Apakah murji'ah itu?

 imam Nadhr bin syumail berkata. 

"Apakah murji'ah itu?"

ﺩﻳﻦ ﻳﻮﺍﻓﻖ ﺍﻟﻤﻠﻮﻙ، ﻳﺼﻴﺒﻮﻥ ﺑﻪ ﻣﻦ ﺩﻧﻴﺎﻫﻢ، ﻭﻳﻨﻘﺼﻮﻥ ﻣﻦ ﺩﻳﻨﻬﻢ .
"Agama yang menyesuaikan diri dengan kepentingan para raja. Dengan sikap beragama seperti itu, mereka mencari sebagian kenikmatan dunia dari para raja, meski akibatnya mereka mengurangi bagian agama mereka sendiri.
[Ibnu Katsir, Al-Bidayah wan nihayah, 14/221].

Secara umum kelompok murji'ah terdiri dari tiga aliran:

1. Murji'ah Fuqaha yang berpendapat bahwa iman adalah keyakinan dengan hati, dan pembenaran dengan lisan.

Sedangkan amalan anggota badan hanyalah pelengkap keimanan belaka. Menurut mereka seseorang yang melakukan dosa besar tetap dianggap sempurna imannya. Karena beranggapan bahwa perbuatan dosa tidak mengurangi iman dan amal kebaikan.

2. Murji'ah kurramiyah pengikut Muhammad bin kurram as-sijistani (255 H) yang berpendapat bahwa iman adalah pelafalan dua kalimat syahadat dengan lisan belaka, meskipun hatinya mendustakan dan anggota badannya tidak pernah melakukan amal kebaikan. Menurut keyakinan mereka, kaum munafik adalah orang-orang mukmin secara lahir batin dan akan masuk surga.

3. Murji'ah ghulat (murji'ah ekstrim) atau biasa dikenal juga dengan istilah jahmiyah, yang berpendapat iman adalah pembenaran dengan hati belaka, sekalipun lisannya tidak mengucapkan dua kalimat syahadat dan anggota badannya tidak pernah melakukan amal kebajikan sama sekali menurut mereka, iblis, kaum yahudi, nasrani, dan kaum kafir lainnya dengan orang-orang mukmin yang akan masuk surga karena hati mereka meyakini adanya Allah sang pencipta.

Pada masa kemunduran islam, faham bid'ah Murji'ah ini menyebar luas ditengah kaum Muslimin, dan berperan besar melemahkan pegangan kaum muslimin terhadap ajaran-ajaran islam, karena menurut mereka amal shalih tidak menambah keimanan mereka, dan kemaksiatan apapun tidak mengurangi atau melemahkan iman mereka.

Cukuplah fatwa yang keluar dari Komisi Fatwa Kerajaan Saudi yang menjelaskan siapa sebenarnya mereka .

Sikap Syaikh Utsaimin rahimahullah

Adapun penjelasan sebagian kalangan bahwa Syekh Utsaimin menyayangkan fatwa tersebut, hal ini bukan berarti fatwa itu salah. Bahkan kita mendapatkan penjelasan bahwa Syekh Utsaimin tidak setuju dengan keyakinan Syekh AlBani bahwa kekafiran terjadi hanya dikarenakan istihlal (penghalalan) dan juhud (penolakan) saja. 

Hal ini sebagaimana dimuat dalam buku “Min Fitnati Takfir” karya Syekh Abu Lauz. Syekh Utsaimin berkata: “Namun kita menyelisihi beliau (Syekh AlBani) dalam sebuah permasalahan, bahwa mereka tidak dihukumi kafir hingga mereka meyakini halalnya (tidak berhukum kepada hukum Allah). Permasalahan tersebut perlu dipertimbangkan lagi. Kami katakan, barang siapa yang meyakini halalnya (tidak berhukum dengan hukum Allah) meskipun ia berhukum dengan hukum Allah dan dia meyakini hukum selain Allah lebih utama. Maka dia kafir, kafir karena keyakinan…(hal. 28) .”

Sebuah Perbandingan
Kita tidak menafikan, pada masa ini ada kalangan yang berfaham Khawarij. Seperti yang terjadi di Mesir, ada kelompok yang mengaku sebagai “Jama’ah Muslimin” dan media massa menyebutnya Jama’ah Takfir Wal Hijrah yang dipimpin oleh Musthafa Syukri. 

Kelompok ini mudah sekali mengkafirkan kalangan yang bukan dari kelompoknya. Konon yang tidak dikafirkan olehnya ada dua: Mentri Kesehatan dan Perhubungan. Bahkan dia berani mengkafirkan Nabi kita Muhamad.

Namun perlu dijadikan bahan renungan bahwa Khawarij pada saat ini jumlahnya tidak terlalu signifikan jika dibandingkan dengan kelompok-kelompok sesat lainnya. Coba bandingkan dengan kelompok sesat lainnya yang ada di permukaan bumi ini! Kaum kafir, Kelompok Sekuler, Syi’ah, Ahmadiyah, Murjiah, Quburiyah dan lain-lain.

Dan perlu dicatat juga, tidak semua orang yang bertentangan dengan penguasa harus diberi label Khawarij. Bukankah suri tauladan kita, Nabi Ibrahim bersebrangan dengan penguasa saat itu. Bukankah Nabi Musa bersebrangan dengan pemerintahan Fir’aun dan keluar ke Negri Madyan? Bukankah nabi kita Muhamad bersebrangan dengan para pemimpin saat itu dan keluar meninggalkan Mekah menuju Madinah? 

Apakah mereka Khawarij? Apakah para penguasa itu adalah Ulil Amri?

Dengan demikian tuduhan Khawarij bukan pada tempatnya merupakan tuduhan klasik. Husein bin Ali beserta pengiringnya yang keluar menuju Kufah, Abdullah bin Zubeir, Sulaiman bin Shord dengan At Taubahnya yang berjumlah 3000 pasukan, Imam Ahmad, Imam Nawawi, Izuddin Abdul Salam, Ibnu Taimiyah, Muhamad bin Abdul Wahab dan lain-lain.

Tidak semua orang yang menyerukan pentingnya syariat harus diberi label Khawarij. Tidak semua orang yang mengatakan “Laa Hukma Illa lillah” (tidak ada hukum kecuali hukum Allah) mereka adalah Khawarij. Pernyataan itu adalah makna dari pernyataan seorang nabi yang mulia dan merupakan putra dari seorang nabi yang mulia, dialah Yusuf as. Sebagaimana disebutkan dalam firman Allah, Yusuf berkata: “Keputusan (hukum) itu hanyalah kepunyaan Allah.” (Yusuf: 40).

Setelah Rasul wafat, slogan tersebut dilontarkan oleh Khawarij pada masa pemerintahan Ali bin Abi Thalib. Pada masa itu Ali merupakan khalifah yang sah, berpihak kepada umat Islam, menegakan syari’at Allah, mengibarkan panji jihad, memberikan loyalitas kepada orang-orang beriman dan memusuhi orang-orang kafir.

Permasalahannya kemudian, siapakah yang berani mengatakan penguasa (baca Ulil Amri) saat ini sama dengan Khalifah Ali bin Abi Thalib? Undang-undang yang digunakan saat ini apakah sama dengan undang-undang yang diberlakukan pada masa Khalifah Ali?

Di sini perlu kiranya kita merenungkan pernyataan Syekh Abdullah bin Abdul Hamid Al Atsari dalam bukunya “Al Wajiz Fi Aqidati as Salaf as Shalih (Ahli Sunnaah Wal Jama’ah, hal 169 ) . 

Beliau berkata: “Adapun jika (para penguasa) menihilkan syariat Allah, tidak berhukum dengannya dan berhukum dengan yang lain maka mereka telah keluar dari ketaatan kaum muslim dan manusia tidak wajib mentaatinya. Karena mereka telah menyia-nyiakan tujuan imamah (kepemimpinan) yang dengan keberadaannya ia diangkat, berhak didengar, ditaati dan tidak boleh keluar darinya. 

Ulil Amri berhak mendapatkan itu semua dikarenakan mereka melaksanakan kepentingan (urusan) kaum muslim, menjaga dan menyebarkan agama, melaksanakan hukum-hukum, menjaga perbatasan, memerangi orang-orang yang menolak Islam setelah mendakwahinya, mencintai kaum muslimin dan memusuhi orang-orang kafir.
Jika dia tidak menjaga agama atau tidak melaksanakan urusan kaum muslim maka telah hilang darinya hak kepemimpinan. Dan wajib bagi umat (dalam hal ini diwakili oleh Ahlul Halli Wal ‘Aqdi, karena kepada merekalah kembalinya kendali permasalahan) untuk mencopotnya dan menggantinya dengan yang lain yang punya kapabilitas untuk merealisasikan tujuan kepemimpinan.

Ketika Ahli Sunnah tidak memperbolehkan keluar dari para pemimpin yang dzalim dan fasik -karena kejahatan dan kedzaliman tidak berarti menyia-nyiakan agama- maka yang dimaksud mereka adalah pemimpin yang berhukum dengan syariat Allah. Kalangan As Salaf As Shalih tidak mengenal istilah pemimpin (Ulil Amri pent-) yang tidak menjaga agama. Menurut mereka pemimpin seperti ini bukanlah Ulil Amri. Yang dimaksud kepemimpinan (Ulil Amri) adalah menegakan agama. Setelah itu baru ada yang namanya kepemimpinan yang baik dan kepemimpinan yang buruk .

sebagaimana telah disebutkan di awal bahwa mereka yang menuduh kalangan yang ingin menegakan syariat dengan sebutan Khawarij ternyata mereka juga merupakan generasi Murjiah. 

Repost from WhatsApp group

Tidak ada komentar: