Menjawab Syubhat Seputar Perayaan Maulid Nabi


MENJAWAB BERBAGAI SYUBUHAT (KERANCUAN PEMAHAMAN) SEPUTAR PERAYAAN MAULID ! (Bagian pertama)

Saudaraku kaum Muslimin rohimakumulloh …..

Sebagian saudara kita kaum Muslimin yang membolehkan untuk mengadakan perayaan Maulid Nabi Muhammad shollallohu alaihi wa sallam, mereka mengaku mempunyai dalil-dalil atau hujjah atau argumentasi, yang mendukung atau menunjukkan bolehnya melakukan perayaan maulid tersebut.

Dan telah kita sampaikan penjelasan pada tulisan Fawaid sebelum ini, bahwa dalil-dalil yang mereka sampaikan itu, sangat lemah dan cenderung dipaksakan sebagai alasan untuk mendukung argumentasi mereka.

Mari kita perhatikan dalil dan alasan mereka itu, sebagai berikut :

Pertama :
Mereka berdalil dengan hadits yang diriwayatkan oleh Imam Muslim rohimahulloh dalam kitab Shohih-nya no. 1162, dari hadits Abu Qotadah Al-Anshory rodhiyallohu anhu :

“Bahwa nabi shollallohu alaihi wa sallam pernah ditanya tentang puasa sunnah pada hari Senin, maka beliau bersabda :

فِيه وُلِدْت وَفِيه انْزِلَ عَلَي
“Pada hari itu aku dilahirkan, dan pada hari itu pula diturunkannya (wahyu) kepadaku.”

Tokoh mereka, yakni Syaikh Muhammad Alwi Al-Maliki, dalam kitabnya Haulal Ihtifal bil Maulid (hal. 25), setelah membawakan hadits tersebut di atas, dia mengatakan :

“Sisi pendalilan dari hadits ini (menurut dia) adalah : bahwa Nabi shollallohu alaihi wa sallam memuliakan dan mengagungkan hari kelahiran beliau dengan berpuasa pada hari itu. Hal ini (yakni berpuasa itu), hampir semakna dengan perayaan, walaupun bentuknya berbeda. Yang jelas, makna pemuliaan itu ada, apakah dengan berpuasa, atau dengan memberi makanan, atau dengan berkumpul-kumpul untuk mengingat, atau dengan bersholawat kepada beliau, dan lain-lain…”

Jawaban dan bantahan :


1. Perkataan Al-Maliki : “bahwa Nabi shollallohu alaihi wa sallam memuliakan dan mengagungkan hari kelahiran beliau (hari Senin), dengan berpuasa pada hari itu.”

Kita katakan : Ya, ini benar ! Sebagaimana penjelasan Nabi sendiri, karena pada hari itulah beliau dilahirkan dan hari itu pula wahyu pertama kali diturunkan.

Tetapi itu bukan berarti semata-mata mengagungkan hari Senin sebagai hari lahir beliau itu saja, tetapi sebagai bentuk rasa syukur kepada Alloh atas nikmat kenabian dan kerasulan, yang Alloh ta'ala karuniakan kepada beliau !

Dan yang beliau lakukan hanyalah berpuasa pada Hari Senin, yang setiap bulan berulang sebanyak empat atau lima kali !

Artinya, beliau shollallohu alaihi wa sallam tidak pernah mengkhususkan untuk melakukan amalan-amalan tertentu pada hari kelahiran beliau tersebut (yakni hari Senin), selain puasa sunnah itu saja.

Hal ini adalah bukti yang menunjukkan, bahwa beliau shollallohu alaihi wa sallam tidak pernah menganggap hari atau tanggal kelahiran beliau (hari Maulud) lebih utama daripada yang lainnya !

2. Bahkan, Nabi shollallohu alaihi wa sallam tidak mengkhususkan berpuasa pada hari Senin saja, tetapi juga berpuasa pada hari Kamis, karena pada dua hari itulah amal-amal seorang hamba akan disodorkan/dipaparkan (di hadapan Alloh ta’ala).

Dan Nabi shollallohu alaihi wa sallam berpuasa pada hari itu, agar ketika amalannya disodorkan/dipaparkan (di hadapan Alloh ta’ala), beliau sedang dalam keadaan beramal sholih, yaitu dengan berpuasa sunnah di hari itu.

Sebagaimana disebutkan dalam hadits Abu Huroiroh rodhiyallohu anhu yang shohih, Rosululloh shollallohu alaihi wa sallam bersabda :

تعرض الاعمال يوم الاثنين والخميس, فأحب ان يعرض عملي وأنا صائم
“Amalan-amalan (seorang hamba) akan disodorkan/dipaparkan (di hadapan Alloh) pada hari Senin dan Kamis. Dan aku senang apabila amalanku disodorkan/dipaparkan (di hadapan Alloh), sedangkan aku dalam keadaan berpuasa.” (HR At-Tirmidzi no. 747, dishohihkan oleh Syaikh Al-Albani rohimahuloh, dalam Irwa’ul Gholil, no. 949)

Jadi, beliau berpuasa pada hari Senin khususnya, bukan semata-mata karena hari itu adalah hari kelahiran beliau, tetapi karena sebab yang lebih utama dan lebih besar, sebagaimana yang dijelaskan dalam hadits tersebut di atas.

Maka berdalilkan dengan hadits puasa pada hari Senin untuk membolehkan perayaan Maulid Nabi, adalah puncak Takalluf (pemaksaan diri) dan pendapat yang sangat jauh dari kebenaran !

3. Yang disyari’atkan dan dibolehkan untuk diamalkan pada hari Senin dan Kamis itu adalah dengan ber-PUASA SAJA, tidak ada yang lainnya.

Sebagaimana hal itu lah yang hanya dilakukan oleh Nabi Muhammad shollallohu alaihi wa sallam, dan juga para Sahabat beliau !

Adapun menganggap bolehnya melakukan amalan yang lainnya, untuk menyakralkan atau memuliakan hari Senin sebagai hari kelahiran Nabi, dengan perayaan Maulid, jelas ini merupakan pemikiran yang rusak, dan sangat jauh dari sunnah (tuntunan) Nabi shollallohu alaihi wa sallam.

Tidak ada satu pun ulama terpercaya lainnya yang punya pendapat yang ngawur, seperti Alwi Al-Maliki ini.

4. Tidak boleh kita melampuai batas dari apa yang telah disyari’atkan oleh agama kita ini, dengan melakukan amalan-amalan yang tidak disyari’atkan.

Alloh ta’ala dan Rosul-Nya, melarang kita dari sikap melampuai batas dalam agama ini, sebagaimana yang pernah dilakukan oleh orang-orang Ahli Kitab, akibatnya mereka sesat dan kafir !

Alloh ta’ala berfirman :

يَا أَهْلَ الْكِتَابِ لا تَغْلُوا فِي دِينِكُمْ وَلا تَقُولُوا عَلَى اللَّهِ إِلا الْحَقَّ……(١٧١)
“Wahai ahli Kitab, janganlah kamu melampaui batas dalam agamamu, dan janganlah kamu mengatakan terhadap Allah kecuali yang benar……” (QS An-Nisa’ : 171)

Alloh ta’ala juga berfirman :

قُلْ يَا أَهْلَ الْكِتَابِ لا تَغْلُوا فِي دِينِكُمْ غَيْرَ الْحَقِّ وَلا تَتَّبِعُوا أَهْوَاءَ قَوْمٍ قَدْ ضَلُّوا مِنْ قَبْلُ وَأَضَلُّوا كَثِيرًا وَضَلُّوا عَنْ سَوَاءِ السَّبِيلِ (٧٧)
“Katakanlah: "Wahai Ahli Kitab, janganlah kamu berlebih-lebihan (melampaui batas) dengan cara tidak benar dalam agamamu. Dan janganlah kamu mengikuti hawa nafsu orang-orang yang telah sesat dahulunya (sebelum kedatangan Nabi Muhammad), dan mereka telah menyesatkan kebanyakan (manusia), dan mereka tersesat dari jalan yang lurus". (QS Al-Maidah : 77)

Nabi Muhammad shollallohu alaihi wa sallam juga mengabarkan, bahwa sikap ghuluw (berlebih-lebihan) dalam beragama itu menyebabkan rusaknya dan binasanya agama seseorang !

Sebagaimana sabda beliau shollallohu alaihi wa sallam :

إياكم والغلو فإنما أهلك من كان قبلكم الغلو
“Hati-hatilah kalian dari sikap Ghuluw (berlebih-lebihan/melampuai batas), karena sesungguhnya yang menyebabkan binasanya orang-orang sebelum kalian adalah karena sikap Ghuluw !” ( HR Imam Ahmad dan Ibnu Majah, dengan sanad yang shohih)

5. Jika telah ada dalil-dalil yang shohih, tetapi kemudian seseorang cenderung berpendapat dengan menggunakan qiyas (analog-analog), maka hal itu akan menyebabkan kesesatan pada seseorang tersebut.

Seperti yang dilakukan si Al-Maliki ini, dia menqiyas-kan perayaan Maulid Nabi, dengan perintah berpuasa di hari Senin. Padahal, qiyas dia ini jauh dari kebenaran.

Disamping itu yang benar adalah, bahwa bila telah ada dalil yang shohih dan shorih (jelas) tentang suatu permasalahan, maka batal-lah segala qiyas !

Dan akibat qiyas yang bathil ini, menyebabkan banyak orang tersesat dari jalan yang lurus.

Sebagaimana kata Al-Imam Ibnu Sirin rohimahulloh :

“Yang pertama kali menggunakan qiyas (sebagai dalil) adalah Iblis ! Dan tidaklah matahari dan bulan itu disembah (oleh manusia), kecuali dengan (sebab) qiyas (yang bathil) !”

(HR Ad-Darimi dalam As-Sunan (no. 195) dan Ibnu Abdil Barr dalam Jami’ Bayanil Ilmi, no. 1675, sanadnya Hasan)

6. Diantara sebab dan sumber Bid’ah-nya perayaan Maulid Nabi ini adalah sikap AL-ISTIHSAN, yaitu menganggap baiknya sesuatu, tetapi hanya berdasarkan pemikirannya sendiri, atau perasaannya sendiri, tanpa dalil-dalil yang shohih yang mendukungnya.

Dan ini adalah perkara yang sangat keliru dan jauh dari kebenaran !

Seperti yang dilakukan juga oleh si Al-Maliki ini.

Dengan santainya dia berkata : “Hal ini (yakni berpuasa di hari Senin itu), hampir semakna dengan perayaan, walaupun bentuknya berbeda. Yang jelas, makna pemuliaan itu ada, apakah dengan berpuasa, atau dengan memberi makanan, atau dengan berkumpul-kumpul untuk mengingat, atau dengan bersholawat kepada beliau, dan lain-lain…”

Itulah sikap Istihsan (menganggap baik sesuatu) dia, dengan pemikiran dan perasaannya semata, tanpa dalil-dalil shohih yang mendukung pendapat ngawurnya ini !

Yang sepantasnya dia lakukan, hendaknya mengikuti dalil, tunduk kepadanya, bukan malah membuat-buat kebid’ahan, tetapi bersembunyi di balik dalil-dalil.

Allohul Musta’an ……

Demikianlah salah satu syubuhat (kerancuan pemahaman) yang dihembuskan dan dilontarkan oleh orang-orang, yang mengagungkan perayaan Maulid Nabi itu.

Dan masih banyak yang lainnya, yang insya Alloh akan kami sebutkan pada pembahasan di Fawaid ini yang akan datang, berikut jawaban dan bantahannya, insya Alloh. Semoga Alloh ta’ala memudahkannya.

Semoga pembahasan yang ringkas ini bermanfaat untuk kita semuanya ....

Barokallohu fiikum……

Surabaya, Senin pagi yg sejuk, 11 Robi'ul Awal 1443 H / 18 Oktober 2021 M

✍ Akhukum fillah, Abu Abdirrohman Yoyok WN Sby

Silahkan joint pada channel telegram kami :
https://t.me/fawaidabuabdirrahman

Semoga bermanfaat bagi kita semuanya.

Tidak ada komentar: