut dipecat. Nanti cari kerja ya harus dosen lagi. Masa lulusan S2 atau S3 jadi ojol. Kan gengsi. 

Berbeda juga dengan persatuan Guru (PGRI) ketika ada penindasan, mereka bersuara. Sering kan kita dengar organisasi guru ini bersuara. Kompak

Tapi kalau dosen. Rasanya jarang bahkan tidak pernah. Padahal kenyataannya banyak juga yang masih tertindas lho...

Seringkali juga ditemukan dosen yang cuek. Karena mungkin lebih mementingkan projek/pekerjaan di luar. Sementara dosen hanya sebagai status atau simbol. Jadinya lebih berpikir aman sendiri, mengejar pada pencapaian sendiri. Sama rekan-rekannya sendiri kurang peka, apalagi sama mahasiswa. 

Antar satu dosen dengan lainnya juga sering terjadi gap-gap an, geng-geng an. Berbeda pandangan dalam satu atau banyak hal secara cukup tajam. Entah itu perbedaan pandangan teori, pandangan idealisme, keilmuan dsb. Jadinya kurang solid/kompak. Ya karena isinya adalah kumpulan orang-orang pintar yang berpendidikkan tinggi. 

Inilah yang membuat masih ditemukannya tak sedikit yayasan /PT berani untuk menindas dosen. 

Semoga menjadi perhatian kita semua.

Copas dr Grup Dosen PTS

Tidak ada komentar: