Pimpinannya Pernah Sebut Musuh Pancasila adalah Agama, Keberadaan BPIP Patut Dievaluasi

Usai menuai kritik yang meluas dari berbagai kalangan, BPIP akhirnya mengganti tema lomba penulisan artikel ‘Hormat Bendera Menurut Hukum Islam’ dan ‘Menyanyikan Lagu Kebangsaan Menurut Hukum Islam’. Merespons hal itu, anggota DPR RI Fraksi PKS Bukhori Yusuf kembali angkat bicara.

“BPIP seperti dijalankan secara ugal-ugalan. Sikap tidak konsisten BPIP semakin menunjukan cara berpikir dan sikap orang-orang di lembaga ini yang tidak dewasa alias kekanak-kanakan,” kritik Bukhori melalui keterangan tertulis yang dikirim ke redaksi fajar.co.id.

Sebelumnya, Bukhori mengkritik BPIP supaya melakukan koreksi diri setelah banyak menuai kontroversi sejak awal pembentukan lembaga ini. Dirinya menilai, BPIP harus membenahi cara pandangnya dalam melihat diskursus Islam dan Kebangsaan agar berhenti melukai perasaan umat Islam di waktu mendatang akibat cara pandang yang antagonistik.

Pada bulan Mei 2018 publik menyorot besaran gaji bagi pimpinan, anggota, kepala, dan staf khusus BPIP yang dinilai fantastis. Dalam Perpres No. 42/2018

Perpres itu menyebutkan hak keuangan Ketua Dewan Pengarah BPIP sebesar Rp 112.548.000,-. Sedangkan jajaran Anggota Dewan Pengarah masing-masing mendapatkan Rp 100.811.000,-. Selanjutnya Kepala BPIP mendapatkan Rp 76.500.000,-, Deputi Rp. 51.000.000,- dan Staf Khusus sebesar Rp 36.500.000,-.

Sejumlah pengamat menilai besaran gaji pejabat tinggi di lembaga ini jauh melebihi rata-rata pejabat tinggi negara lainnya.

Selanjutnya pada bulan Februari 2020, Kepala BPIP, Yudian Wahyudi, pernah melontarkan pernyataan yang mengatakan bahwa musuh terbesar Pancasila adalah agama. Ucapan ini sontak menuai badai kritik dari banyak kalangan, mulai dari ormas Islam hingga politikus. Kala itu, Bukhori merespons ucapan Kepala BPIP tersebut sebagai perilaku ahistoris dan memecah belah.

Pada bulan Mei 2020, badan ini kembali mendulang kritik hingga kecaman publik lantaran menggelar konser amal bersama MPR dan BNPB tanpa mengindahkan protokol kesehatan. Alhasil, Ketua MPR Bambang Soesatyo meminta maaf kepada publik atas gelaran konser yang diadakan bersama BPIP yang mengabaikan prokes.

BPIP kembali berulah. Terbaru, dalam rangka menyambut Hari Santri Nasional, BPIP menyelenggarakan lomba penulisan artikel bertema ‘Hormat Bendera Menurut Hukum Islam’ dan ‘Menyanyikan Lagu Kebangsaan Menurut Hukum Islam’. Sejumlah kalangan menilai tema yang diusung tendensius dan provokatif. Alhasil, seruan untuk membubarkan lembaga ini kembali menggema.

Lebih lanjut, anggota Komisi VIII DPR ini mempertanyakan kinerja BPIP yang menurutnya belum dirasakan manfaatnya secara optimal di tengah masyarakat maupun bagi penyelenggara negara. Merujuk pada poin Menimbang dalam Perpres No. 7 Tahun 2018 disebutkan:

Dalam kapasitasnya sebagai lembaga negara yang membantu Presiden dalam membumikan nilai-nilai Pancasila, BPIP semestinya memiliki desain program yang bisa memastikan setiap kebijakan pemerintah mencerminkan nilai religius, beradab, persatuan, demokratis, dan berkeadilan sosial, atau kita sebut ‘Kebijakan Pancasilais’. Tidak berhenti disitu, nilai-nilai tersebut juga harus terinternalisasi dalam tatanan hidup masyarakat dalam implementasinya.

“Secara konkrit, nilai Pancasila harus tercermin dari watak maupun kebijakan penyelenggara negara yang memihak dan memperjuangkan taraf hidup rakyat yang lemah. Kebijakan yang pancasilais akan meningkatan taraf hidup rakyat dari berbagai sisi, mulai dari aspek akhlak hingga ekonomi,” imbuhnya.

Kendati demikian, kebijakan pancasilais tersebut sayangnya tidak tercermin dari penyelenggara negara yang diharapkan menjadi suri tauladan bagi rakyat dalam mengamalkan nilai Pancasila. Misalnya saja, bansos untuk rakyat justru dikorupsi oleh Menteri yang sepatutnya melindungi; Penegakan hukum masih dilakukan tebang pilih; Lembaga pemberantasan korupsi semakin dikebiri; Para pendengung (buzzer) dibiarkan memecah-belah tanpa takut masuk jeruji besi; Janji gemar diucap, namun jauh dari ekspektasi.

“Jadi, apa saja peran BPIP selama ini? Di mana kebijakan pancasilais yang kita harapkan itu? Lalu, seberapa signifikan dampak dari keberadaan lembaga ini terhadap kebijakan pemerintah? Saya harap program-program BPIP bukan sekadar gimmick, tetapi mampu hasilkan program yang memberi manfaat nyata kepada masyarakat,” ujarnya.

Anggota Baleg ini juga menyindir kinerja lembaga setingkat BPIP yang justru disibukan dengan mengurus hal kecil seperti mengadakan perlombaan menulis artikel. Menurutnya, tupoksi itu lebih relevan bila dikerjakan oleh organisasi setingkat sekolah, bukan setingkat badan negara.

“BPIP adalah lembaga besar dengan tanggung jawab yang besar. Maka, wajar jika para pejabatnya pun diupah dengan gaji yang besar. Namun sangat disayangkan, cara berpikir mereka seakan tidak menunjukkan kapasitasnya sebagai orang yang besar. Maka menurut hemat saya, keberadaan BPIP patut dievaluasi,” pungkasnya. (rls)

Sumber fajar.co.id

Tidak ada komentar: