Salafiyah adalah manhaj. Ia merupakan metoda memahami Islam; metoda memahami al Qur`an dan Sunnah. Ia bukan suatu “harakah” atau “gerakan” yang muncul pada masa tertentu di zaman ini dengan ditokohi oleh orang atau kelompok tertentu seperti yang disangka oleh sebagian orang yang tidak mengerti, atau tidak mau mengerti, atau apriori terhadap kebenaran. Salafiyah merupakan penisbatan kepada Salaf, dan ini merupakan penisbatan terpuji kepada manhaj (metoda pemahaman terhadap al Qur`an dan Sunnah) yang benar, bukan merupakan madzhab baru yang diada-adakan secara bid’ah.[1]
Syaikh Salim bin ‘Id al Hilali, dalam hal ini menukil [2] perkataan Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah dalam Majmu’ Fatawa [3] : “Tidak ada cela bagi orang yang menampakkan, serta menisbatkan diri dan menyandarkan diri kepada madzhab Salaf. Bahkan wajib hukumnya menerima penyandaran dirinya kepada manhaj Salaf itu menurut kesepakatan ulama. Karena sesungguhnya madzhab Salaf, tidak lain kecuali benar”.
Ketika kehadiran kembali manhaj Salaf ini tidak lagi dapat ditolak di tengah ramainya penyimpangan umat, maka banyak kaum pergerakan berami-ramai mencoba menerima manhaj Salaf, bahkan banyak yang mengklaim dirinya bermanhaj Salaf. Akan tetapi manhaj Salaf yang mereka fahami dan mereka terima, umumnya hanya dalam bidang asma’ wa sifat, tidak menyeluruh, karena mungkin mereka menganggap manhaj Salaf ada yang kurang, atau disalah fahami. Banyak kekeliruan dalam memahami konsekuensi uluhiyah, hingga mengakibatkan takfir (menghukumi kafir kepada orang lain) yang tidak pada tempatnya. Dari sini timbul keyakinan dan tindakan-tindakan bid’ah tanpa disadari, seperti perusakan, pembunuhan dan peledakan dengan keyakinan, bahwa semua itu merupakan jihad dan ibadah yang mulia, padahal tidak ada contoh syari’at semacam itu.
Maka saat mereka ingin kembali ke manhaj Salaf, terkesan masih sayang meninggalkan kebiasaan dan disiplin lamanya dalam pergerakan yang sudah dianggap bagus, misalnya sistem berjama’ah, sistem bai’at, sistem kerja, sistem rekruitmen anggota, sistem halaqah, sistem imamah, sistem perjuangan dan jihad, serta sistem-sistem harakah lainnya, yang sebenarnya merupakan pola-pola hizbiyah (fanatisme kelompok). Sebagai akibat mereka mencampurkan antara manhaj Salaf dan manhaj harakah. Aqidah Asma’ wa sifatnya atau sebagian kitab rujukannya adalah Salafi, tetapi pemahaman dan sistemnya adalah harakah, menjadi salafi haraki.
Ketika berkembang kelompok-kelompok salafi haraki inilah (istilah masyhurnya sekarang disebut Sururi), maka manhaj Salaf yang sebenarnya, yang diikuti oleh Salafiyin dicurigai, bahkan dimusuhi oleh mereka, sebab banyak misi mereka yang terganjal oleh manhaj ini.
Di sisi lain muncul pula suatu gerakan dengan warna lain yang seakan benar-benar Salafi, namun sebenarnya menerapkan praktik-praktik hizbi, dengan antara lain menebarkan ilzam-ilzam (pengharusan-pengharusan yang bersifat memaksa) kepada anggota kelompok pengajiannya, sehingga anggauta jama’ah bisa menjadi was-was dan takut dicap tidak Salafi, jika pandangannya berbeda dengan pandangan para pimpinannya. Dengan demikian yang terbaca di luar, kelompok ini menerapkan praktik taklid membabi buta, lebih dari kelompok-kelompok taklid lainnya. Di samping itu, dengan bahasa-bahasa vocal dan tindakan-tindakannya yang kasar, telah menimbulkan kesan bahwa dakwah Salafiyah bersifat kasar dan tidak beradab. Akhirnya dakwah Salafiyah banyak disingkiri umat, karena kesalah fahaman dan ketidak mengertian. Sementara itu, musuh-musuh dakwah Salafiyah pun banyak yang menuduh, bahwa para salafiyin sangat taklid kepada para ulamanya. Padahal tidak!
Untuk itu perlu ditegaskan di sini sikap sebenarnya, meskipun dengan sangat ringkas dan global. Yaitu bahwa sumber kebenaran bagi Ahlu Sunnah wal Jama’ah atau Salafiyun adalah al Qur`an dan Sunnah dengan pemahaman para salafush-shalih. Jadi ukuran kebenaran bukan individu manusia sepeninggal para sahabat Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam . Itu sangat jelas berdasarkan sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam , yang antara lain:
فَعَلَيْكُمْ بِسُنَّتِي وَسُنَّةِ الْخُلَفَاءِ الْمَهْدِيِّينَ الرَّاشِدِينَ تَمَسَّكُوا بِهَا وَعَضُّوا عَلَيْهَا بِالنَّوَاجِذِ وَإِيَّاكُمْ وَمُحْدَثَاتِ الْأُمُورِ فَإِنَّ كُلَّ مُحْدَثَةٍ بِدْعَةٌ وَكُلَّ بِدْعَةٍ ضَلَالَةٌ. أخرجه أبو داود والترمذي
“Maka wajib bagi kalian berpegang kepada Sunnahku dan Sunnah para Khulafa’ur-Rasyidun yang mendapat petunjuk. Peganglah dengan kuat Sunnah itu dan gigitlah dengan gigi-gigi geraham kalian. Dan janganlah sekali-kali mengada-adakan perkara-perkara baru dalam agama, sebab setiap yang baru adalah bid’ah, dan setiap yang bid’ah adalah sesat” [Hadits Shahih dikeluarkan oleh Abu Dawud dan Tirmidzi][4]
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam juga bersabda:
أَلاَ إِنَّ مَنْ قَبْلَكُمْ مِنْ أَهْلِ الْكِتَابِ افْتَرَقُوا عَلَى ثِنْتَيْنِ وَسَبْعِينَ مِلَّةً وَإِنَّ هَذِهِ الْمِلَّةَ سَتَفْتَرِقُ عَلَى ثَلَاثٍ وَسَبْعِينَ ثِنْتَانِ وَسَبْعُونَ فِي النَّارِ وَوَاحِدَةٌ فِي الْجَنَّةِ وَهِيَ الْجَمَاعَةُ . أخرجه أبو داود
“Ketahuilah! Sesungguhnya golongan sebelum kamu dari kalangan Ahlu Kitab terpecah menjadi tujuh puluh dua golongan, dan sesungguhnya golongan umat Islam ini akan terpecah menjadi tujuh puluh tiga golongan. Tujuh puluh dua golongan di dalam neraka dan satu golongan di dalam sorga, yaitu al Jama’ah.” [Hadits dikeluarkan oleh Abu Dawud. Syakih al Albani mengatakan: “Hadits hasan”][5]
Pengertian al Jama’ah pada hadits di atas ialah, sesuatu yang Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan sahabatnya ada di atasnya. Dengan kata lain, al Jama’ah ialah, golongan yang berpijak pada Sunnah Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan Sunnah para sahabatnya. Seperti dijelaskan oleh Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam pada hadits berikut:
وَتَفْتَرِقُ أُمَّتِي عَلَى ثَلَاثٍ وَسَبْعِينَ مِلَّةً كُلُّهُمْ فِي النَّارِ إِلَّا مِلَّةً وَاحِدَةً قَالُوا وَمَنْ هِيَ يَا رَسُولَ اللَّهِ قَالَ مَا أَنَا عَلَيْهِ وَأَصْحَابِي. أخرجه الترمذي.
“Akan terpecah umatku menjadi tujuh puluh tiga golongan, semuanya di dalam neraka kecuali satu golongan saja”. Mereka (para sahabat) bertanya: “Siapakah golongan itu ya Rasulallah?” Beliau menjawab: “Yaitu yang berada pada apa yang aku dan sahabatku ada di atasnya”. [Dikeluarkan oleh Tirmidzi. Syaikh al Albani mengatakan: “Hadits hasan”][6]
Hadits-hadits di atas menunjukkan, bahwa kebenaran terletak pada ittiba’ Sunnah Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wa sallam, Sunnah Khulafa’ur-Rasyidun dan Sunnah para sahabatnya. Sunnah para Khulafa’ur-Rasyidun dan Sunnah para sahabat yang lain, hakikatnya merupakan Sunnah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam . Oleh sebab itulah Imam Ahmad bin Hanbal asy-Syaibani rahimahullah (164 H – 241 H.), berkaitan dengan prinsip Sunnah, mengatakan: “Prinsip Sunnah menurut kami (kalangan Ulama Ahlu Sunnah, di antaranya) ialah berpegang dengan apa yang ditempuh oleh para sahabat Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan mengikuti jejak mereka”[7]
Jadi, tolok ukur kebenaran bukan terletak pada perkataan atau perbuatan Fulan dan Fulan. Tetapi kebenaran, yaitu apa yang sesuai dengan al Qur`an dan Sunnah yang difahami dengan pemahaman para salafush-shalih Radhiyallahu ‘anhum.
Syaikh Muhammad bin Shalih ‘Utsaimin rahimahullah menjelaskan: “Kebenaran tidak diukur dengan orang, tetapi oranglah yang harus ditimbang dengan kebenaran. Inilah timbangan yang benar. Meskipun kedudukan dan derajat seseorang dapat berpengaruh bagi diterimanya perkataannya, sebagaimana diterimanya berita orang adil atau diabaikannya berita orang fasik, akan tetapi itu bukan tolok ukur kebenaran sama sekali. Sebab manusia adalah orang yang bisa luput dari kesempurnaan ilmu, dan dari kekuatan pemahaman, sesuai dengan seberapa besar kadar ilmu dan pemahaman yang terluput darinya. Bisa jadi seseorang merupakan orang yang kuat dalam beragama dan memiliki akhlak, namun mungkin ia adalah orang yang kurang ilmu dan lemah pemahamannya, sehingga terlepaslah kebenaran darinya sebesar kekurangannya dalam ilmu dan kelemahannya dalam pemahaman. Atau ia merupakan seseorang yang tumbuh pada suatu cara beragama tertentu atau madzhab tertentu, dimana ia hampir tidak pernah kenal cara lainnya, sehingga ia menyangka bahwa kebenaran hanyalah yang ada pada dirinya. Atau kemungkinan-kemungkinan lainnya”.[8]
Sebagai kesimpulan, manhaj Salaf bukanlah suatu “harakah”, bukan pula manhaj hizbi (fanatisme golongan), dan bukan pula manhaj yang mengajarkan taklid, kekerasan dan kekasaran. Tetapi manhaj Salaf adalah ajaran Islam sesungguhnya yang dibawa oleh Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan difahami serta dijalankan oleh para salafush-shalih -radhiyalahu ‘anhum- yang ditokohi oleh para sahabat, kemudian oleh para tabi’in dan selanjutnya tabi’ut Tabi’in. Kemudian diteruskan oleh para Ulama Ahlu Sunnah beserta pengikut-pengikutnya hingga hari Kiamat.
Nas’alullaha at-Taufiq.
Oleh Ustadz Ahmas Faiz Asifuddin
[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 11/Tahun X/1428H/2007. Diterbitkan Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo – Purwodadi Km.8 Selokaton Gondangrejo Solo 57183 Telp. 0271-761016]
_______
Footnote
[1]. Penjelasan Syaikh Salim bin Id Al-Hilali, salah seorang murid Syaikh Al-Allamah Muhammad Nashiruddin Al-Albani rahimahullah, dalam kitabnya, Basha’ir Dzawi Asy-Syaraf bi Syarhi Marwiyyat Manhaji As-Salaf) Maktabah Al-Furqon, Cet II – 1421H/2000M. Halaman 21, diterjemahkan secara bebas.
[2]. Idem
[3]. Lihat Mahmu Fatawa Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah, Jam’ wa Tartib : Abdur Rahman bin Muhammad Qasim Al-Ashimi An-Najdi (IV/149)
[4]. Lihat Shahih Sunan Abu Dawud, karya Syaikh Al-Albani, Maktabah Al-Ma’arif, Riyadh, Cet II dari terbitan baru, Th.1421H/2004M (III/118-119 no. 4607) Kitab As-Sunnah, Bab Fi Luzum As-Sunnah. Lihat pula Shahih Sunan At-Tirmidzi, Syaikh Al-Albani, Maktabah Al-Ma’arif, Riyadh, Cet I dari terbitan baru, Th.1420H/2000M (III/60-70 no. 2676) –Kitab Al-Ilmi, Bab Maa Jaa’a fil Akhdzi bis Sunnah wa Ijtinab Al-Bida.
[5] Lihat Shahih Sunan Abu Dawud, karya Syaikh Al-Albani, Maktabah Al-Ma’arif, Riyadh, Cet II dari terbitan baru, TH.1421H/2000M (III/115 no. 4597) –Kitab As-Sunnah, Bab Syarhis Sunnah
[6]. Lihat Shahih Sunnah At-Tirmidzi, Syaikh Al-Albani, Maktabah Al-Ma’Arif, Riyadh, Cet I dari terbitan baru, Th 1420H/2000M (III/54-54 no. 2641)
[7]. Lihat Ushulus Sunnah li Imam Ahlis Sunnah Ahmad bin Hanbal rahimahullah, riwayat Abdus bin Malik Al-Aththar. Syarah dan tahqiq Al-Walid Muhammad Nabih bin Saif An-Nashr. Taqdim dan Ta’liq, Syaikh Muhammad ‘Id Al-Abbasi, Maktabah Ibnu Taimiyah, Kairo, Tauzi Maktabah Al-Ilmu, Jeddah, Cetakan I, Th.1416H/1996M, hal.25-26
[8]. Lihat Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimian, dalam Al-Qawa’id Al-Mutsla Fi Shifatillah wa Asma’ihi Al-Husna, hal. 85 ketika memberi jawaban ketiga tentang syubhat-sebagian orang mengenai Asy’ariyah yang banyak memiliki tokoh-tokoh ulama ternama. Penerbit : Maktabah As-Sunnah, Cet I – 1411H/1990M. Tahqiq dan Takhrij Asyraf bin Abdul Maqshud bin Abdur Rahman.
Tidak ada komentar: