Priyantingtyas: Saya tidak ingin meninggal dunia dalam keadaan tidak Islam

Priyantingtyas (56 tahun), dibesarkan di lingkungan keluarga dengan multiagama. Ibunya mengikuti agama eyangnya seorang Nasrani.

Sedangkan ayahnya menganut aliran kepercayaan. Tetapi Yanti lebih memilih mengikuti agama ibu dengan beberapa kebiasaan ayah yang dijalankan seperti puasa. 

Sehingga sejak kecil dia hidup di lingkungan gereja. Namun karena tradisi jawa dan lingkungan sekitar mayoritas Muslim, Yanti sapaan akrabnya terbiasa dengan budaya Islam di Jawa. 

Salah satunya, setelah maghrib anak-anak terutama anak gadis dilarang keluar rumah dan berdiam di kamar. Selain gereja, rumah Yanti juga dekat dengan masjid sehingga setiap maghrib dia selalu mendengar suara azan. 
 
"Awalnya saya biasa saja mendengar suara azan, tetapi lama kelamaan suara azan terdengar syahdu dan mendamaikan," ujar nenek satu cucu asal Tulungagung, Jawa Timur ini kepada Republika.co.id.

Kemudian sejak masuk sekolah menengah, diajarkan agama Islam. Bagi non Muslim biasanya diizinkan untuk tidak ikut dalam pelajarannya. Tetapi Yanti sejak SMP hingga SMA terus mengikuti pelajaran agama Islam. Gurunya pun tidak mempermasalahkan karena Yanti berniat untuk belajar. 
 
Yanti senang mempelajari Islam dan merasakan kedamaian. Hingga satu ketika di kelas 3 SMA, Yanti membulatkan tekad untuk memeluk Islam. 
 
Dia pun memberitahukan kepada ibundanya. Di luar dugaan, Yanti khawatir kedua orangtuanya akan marah atau kecewa, ternyata mereka mendukung keputusan Yanti. 
 
Ibunya pun memberi nasihat jika memang yakin untuk memeluk Islam, maka harus beragama Islam sesuai dengan tuntunannya, karena telah mendapat lampu hijau, Yanti kemudian mengucapkan syahadat di sebuah mushola di SMA nya dengan disaksikan guru dan teman-temannya. 

Setelah memeluk Islam, Yanti berusaha untuk belajar sholat. Dia bersyukur, dalam menghafal bacaan sholat dia dimudahkan Allah Subhanahu wa ta'ala. 

Selain itu karena sebelum menjadi Muslim, Yanti terbiasa berpuasa meski bukan ajaran Islam, dia tidak mengalami kendala.

Apalagi puasa sebelumnya hanya makan nasi dan air putih saja atau dikenal puasa mutih. 

Meski Yanti memeluk Islam, dia tidak benar-benar mendalami ajaran Islam. Sekadar kewajiban ibadah mahdhah saja dan bisa membaca Alquran, itupun dia pelajari ketika Yanti mendapat ujian besar.
Sholat lima waktu pun hanya menggugurkan kewajiban, bahkan kadang belum dilaksanakan secara rutin. 
 
Yanti mengingat ketika ujian besar terjadi adalah titik baliknya dalam menguatkan agama. Tetapi sebelum benar-benar kembali kepada Islam, keimananya sempat goyah. 

Sekitar 21 tahun yang lalu, Yanti melahirkan anak kedua yang istimewa, karena disabilitas netra. Saat itu tentu dia merasa sedih dan menyalahkan diri sendiri. 
 
"Saya merasa saya banyak melakukan kesalahan sehingga Allah memberikan ujian besar apalagi beberapa keluarga yang menyalahkan saya karena menjadi Muslim dan itu adalah hukuman," ujar ibu dua anak ini. 
 
Goyahnya iman Yanti ini karena dia berusaha mencari kesembuhan bagi anaknya. Dia pergi ke paranormal, bahkan datang ke gereja. 
 
Hal itu dilakukan selama empat tahun lamanya. Bersyukur dia bertemu dengan ustadz yang sebelumnya membimbingnya menjadi Muslim. 

"Saya dinasihati untuk kembali kepada Islam, saya juga sebenarnya merasa lelah untuk upaya tersebut dan kembali kepada Islam kemudian berserah," tutur dia.

Benar saja, setelah kembali mendalami Islam dan memahami ujian yang didapatkan ternyata kelahiran anak bungsunya adalah sebuah keberkahan.

Mendapatkan anak istimewa ini adalah titipan yang berharga dan beruntung. "Mendapatkan Peter, anak kedua saya seperti saya mendapatkan kunci dan baju surga,"ujar dia.

Apalagi anak keduanya ini sering mendapatkan juara MTQ untuk penyandang disabilitas dan berbagai prestasi lainnya. Dia juga bersyukur di kelilingi keluarga dan komunitas Muslim yang menguatkan dan mendukungnya. Semakin hari dia semakin banyak belajar kepada anak keduanya. Dari dia, Yanti belajar ilmu ikhlas dan rasa bersyukur sesungguhnya. 
 
Bahkan ketika Peter bersekolah di sekolah non-Muslim, keimanannya tetap terjaga hingga saat ini. Dia tidak mengalami kesulitan dalam memahami ajaran Islam terbukti dengan menjuarai MTQ. 

Keberkahan lain adalah Yanti mendapatlan hadiah umroh bersama buah hatinya hingga dua kali. Dan keduanya bersama Peter, anak bungsunya yang istimewa. "Sejak usia delapan tahun, Peter sering mendengarkan tausyiah, sehingga saya juga ikut mendampinginya untuk memerik pelajaran dari berbagai ceramah yang Peter hadiri dan dengarkan lewat media elektronik,"jelas dia.

Dukungan almarhum suami juga sangat berpengaruh kepadanya. Meski memang ada saja ucapan tidak mengenakkan dari pihak keluarga suami, karena memang suami juga mualaf

Setelah mendalami Islam dan mengetahui jilbab itu wajib untuk wanita Muslim. Tujuh tahun lalu Yantu memutuskan mengenakan jilbab. 
 
Saat itu dia merasa tersentil ketika menantunya berbicara secara tidak langsung tentang belum berhijab ibu mertuanya.

"Ada penjual buku pria datang ke rumah, kemudian saya ingin membayar, tetapi menantu saya melarang karena saya tidak menutup aurat kemudian menantu saya yang menggantikan saya membayar buku. Saat itu saya tidak marah, malah justru bahagia karena diingatkan. Sejak saat itu saya memutuskan untuk berhijab,"jelas dia. 
 
Hingga saat ini Yanti selalu bersyukur tentang apa yang dilakukan oleh menantunya. Sehingga dia dapat berjilbab dan istiqamah hingga saat ini dan berharap seterusnya. 

Yanti yang berdomisili di Jakarta Timur ini berharap berkah yang didapatkannyaa dapat membawa di dan keluarganya ke surga. 

Dia juga berharap hingga ajal menjemput tetap dikuatkan iman dan Islamnya. Karena begitu banyak keluarga yang pernah memeluk Islam dengan latar belakangnya yang sama tetapi Allah subhanahu wa ta'ala. 

"Saya tidak ingin meninggal dunia dalam keadaan tidak Islam, membayangkannya saja begitu negeri. Saya selalu berdoa untuk saya dan anak-anak saya agar dikuatkan iman dan Islamnya," ujar dia.

Source republika.co.id

Tidak ada komentar: