Ustadz Zaenal Abidin: 6 solusi penanggulangan krisis pelecehan seksual di pesantren

BILA BENCANA BIRAHI MENIMPA KIAI

Dunia pesantten berduka kembali, luka lama tergores lagi dan trauma pengguna jasa pesantren terkoyak kembali dengan framing kasus pelecehan seksual yang terjadi di salah satu pondok pesantren di Jombang, Jawa Timur yang dilakukan oleh anak kiai yang dianggap oleh para pengikutnya sebagai orang suci.

Belum reda trauma dan stigma akibat kasus pelecehan seksual di salah satu pesantren di Bandung. Bahkan pelakunya belum usai menjalani proses hukum, ternyata trauma umat pengguna jasa pesantren kambuh lagi. Pasalnya akhir-akhir ini berkali-kali kasus pelecehan seksual yang menimpa santriwati tidak dilakukan oleh tukang kebun atau security pondok pesantren atau sopirnya kiai, tetapi dilakukan oleh anaknya kiai yang biasanya digelari dengan GUS. Bahkan dilakukan kiainya sendiri sebagaimana kejadian di Bandung belum lama ini.

Ironisnya, para pelaku pelecehan tersebut menjadi pihak yang paling dipercaya oleh wali santri untuk membina, mendidik dan membimbing buah hati mereka agar kualitas moralitas dan spiritualitas mereka makin mantap. Sehingga mereka menjadi generasi berintegritas, dan bahkan mampu mendirikan pesantren serupa. Mereka ibarat planet-planet yang menjadi penerang umat dari gelapnya kebodohan, kesesatan dan penyimpangan.

Sayangnya, mereka malah memupuskan harapan dan ekspektasi wali santri dan para santri itu sendiri, sehingga pesantren yang notabene sebagai benteng moral dan spiritual pupus akibat ulah segelintir oknum yang dianggap karismatik yang tidak mudah disentuh oleh aturan hukum. Ibarat nila setitik merusak susu sebelanga.

Kejadian seperti ini tidak boleh dibiarkan terus berulang, sehingga bisa merusak citra pesantren apalagi mengakibatkan penutupan pesantren, bukan karena izinnya dicabut oleh pemerintah, namun yang lebih memalukan dan memilukan adalah para santri meninggalkan pondok secara berbondong-bondong. Oleh karena itu, semua pihak terutama para pakar dan pemerhati pesantren harus mencari solusi, sedangkan menurut hemat penulis solusi untuk menanggulangi krisis pelecehan seksual di pesantren sebagai berikut:

1. Hendaknya pihak berwajib dan pihak berwenang menindak tegas setiap pelaku sesuai dengan hukum yang berlaku tanpa pandang bulu dan tebang pilih.

2. Para pengelola pesantren harus membentuk budaya dan iklim pesantren yang mampu mencegah kontak antara kaum laki-laki dan kaum wanita tak terkecuali para pemimpin, para pembina dan para kiai sebagai pemimpin sentral pesantren.

3. Penegakan aturan pendidikan pondok pesantren terutama terkait dengan interaksi dan kontak langsung antara laki-laki dan wanita di lingkungan pesantren.

4. Lembaga pendidikan pesantren perlu membentuk dan memperkuat devisi KONSELING untuk memantau, mengontrol, mengawasi dan mendeteksi dini terharap kasus-kasus serius terutama pelecehan seksual termasuk lesbian dan homoseksual.

5. Lembaga pendidikan pesantren harus melakukan psikotes terhadap pimpinan, karyawan dan para santri terlebih berkaitan dengan kelainan orientasi seksual.

6. Wali santri harus berperan aktif dalam mengontrol dan mengawal perilaku putra putri mereka, dan bahkan bertanya kepada mereka tentang suasana pondok pesantren.

Demikian semoga tulisan ini bermanfaat bagi kelangsungan pendidikan pesantren, sambil terus mencari formula jitu untuk menekan kasus-kasus pelecehan seksual terhadap para santriwati, sehingga trauma, stigma dan citra buruk yang menimpa pesantren bisa diobati.

Mekah, 14 Dzulhijjah 1443 H/ 13 Juli, 2022 M.

Zaenal Abidin Syamsuddin.

Tidak ada komentar: