Bantahan Terhadap Syeikh Hatim Al-‘Auni yang membolehkan unjuk rasa (demo) damai

Beredar sebuah tulisan beracun yang cukup meresahkan ditulis oleh ustadz DK dan merupakan terjemahan dari tulisan syaikh Hatim Al-'Auni yang membolehkan demonstrasi damai. Berikut kami tuliskan bantahannya dari syaikh Abdul Aziz Ar-Rayyis. Semoga bisa mencerahkan...

________________
Bismillahirrahmanirrahim…
Assalamu’alaikum warahmatullahi wabarakatuh.. Amma Ba’du.

Maka setelah aku menyelesaikan tulisan “Kasyfu Syubuhat Mujawwizil Mudzaharat” dengan segala puji bagi Allah dan keutamaan-Nya.

Aku mendapati perkataan yang rusak tentang hukum demonstrasi oleh Hatim Al-‘Auni, dan yang semakin memperparah kerusakannya adalah, bahwasanya ia (Hatim Al-‘Auni) menisbatkan demonstrasi kepada para Sahabat dan Salaf, dan menganggapnya (demonstrasi) sebagai cara para salaf seperti yang dilakukan oleh para Sahabat.

Dan tulisan yang rusak tersebut berjudul, “Hukum Demonstrasi Damai” yang diterbitkan pada hari Selasa 5 Rabi’ul Awwal 1432 H.

Dia berdalil bahwa Demonstrasi adalah cara yang pernah ditempuh oleh para Sahabat, yaitu Ummul Mukminin ‘Aisyah, Tholhah bin ‘Ubaidillah, dan Zubair bin Al-Awwam radhiallahu ‘anhum berkumpul pada peristiwa perang Jamal.

Al-Auni mengatakan: “Sungguh, perkumpulan mereka dalam peristiwa Jamal adalah salah satu bentuk demonstrasi, karena mereka ingin menuntut kasus yang sedang terjadi dan ingin memprotes Ali bin Abi Thalib radhiallahu ‘anhu.

Pendalilan oleh Al-‘Auni ini semakin menguatkan apa yang telah tertulis dalam “Kasyfu Syubuhat Mujawwizil Mudzaharat” bahwasanya orang-orang yang membolehkan demonstrasi di awali dengan keyakinan, baru setelahnya memaksakan dalil-dalil untuk membenarkan keyakinan mereka. Dan sungguh pendalilan dengan peristiwa Jamal ini tidaklah benar karena beberapa sebab di antaranya:

PERTAMA :

Berkumpulnya mereka bukan untuk memaksa Ali bin Abi Thalib dalam menentukan keputusan, tapi untuk mengumpulkan pada para pembunuh Utsman bin Affan radhiallahu ‘anhu. Maka Zubair dan Tholhah radhiallahu ‘anhuma keluar untuk melaksanakan hal tersebut, adapun ‘Aisyah keluar untuk menengahi dan mendamaikan dua kubu yang berbeda pandangan, sebagaimana ini telah Shohih disebutkan oleh Ibnu Katsir dalam “Al-Bidayah Wan-Nihayah” (6/236). Jadi mereka keluar pada peristiwa Jamal bukan untuk berdemo terhadap Ali bin Abi Thalib agar segera memutuskan perkara, tapi untuk menyelidiki para pembunuh Utsman bin Affan.

KEDUA:

Hal yang nampak setelah kejadian ini adalah kesalahan dari ‘Aisyah, Zubair, dan Tholhah sehingga mereka menyesalinya (radhiallahu ‘anhum) seperti yang dijelaskan oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah dalam “Minhajus Sunnah An-Nabawiyyah” (129/6) dalam nukilannya,

“Begitu pula ‘Aisyah radhiallahu ‘anha menyesali perjalanannya menuju Bashrah dan jika beliau menceritakan kejadian tersebut, beliaupun menangis hingga basah kerudungnya, Tholhah pun menyesali sangkaannya karena tidak bisa menyelamatkan Utsman dan Ali dan para sahabat yang lain, begitu pula Zubair menyesali perjalannya pada peristiwa Jamal.” (radhiallahu ‘anhum)

Syaikhul Islam juga berkata (170/4): “Sesungguhnya ‘Aisyah tidak ikut dalam pertempuran dan keluarnya bukan untuk tujuan berperang, akan tetapi untuk mendamaikan antara kaum muslimin, dan beliau mengira dengan keluarnya itu bisa mendatangkan maslahat bagi kaum muslimin. Lalu setelah kejadian itu baru beliau menyadari dengan jelas bahwa sikap yang terbaik adalah tidak keluar.

Dan setiap beliau menceritakan kejadian itu, beliau menangis hingga basah kerudungnya, dan hampir semua yang ikut dalam peristiwa tersebut menyesali pertempuran mereka, menyesal pula Tholhah, Zubair, dan Ali radhiallahu ‘anhum ajma’in. dan perang Jamal terjadi bukan karena keinginan mereka sendiri.”

Dan telah kita ketahui bersama bahwa para Sahabat adalah manusia biasa yang bisa terjatuh dalam kesalahan, dan jika mereka melakukan kesalahan dalam ijtihad mereka mendapatkan satu pahala dan tetap mulia kedudukannya. Adapun jika mereka benar dalam ijtihad, akan mendapat dua pahala.

Berdasarkan hadits shohih dari abu Hurairah dan ‘Amr bin Al-Ash secara marfu’ dalam shohihain,
“Jika seorang hakim berijtihad lalu benar, maka baginya dua pahala. Namun jika ia berijtihad lalu salah, maka ia mendapat satu pahala”.

Dan dalam perkara ini sebagian para sahabat salah dalam mengambil sikap, sehingga tidak dibenarkan berdalil dengan kesalahan sebagian sahabat yang mereka pun menyesali hal itu, dan siapa yang memaksakannya maka ia adalah pengikut hawa nafsu.

KETIGA:

Banyak dari para sahabat yang mengingkari keluarnya sebagian para sahabat untuk menyelidiki pelaku pembunuhan Utsman, di antara (yang mengingkarinya) adalah Sa’ad bin Abi Waqosh dan Abdullah bin Umar radhiallahu ‘anhum, bahkan mayoritas sahabat menyelisihi hal ini sehingga mereka memilih untuk tidak ikut dalam fitnah ini kecuali sedikit dari para sahabat.

Ibnu Katsir menukilkan dalam “Al-Bidayah Wan-Nihayah” (261/7), berkata Asy-Sya’bi:
“Para pejuang Badr tidak ada yang ikut bersama mereka (dalam pertempuran Jamal) kecuali hanya enam orang saja, dan tidak ada yang ketujuh”

Ibnu Jarir berkata, “Diantara sahabat senior yang mengikutinya adalah Abu Al-Haitsam bin At-Taihan, Abu Qotadah Al-Anshory, Ziyad bin Hanzolah, dan Khuzaimah bin Tsabit”

Jadi jelaslah perkara ini, maka tidak benar jika berdalil dengan peristiwa Jamal, dan dalam hal ini para ulama telah menegaskan bahwa demonstrasi adalah cara bid’ah yang tidak pernah diajarkan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam dan para Sahabat.

Sebagaimana yang telah aku nukil dalam tulisan “Kasyfu Syubuhat Mujawwizil Mudzaharat” dan tulisan Al-Auni ini merupakan bentuk PEMAKSAAN dalam pendalilan dan KEDUSTAAN dalam penisbatan terhadap Salaf. 

***
Syaikh Abdul ‘Aziz Ar-Rayyis

Sumber:
http://islamancient.com/play.php?catsmktba=2703

Alih Bahasa : @abu.roomy
✍️Kota Bima, 25 Ramadhan 1440 H

Tidak ada komentar: